Infotainment: Antara Etika dan Realita
Peristiwa reformasi 1998 telah memberi andil bagi perkembangan iklim kebebasan pers di Indonesia, dimana salah satu amanat reformasi adalah memberi kebebasan pers dalam bagi para insan jurnalistik yang tidak disetir ataupun dikekang oleh kekuasaan pemerintah. Apalagi dengan diterbitkannya UU no. 40 tentang Pers oleh Presiden BJ. Habibie pada tahun 1999 tersebut semakin memberi angin kebebasan bagi para insan pers nasional dalam meng-ekspose sebuah berita. Dengan adanya kebebasan tersebut, berbagai media massapun mulai bermunculan satu persatu baik itu media cetak maupun elektronik.
Seiring dengan perkembangan tersebut, sejumlah media berlomba-lomba untuk mencari pasar tersendiri bagi berita atau informasi yang dirilisnya. Inovasi-inovasipun harus dicari oleh masing-masing media agar mereka tidak kalah bersaing dengan media massa yang lain.
Salah satu jenis pemberitaan yang tubuh subur pasca reformasi adalah infotainment, yang intinya menggabungkan antara informasi dan entertainment. Dalam dunia infotainment, pemberitaan yang dihadirkan dikemas dengan penyampaian yang lebih soft dan ditambah unsur-unsur hiburan di dalamnya. Dengan kemasan inilah, infotainment mendapat tempat di hati masyarakat. Tidak hanya dikalangan remaja, tapi juga dikalangan ibu-ibu dan dewasa. Seiring dengan postifnya sambutan dari masyarakat, maka satu persatu infotainment barupun bermunculan dan mengisi sebagian besar acara di berbagai stasiun televisi. Bahkan menurut hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Maret 2006 tayangan infotainment telah mengisi 63 persen tayangan televisi Indonesia.
Merujuk pada arti sesungguhnya dari infotainment, yaitu informasi yang dikemas dalam balutan entertainment, maka sudah sewajarnya jika porsi informasi lebih banyak daripada porsi hiburan itu. Namun faktanya, kini inforainment justru lebih mengutamakan unsur hiburan dari pada unsur informasi. Ini terkait dengan kandungan informasi misalnya bobot informasi atau penting tidaknya informasi tersebut disampaikan kepada publik. Seiring berjalannya waktu, kontrol atas pemberitaan yang beredar semakin tidak jelas. Infotainment yang menjadikan dunia selebriti sebagai komoditi sumber pemberitaannya, tidak lagi memperhatikan kode etik jurnalistik yang ada. Sehingga ada beberapa insan jurnalistik dan kalangan pers lainnya yang tidak mau mencantumkan para wartawan infotainment sebagai bagian dari dunia pers nasional. Ketidak jelasan status infotainment ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah semua infotainment yang ada dilayar kaca berada dibawah production house (PH), bukan dibawah kantor berita. Ada perbedaan karaker pemberitaan yang dihadirkan sehingga wartawan –walaupun sebenarnya istilah wartawan juga masih kontroversi- infotainment mencari berita untuk PH tempatnya bekerja. Dengan begitu, kejar-kejaran deadline pun terjadi dan berita yang disampaikanpun tidak mengikuti kode etik jurnalistik yang ada. Wartawan infotainment tidak lagi mementingkan apakah berita yang disampaikannya adalah fakta atau hanya sekedar gosip belaka. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana bisa mendapat berita sebanyak-banyak dalam tenggat waktu yang diperlukan agar bisa terus kejar tayang. Tak jarang, berita-berita yang baru sekedar gosip dan belum terbukti kebenarannya, sudah beredar di masyarakat bahkan dibesar-besarkan.
Menurut pengamat media, Iswandi Syahputra, ada 9 kekeliruan yang selalu dilakukan oleh “pekerja” infotainment yaitu: Menjadikan gosip sebagai berita, mencari-cari kesalahan orang lain, pemaksaan, dramatisasi pemberitaan, opinisasi, menggunakan media milik media massa lain, menumbar privasi, mengancam, penggunaan istilah yang berlebihan.
Seringkali kita melihat adanya unsur pemaksaan dari para “wartawan” infotainmet yang memaksa target informan beritanya meskipun yang bersangkutan sudah menolaknya. Dunia infotainment pun menjadikan privasi selebriti sebagai komoditi sumber pemberitaannya. Mereka seharusnya dapat membedakan mana wilayah publik dan mana wilayah pribadi yang memang tidak mesti harus selalu diketahui orang lain. Karena tidak semua sisi kehidupan selebritis pantas untuk dikonsumsi oleh khalayak ramai. Apalagi yang sering kita dengar dari infotainment adalah sisi-sisi negatif dari para selebritis, entah itu perceraian, perselingkuhan, narkoba, pemerasan maupun gaya hidup glamour di lingkungan selebritis.
Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI sendiri Bab II pasal 6 secara jelas dikatakan bahwa “Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”. Artinya, penayangan seputar kehidupan pribadi artis yang selama ini jadi bahan pokok berita infotainment jelas tidak dapat dibenarkan. Karena manfaatnya bagi masyarakat sangat kabur dan tidak berdampak positif bagi kehidupan sosial masyarakat. Yang ada justru sebaliknya, gaya hidup glamour, budaya kawin-cerai dikalangan artis menjadi kebiasaan yang bisa saja dicontoh masyarakat. Secara umum prinsip kode etik jurnalistik mengandung kebenaran (truthfulness) informasi, Kejelasan (clarity) informasi, pembelaan atas hak publik, responsibilitas dalam membentuk opini publik, standar pengumpulan dan penyiaran informasi, dan respek pada integritas sumber. (Syahputra, 2006)
Meskipun sebagian besar “wartawan” infotainment sering melanggar kode etik tersebut, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan bahwa “wartawan” infotainment adalah bagian dari wartawan jurnalistik pada tanggal 9 Februaru 2005 saat peringatan hari Pers Nasional. Namun, tidak semua insan pers sepakat dengan keputusan PWI tersebut, Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) misalnya, tetap bersikukuh bahwa “wartawan” infotainment tidak termasuk ke dalam wartawan jurnalistik, karena mereka tidak memakai kode etik jurnalistik seperti yang disebutkan di atas dalam mencari dan menyiarkan sebuah berita.
Salah satu kasus yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan publik adalah mengenai tuntutan “wartawan” infotainment atas Luna Maya yang telah menjelek-jelekkan infotainment dan menghina keberadaan “wartawan” infotainment tesebut melalui situs jejaring sosial Twitter. Lepas dari keinginan untuk membahas terlau berlebihan terhadap kasus Luna Maya, penulis hanya ingin memberikan gambaran mengenai kondisi infotainment Indonesia belakangan ini yang sudah semakin mengkhawatirkan dampak negatifnya bagi perkembangan sosial masyarakat. Hiruk-pikuk pemberitaanpun menjadi semakin panas. Dunia infotainmentpun seirama dalam mencekal Luna Maya atas tindakannya tersebut. Anehnya, pasal yang digunakan untuk menjerat Luna Maya adalah yang sama dengan yang digunakan oleh pihak Rumah Sakit Omni Internasional yang menjerat Prita Mulyasari beberapa waktu yang lalu yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 yang ancaman pidananya enam tahun penjara dan/atau denda 1 miliar. Padahal selama ini, pasal tersebutlah yang diperjuangkan kalangan media massa untuk direvisi.
Begitulah infotainment saat ini. Keberadaannya bagai pisau bermata dua. Yang satu berdalih menggunakan hak kebebasan bependapat dan berekspresi dan satu lagi justru kebablasan dalam membeberkan berita yang masih dalam tataran gosip belaka. Dampak burk yang ditimbulkan dari infotainment jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Masyarakat akan semakin dibodohi dengan berita-berita gosip yang hanya menggunjing aib orang lain. Padahal, kalau mau fair, infotainment seharusnya lebih banyak menyuguhkan berita-berita tentang perilaku selebritis yang terpuji yang bisa dicontoh masyarakat. Bukan hanya aib dan kejelekannya saja. Padahal sesungguhnya dalam Islam pun, Allah telah melarang gosip atau ghibah, menggunjing orang lain, mencari-cari keburukan atau aib dengan tujuan merendahkan martabat orang tersebut. Inilah realitas kondisi infotainment saat ini, jauh dari etika pembelajaran yang terpuji kepada masyarakat.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Hujurat:12)
wartawan infotainment, apakah memang diakui sebagai wartawan ya? mengingat secara etis, mereka terkadang tidak etis. namun, apapun itu, redefinisi wartawan, memang harus dilakukan kembali. menjadi bebas, bukan berarti tidak bertanggung jawab.