Dulu kala di sebuah penjara suci Insan Cendekia
Dulu… ada ‘mereka’ yang begitu rajinnya puasa senin kamis, sampai-sampai selalu berebut untuk mendaftarkan dirinya. lalu meminta dibangunkan dengan penuh harap. “plisss…. bangunin gw yah”
Dulu… ada ‘mereka’ yang tiap pagi dan petangnya selalu membasahi bibir dengan tilawah qur’an dan hafalan hadits-hadits dari buku pelajaran.
Dulu… ada ‘mereka’ yang begitu disiplinnya membangunkan mereka-mereka lain yang masih terlelap dalam mimpinya untuk bangun dan shalat subuh.
Dulu… ada ‘mereka’ yang begitu fasihnya menjadi imam masjid dan khatib saat tugas bergiliran tiba.
Dulu… ada ‘mereka’ yang bahkan anginpun tak dibiarkan untuk menyibakkan jilbabnya. Ada sepasang peniti yang selalu merekat erat di ujung jilbabnya.
Dulu… ada ‘mereka’ yang merah bibirnya selalu menyapa dengan salam penghormatan tertinggi. “Assalamu’alaikum.”
*kangen dengan suasana itu
SATURASI
“mau kemana akh?”. tanya seorang teman. “Mau Syuro”. Besok paginya ia bertanya kembali, “pagi-pagi gini udah rapi banget, mau kemana?”. “Syuro lagi”. jawabku. Begitu hampir tiap hari, di beberepa pekan terakhir ini. Sampai-sampai saya pun malu untuk menjawab dengan jawaban yang sama hampir tiap hari. “ Antum ni ahli syuro banget, tiap jam 6 pagi udh berangkat syuro.”
Sejenak saya berpikir. Iyakah seperti itu? Atau selama ini saya dan teman-teman lainnya hanya berkutat pada rapat-rapat yang tidak jelas, syuro-syuro yang sering molor waktunya , dan hanya membahas masalah-masalah yang tidak esensial untuk dibahas.
Ketika agenda-agenda dakwah semakin banyak, memang kebutuhan akan syuro menjadi sejalan bertambah banyak pula. Dan dari satu agenda ke agenda lain membutuhkan persiapan dan konsolidasi yang matang serta terarah. Namun seringkali, agenda-agenda tersebut menjadi terkotak-kotak, terpsah dan tidak saling berhubungan denga satu sama lain.
Pernah suatu ketika, kami harus menunda pembahasan suatu agenda karena “judul” syuronya tidak membahas itu. “gimana kalau pekan depan kita rihlah lembaga?”. “nanti kita syuro dulu pas rapat PH. takutnya ada agenda PH pekan depan, kalau ps rapat PH ga ada agenda, nanti syuro selanjutnya kita rencanakan untuk rihlah pekan depan.” . Kemudian stelah syuro yang satu itu selesai, kami mulai membahas tema yang tadi sempat tertunda. Lucunya lagi, orang-orang yang berada di dalam syuro itu, ya.. yang tadi-tadi juga. Bahkan tempat syuronya pun tidak bergeser sedikitpun. Padahal seandainya agenda syuro pertama tadi langsung diselesaikan, mungkin tidak akan memngambil waktu cukup banyak hingga sampai menundanya berlarut-larut.
Ah…, efektifitas syuro seakan mulai terkikis. Pembahasan agenda tidak lagi berjalan sinergis dan komprehensif. Hanya sekedar memenuhi waktu agar menjadi rutinitas pekanan. sehingga ketika ada evaluasi lembag, kita bisa menjawab.” kami sudah syuro sebanyak sekian…rutin sekali dalam sepekan. Agenda yang dibahas ini-itu, dll”. Tapi yang seharusnya jadi bahan pertanyaan adalah. “Sudahkah syuro-syuro yang antum lakukan itu bisa memberikan manfaat untuk orang lain? atau selama ini hanya menambah beban dakwah dengan dalih syuro padahal apa yang dibahas tak lebih dari sekedar pembicaraan yang sebenarnya bisa terselesaikan dalam obrolan biasa.
Saturasi…jenuh…atau apalah itu namanya. Yang pasti, saat ini saya mulai sedikit jenuh dengan agenda-agenda yang menumpuk tapi kemanfaatannya masih dipertanyakan…
Saat diri mulai saturasi, ribuan pertanyaan seakan membuncah menggelora memenuhi ruang yang tertampug di kepala. seluruh sendi-sendi waktupun menuntut untuk menjawabnya. Apakah yang telah dilaukan diri ini? untuk dirimu sendiri, untuk umat, untuk bangsa dan untuk Tuhanmu?
Mobil itu…
Kulihat empat buah roda terpasang kokoh mendampinginya. Tertaut indah menghiasi keanggunan besi-besi nan gagah. Pasti mobil itu siap untuk dijalankan oleh pengemudinya. Melintasi keperkasaan jalan kota dan keheningan jalan desa bertabur keramahan. Namun apa jadinya bila tak ada teman setia menemani putaran roda? Apa jadinya bila hanya ada SATU buah roda terpasang di sela besi-besi itu? Biarpun roda itu sudah ditambahi dengan ban yang sudah dipompa dan mengembang sangat bagus. Tak akan ada artinya bagi sang mobil. Roda itu takkan bisa menggerakkan mobil untuk berjalan apalagi melaju dengan kecepatan yang tinggi. Bahhkan untuk menahan beban mobil itupun sangat berat. Bisa jadi, lama kelamaan BAN itu akan semakin MENYUSUT semangatnya untuk menggerakkan mobil. Bisa jadi BAN itu akan KEMPES tak mampu menahan beratnya seonggok besi-besi yang menuntutnya untuk berlari. Dan kini BAN itu pun sudah kehilangan semangatnya untuk memutarkan roda agar mobil itu bisa melaju, bahkan untuk bergerak satu meterpun tak lagi seperti dulu ketika ia masih berteman ketiga ban lainnya. BAN itu butuh TEMAN….. Ia menantikan teman yang siap untuk memikul beban besi-besi itu dan melaju bersama ke tempat impian.
*Jangan salahkan satu BAN itu bila setelah dipompa ia kembali KEMPES dan tidak bisa menggerakkan MOBIL, karena mungkin ada yang turut andil dalam memisahkan ia dengan ketiga roda yang lainnya.
Informasi Peserta Lulus Seleksi Tes Tertulis PSB MAN IC 2010
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Serpong
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Serpong (Cadangan)
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Gorontalo
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Gorontalo (Cadangan)
Mahasiswa Kampus & Perubahan Sosial
Sebagai bagian dari elemen masyarakat yang sedang menempuh alur pendidikan tertinggi, dengan sendirinya mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual, kaum yang deiharapkan dapat memberi peran lebih dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa. Oleh karena itu sudah selayaknya, mahasiswa sadar akan peran yang harus diembannya dan amanah yang dibebankan masyarakat kepada mereka begitu besar.Bahkan Jack Newfield menyebut mahasiswa adalah kelompok minoritas sebagai a prophetic minority meskipun mahasiswa adalah kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa. Namun mereka bisa memainkan peranan profetik. Mereka melihat jauh kedepan dan memikirkan apa yang tidak dan belum dipikirkan oleh masyarakat umum. Dalam visi mereka, nampak ada kesalahan mendasar dalam masyarakat dan mereka menginginkan perubahan melalui jalan tranformasi masyarakat.
Lingkungan kampus merupakan lingkungan paling kondusif untuk membentu sebuah ideologi pemikiran ataupun pergerakan. Betapa banyak tokoh-tohoh besar bangsa ini lahir dari sebuah lingkungan bernama kampus. Aktualisasi nilai-nilai pergerakanpun akan semakin nyata muncul ketika seseorang berada dalam lingkungan kampus tersebut. Sehingga begitu pentingnya masa-masa keberadaan kita di kampus untuk bisa menjadikannya sebagai sarana untuk berkontribusi menebar benih-benih kebaikan kepada masyarakat kampus juga kebermanfaatan bagi umat dan bangsa. Bangsa yang sedang membutuhkan orang-orang yang tidak hanya matang secara akademis tapi juga tajam dalam pemikiran dan progresif dalam pergerakan. Bangsa yang semakin lama semakin terpuruk ini sudah menanti peran dan kontribusi yang nyata bagi generasi muda terutama mahasiswa yang notabene adalah kaum intelektual yang jumlahnya masih sangat sedikit sekali dibandingkan dengan total penduduk negeri ini. Oleh karena itu perubahan ke arah yang lebih baik merupakan impian negri ini agar bisa bangkit dari keterpurukan. Dan perubahan itu sendiri bisa dimulai dari tatanan kehidupan bermasyarakat yang terkondisikan dalam sebuah struktur sosial yang baik.
Sedangkan perubahan sosial itu sendiri adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Namun, yang perlu dipahami, adalah bagaimana konsep perubahan itu sendiri . Perubahan seperti apakah yang diharapkan? Kita tidak bisa menutup mata bahwa, arus glogalisasi saat ini sedikit banyak telah memberi efek pada pola kehidupan masyarakat terutam adi kalangan remaja. Narkoba, seks bebas, gaya hidu hedonisme, materialisme merupakan ancaman yang serius yang melanda generasi muda kita. Oleh karena itu, disinilah peran mahasiswa yang memiliki potensi lebih untuk bisa memperbaiki kondisi masyarakat saat ini. Dengan semangat ideologinya yang masih membuncah dan jiwa-jiwa perjuangan yang masih melekat di dada para mahasiswa seharusnya menjadi bekal untuk bisa melakukan transformasi atau perubahan sosial.
Tak hanya itu, perang ideologi saat ini juga harus menjadi perhatian an merupakan PR besar bagi para penggerak perubahan sosial agar ideologi-ideologi yang berkembah tidak menggangu tatanan kehidupan bangsa dan saling menjatuhkan antar ideologi yang berkembang. Terutama umat Islam yang harus wasapada terhadap virus-virus libelarisme, sekularisme dan pluralisme yang bisa mengancam aqidah umat Islam. Perubahan adalah suatu keniscayaan, atau sunnatullah. Artinya suka atau tidak, kita akan menemui perubahan. Kalaupun kita diam, maka ada banyak pemikiran lain yang mencoba mengubah masyarakat sesuai dengan kehendak mereka. Oleh karena itu, diamnya kita berarti membiarkan ‘kekalahan’ ideologi yang kita yakini kebenarannya dan membiarkan terjadinya perubahan ke arah yang tidak kita kehendaki. Dalam Ar Ra’du:11, Allah berfirman bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka mengubah kondisi dirinya sendiri, dan.
Melakukan perubahan adalah perintah di dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam suatu hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung, orang yang hari ini sama dengan kemarin berarti rugi, dan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin adalah celaka. Artinya kalau kita membiarkan kondisi statis tanpa perubahan – apalagi membiarkan perubahan ke arah yang lebih buruk – berarti kita tidak termasuk orang yang beruntung. Juga di dalam Ali Imran:104 Allah memerintahkan agar ada kaum yang menyeru kepada kebaikan – sebagai sebuah perubahan
Saya jadi ingat perkataan tokoh Masyumi M. Natsir, bahwa kampus adalah benteng umat Islam yang ketiga setelah masjid dan pesantren. Seharusnya, mahasiswa bisa menjadi pionir revolusi di Indonesia. Semoga…!!!
Refleksi diri di lembaga
Memasuki tahun kedua di kampus, amanah seakan datang menghampiri tak peduli apakah kita siap untuk mengembannya atau tidak. Memang amanah itu ibarat musuh yang tidak perlu dicari, tapi ketika ia sudah datang, maka kitapun harus menghadapinya. Paling tidak mengemban amanah itu dengan sebaik-baiknya.
Awalnya sebgai staf, kita yang dibina, diarahkan dan dikader untuk siap diterjunkan langsung untuk mengurusi sebuah lembaga. Namun, lama kelamaan, tahun pun berganti, kepengurusan sudah harus berlanjut dan diteruskan oleh generasi sesudahnya, maka kita pun mempunyai beban tambahan untuk tidak sekedar mengurusi lembaga. Akan tetapi ada peran lain yang harus dilakukan ketika sudah berada dalam tataran PH. Yaitu bagaimana mengkader staf dan anggota baru agar mereka bisa lebih terjaga dan bisa maksimal perannya dilembaga tersebut.
Beberapa poin penting yang harus dipikirkan oleh para penggerak lembaga, baik itu lembaga da’wy, siyasi ataupun ilmy adiantaranya adalah: kejelasan visi dan arahan kerja yang akan dicapai dalam masa kepengurusan, kaderisasi dan pencitraan lembaga baik ke dalam maupun keluar.
Kejelasan Visi
Ketika awal-awal masa perekrutan ataupun pendaftaran anggota baru, biasanya lembega-lembaga di kampus menggembar-gemborkan visi dan misi yang dimilikinya. Baik itu dalam bentuk media berupa leaflet, buletin ataupun melalui media internet. Lalu, setelah anggota baru terekrut, kadang pengurus itu sendiri bingung mau dibawa kemana angoota-anggota baru yang sudah terdafrar itu. Karena biasanya di awal masa perekrutan itu, anggota yang terdafatar jumlahnya sangat banyak dan melimpah. Bila pengurus-pengurus di lembaga tidak mampu untuk mentansfer nilai-nilai lembaga, baik itu visi dan misi, arahan dan target yang akan dicapai, maka anngota baru akan kebingungan dengan lembaga yang sedang diikutinya. Apa yang mereka lihat ketika mendaftar ternyata tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pengurus sendiri bahkan masih bingung dengan visi yang dicantumkannya di banner-banner stand pendaftaran, karena tidak ada sharing value yang berkelanjutan dari pengurus sebelumnya. Pada akhirnya, lama-kelamaan, lembaga itu berjalan tidak berdasarkan visi yang sudah ditetapkan dan bisa jadi nilai-nilai yang diharapkan bisa terealisasikan di lembaga tersebut tidak dapat terwujud.
Kaderisasi
Bisa dikatakan, fungsi kaderisasi adalah ujung tombak bagi sebuah lembaga. Karena proses pengkaderan dan pewarisan nilai-nilai bertumpu pada fungsi kaderisasi ini. Betapa banyak lembaga-lembaga di kampus yang akhirnya mati dan tidak berjalan karena fungsi kaderisasinya tidak berjalan dengan baik. Hampir disemua lembaga yang saya ikuti, ketika di awal pendaftaran anggota baru jumlahnya sangat banyak, namun lama-kelamaan terjadi seleksi alam yang menyebabkan jumlah anggota di lembaga tersebut mengerucut,. Bahkan, ada yang asama sekali kehilangan staf di sebuah departemen. Kondisi ini bisa terjadi karena alur kaderisasi yang dijalani tdak tersampaikan ke anggota dengan baik, atau penjagaan dari pengurus sendir yang kurang terhadap anggotanya. Karena kaderisasi tidak sekedar menjalankan upgrading ataupun daurah-daurah semata, akan tetapi penjagaan dan pendekatan personal lebih dibutuhkan untuk menjamin bahwa akan ada penerus sesudahnya di lembaga ttersebut yang memiliki visi yang sam, semangat yang sama dan militans iyang sama. Lebih bagus lagi bisa melebih yang ada saat ini.
Pencitraan
Hal ini berkaitan dengan peran humas dan media yang sangat penting untuk mencitrakan lembaganya kepada publik. Karena publik kadang hanya melihat sebuah lembaga dari kulit terluarnya saja. Sebagus apapun program kerja yang dilaksanakan, secemerlang apapun ide dan konsep kaderisasi yang dilakukan, tidak akan bernilai lebih jika citra lembaga di mata publik itu buruk. Oleh karena itu fungsi pencitraan ini juga penting menurut saya, agar bisa menyampaikan kepada publik apa-apa saja yang sudah dilakukan oleh lembaga tersebut.
*Ditulis sebagai salahsatu prasyarat untuk mengikuti SPE Partai Bunderan UGM
Cerpen
YANG TERDUSTAKAN
oleh: ILNa Andromeda
Pancaran sinar matahari pagi itu sudah mulai terlihat. Meski masih malu-malu untuk menampakan bentuknya secara utuh, namun cuaca jumat pagi itu memberikan pesan bahwa kecerahan akan meyelimuti pagi hingga sore di kota hujan ini. Yah, meskipun dibilang kota hujan, tapi tak selamanya sepanjang hari harus terguyur hujan. Dedaunan pun tak hanya butuh air untuk tumbuh dan berkembang. Pepohonan juga butuh kehangatan sinar mentari yang membuatnya berpacu untuk memberikan kesegaran bagi siapapun yang berada di sekitarnya. Di petala langit juga terlihat awan nan indah menghiasi beberapa sudut langit yang biru menyejukkan.
Aku langkahkan kakiku berangkat menuju terminal baranangsiang pagi itu. Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri jalan berbatu yang masih bercampur dengan merahnya tanah kampung. Sudah bertahun-tahun jalan desa ini dibiarkan seperti itu. Tak seperti kampung sebelah yang sudah beraspal, jalan desa margasari ini masih berlumur tanah. Pemerintah desa setempat hanya memberi bantuan berupa batu-batu kasar untuk memudahkan kendaraan berjalan terutama musim penghujan tiba. Itupun tidak semua sisi jalan tertutupi batu. Kiri dan kanan beberapa sudut jalan tetap saja masih berupa tanah merah yang kalau hujan tiba, sudah pasti akan menjadi arena kubangan lumpur yang tersebar di sepanjang jalan.
Berjalan sepanjang dua kilometer tak terasa melelahkan. Sepanjang perjalanan mata ini disuguhi pemandangan indah panorama alam desa margasari yang indah dan menyejukkan. Meski jalan desanya masih rusak, namun view disebelah utara itu akan menggetarkan bibir dan membuat decak kagum sesiapa saja yang melihat pemandangan itu. Puncak gunung Salak yang terlihat sangat jelas dari tempatku berjalan dihiasi padang sawah yang terhampar luar sepanjang perjalanan ditambah lagi laju hilir mudik warga yang pulang pergi ke pasar pagi itu, membuat nuansa sendiri yang membuatku merasakan betapa indahnya hidup di desa ini. Penuh kehangatan dan keunikan para penduduknya yang ramah serta jiwa pekerja keras yang kulihat dari raut wajah merka.
Sampai diterminal yang juga menyatu dengan pasar baranangsiang, aku lebih pelan berjalan. Genangan air di pasar, tumpukan sampah yang entah mengapa selalu ada tiap harinya serta padatnya jalan yang disesaki para penjual dan pengunjung pasar membuatku mencari celah-celah yang bisa ku lewati untuk tetap berjalan menuju terminal. Sambil kuangkat celana panjangku sampai di atas mata kaki, kadang kulangkahkan kakiku lebar-lebar untuk menghindari kubangan air. Mencari gundukan batu yang tak tergenang air comberan.
Kudengar paa pedagang itu menjajakan barang dagangannya masing-masing. Meraup rezeki dalam kerumunan orang banyak tentu bukan hal sulit. Namun tidak semudah yang kita bayangkan, karena banyaknya pedagang yang menyambung nasib di sana. Sepanjang pasar ini saja aku sudah ditawari jajanan kue oleh 5 orang ibu-ibu sambil menjunjung bakulnya. Belum lagi mereka yang membuka lapak dagangannya di kios-kios pasar. Waktu pagi, biasanya memang lebih didominasi oleh penjual makanan, sayur atau lauk pauk kebutuhan dapur lainnya.
Suara-suara pedagang yang menjajakan dagangannya ditambah riuh rendah suara anak-anak penual kantong kresek menjadi fenomena rutin yang kusaksikan tatkala melintasi pasar tersebt di pagi hari. Ah..anak-anak itu masih terlalu kecil untuk meraskan kerasnya persaingan mencari nafkah di pasar tersebut. mereka, yang seharusnya merasakan masa kecilnya dalam keceriaan, harus berjuang mengadu nasib ditempat kumuh tersebut. ironi memang, bangsa yang besar ini, yang katanya melindungi anak-anak miskin ternyata masih menyimpan dusta yang teramat dalam sampai menelantarkan mereka yang putus sekolah.
Memasuki area terminal, aku sudah melihat dari kejauhan, sekelompok ramaja berpakaian putih abu-abu mengerumuni basecamp tempat biasanya mereka untuk naik angkot menuju sekolah. Hal yang juga kulakukan beberapa tahun lalu saat masih berstatus sebagai pelajar SMA.
Huffh,,, aku jadi teringat masa-masa indah itu. banyak orang bilang, bahwa masa-masa di SMA adalah masa terindah dalam hidupnya, pun begitu yang aku rasakan. Tapi kini, duniaku sudah berbeda dengan mereka. Mereka yang masih memiliki harapan besar untuk menjadi orang sukses di kemudian hari. berbeda dengan aku, setelah lulus SMA, tak ada yang bisa kulakukan selain menjadi supir angkot ber strip putih biru ini. Tak ada lagi harapan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi lagi seperti teman-teman sekelasku dulu. aku hanya bisa menyesal, menggerutui diriku sendiri yang begitu bodohnya telah menyia-nyiakan kesempatan emas dulu. Parahnya lagi, bukan hanyak kesempatan emas yang kusia-siakan, melainkan juga aku telah membuat hati kedua orang tuaku terluka..
Aku yang kala itu disuruh untuk mendaftar kesebuah universitas tenama di kota ini, justru tidak mendaftarkan diri. Uang hasil keringatnya, dengan bercucur air mata dan berpeluh keringat yang membasahi kening dahinya tiap hari, aku gunakan untuk berfoya-foya. Bahkan uang yang seharusnya untuk membiayaiku melanjutkan kuliah, akau gunakan untuk membei sepeda motor di awal kelas 3. Betapa bodohnya aku kala itu, aku seakan tak peduli atas setiap tangis yang mereka rasakan, aku tak menghargai setiap senyum yang mereka berikan. Sungguh durhakanya aku…..
Membiarkan hati mereka tersayat-sayat saat membangunkanku shalat subuh tapi tak kunjung juga banguun. Membiarkan mereka yang tiap pagi harus pergi ke ladang, membajak sawah dan mengairinya. Membiarkan mereka bekerja disaat yang sama pula aku masih tertidur lelap. Tidur dengan nyenyak setelah semalaman bermain game di rental padahal izinnya untuk belajar bersama. Aku sangat zhalim.. . zhalim…
Kini, perasaan bersalah itu selalu menghantui pikiranku. Di saat aku mulai menyadari kesalahanku, disaat aku ingin kembali mencium kening kedua orang tuaku, di saat aku ingin bersimpuh sujud mohon maaf, aku terlambat.. Mereka telah pergi untuk selama-lamanya.
)I(
Kejadian itu bemula tepat setahun yang lalu. Sabtu malam, saat menjelang wisuda esok harinya, aku bersama teman-teman SMA ku melakukan balap liar di jalan raya yang baru saja di buka untuk umum. Saat malam hari, memang kendaraan yang melintas bisa dibilang cukup jarang bahkan dalam satu jam paling ada 2 atau 3 mobil yang melintas. Dengan motor yang baru saja kubeli aku ikut teman-temanku untuk balap liar di jalan tersebut. Tujuan kami memang hanya satu. melepas malam itu dengan kenangan yang tak terlupakan, karena mungkin setelah wisuda, kami tak bisa berkumpul bersama lagi. masing-masing akan melanjutkan ke kampus yang diingininya. Memang benar, malam itu adalah malam yang tak terlupakan bagiku. Bahkan hingga kini……
Beberapa ratus meter dari tempat kami start, aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. entah kenapa aku justru tidak tenang. tidak seperti biasanya aku merrasakan kegelisahan seperti ini. saat mendekati sebuah tikungan yang gelap, pikiranku semakin menerawang tak jelas, kendali emosiku juga semakin tidak stabil serta motor yang kukendaraipun tak bisa ku kendalikan dengan baik. Di saat yang bersamaan, mataku muali silau dengan sebuah cahaya terang dalam kegelapan tersebut. Awalnya hanya berupa sebuah titik kuning kecil. Lama-lama cahaya tersebut membesar dan semakin mendekatiku. Jantungku tersentak, darahku terhenyak ketika menyadari bahwa tepat satu meter di depanku, sebuah mobil truk pengangkut pasir melaju mendekatiku. entah apa yang selanjutnya terjadi….. aku tak sadarkan diri….. aku hanya merasakan seolah-olah darahku behenti mengalir. Sayup-sayup kudengar suara-suara orang mengengerumuniku. tapi aku tak mendengar apa ucapan mereka.Tak lama setelah itu, bunyi sirine yang biasa kudengar di puskesmas dekat rumahku makin jelas mendekati telingaku. Setelah itu, tak ada lagi raungan dan getar suara yang kudengar lagi, mataku berpejam. Gelap…..tak ada setitik cahayapun.
)I(
“arya…kamu sudah siuman?”. Kudengar suara itu tepat beberapa jengkal saja dari telingaku. Kurasakan suara lembut itu mengisi kembali ruang-ruang jiwaku yang sempat hampa.
“di….di..manaa?”. Itulah kata-kata yang aku ingat untuk pertamakalinya bisa kuucapkan.
“kamu dirumah sakit, Nak”.
“i-b-u-……..”
“Sudahlah Nak, sekarang kamu istirahat dulu saja, tubuhmu masih lemah karene
banyak kehilangan darah.”
Sebuah belaian tangan seorang lelaki menyentuh dahiku, seraya berkata,
“Jangan terlalu banyak bergerak Nak. kakimu baru saja dioperasi.”
Suara itu kukenal. Suara yang seringkali melantunkan surah ar-Rahman di sepertiga malam terakhir. Suara yang aku dengar sayup-sayup hampir tiap hari menjelang subuh itu dari kamarku. Suara yang sempat membuatku kesal karena menggangu kenyenyakanku saat tidur. Kini, suara serak itu semakin kukenal, menyapa telingaku dengan ucapan yang begitu lembut. Tangan itu…tangan itu juga kukenal. Tangan yang kasar yang dulu sering kucium ketika berangkat sekolah. Tapi itu sudah lama sekali. Ketika aku masih SMP. Semenjak SMA tak pernah lagi kucium tangan kasar nan bertenanga itu. Tangan yang setiap harinya harus berjibaku dengan traktor sawah itu kini, membelai keningku. Aku terisak sejadi-jadinya. menyesali perbuatanku selama ini pada orang yang selalu menyanyangiku. Bahkan pada saat yang seperti inipun, merekalah yang selalu berada di sampingku. Aku tertidur kembali sebelum sempat mengucapkan sesuatu pada mereka.
)I(
Subuh itu, mungkin sudah subuh keempat aku berada di ranjang putih rumah sakit ini. sebah lantunan ayat suci diperdengarkan dari masjid Rumah Sakit. entah kenapa, pagi itu yang kembali kudengar adalah surat ar-Rahman. Surat yang sering dibaca pula oleh ayahku ketika sholat tahajjud.
“Fabiayyi AaLaa-i Rabbikuma tukadzdziban…..”
Aku masih ingat artinya saat dulu ikut pesantren kilat di SMP.
“Maka nikmat yang manakah dari Tuhanmu yang kamu dustakan.”
Aku tersentak, merenungi tiap ayat-ayat terebut yang terus berulang-ulang sebanyak 31 kali. Menyadari betapa selama ini, aku sudah melupakan nikmt-nikmat yang Allah berikan padaku. Ia memberikan ornag tua yang begitu sayang padaku. Keluarga yang selalu mnyemangatiku untuk melanjutkan kuliah. Tapi betapa kufurnya aku, tak pernah mensyukuri nikmat-nikmat itu. Butiran air membentuk kawah di pelupuk mataku yang sudah siap untuk meneteskannya. Bibir yang tergentar tak mampu menghentikan isak tangisku mengingat semua perbuatan yang kulakukan pada orang tuaku. Aku menangis…
Ya, itulah tangis pertamaku menyadari kesalahanku pada orang tuaku. Aku ingat sudah berkali-kali membuat ayah yang setegar itu juga menitikkan air mata. Saat aku membuat ulah di sekolah. Berkelahi dan tawuran dengan anak SMA lain. Ayahku yang pagi itu harus memanen padinya, terpaksa harus memenuhi undangan kepala sekolahku untuk menerima surat teguran dan skorsing untukku selama dua minggu. Itulah untuk kali pertama, akau meliah ia menangis, setelah itu, mungkin ia sembunyikan air mata dalam hatinya.
Aku terpanggil dengan suara murottal itu. Aku ingin merasakan kembali sujud panjangku di sepertima malam ini. Aku ingin memohon ampun pada sang Khaliq. Dengan berjalan tertatih, disertai kruk penyangga, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Kucuran air di sepertiga malam itu kini menjadi saksi bahwa aku ingin bertaubat. Kubasuhkan air yang cukup dingin itu ke wajahku. Terasa seluruh sendi-sendiku ikut tersejukkan dengan air itu. Aku membayangkan wajah kedua orang tuaku yang sering sembab bercucur air mata karena kelakuanku. Astaghfirullah….
Kumulai shalat malam itu dengan sajadah terhampar di samping ranjangku.
“Allahu Akbar”
Maha Besar KeagunganMu yang telah memberi nafas setiap jiwa-jiwa yang benyawa di muka bumi ini. Maha Besar atas KuasaMu yang telah menundukkan angin, menyejukkan kening dan dahiku dari sudut jendela kamar Rumah Sakit itu. Maha Besar PenjagaanMu senantiasa mengawasi hamba-hamba nista berlumur dosa di mika bumi ini.
Kupanjangkan do’a dalam sujudku. Mungkin inilah sujud terpanjang yang pernah kulakukan saat bersimpuh dihadapanMu. Sujud yang kurasakan begitu indah dan menenangkan bathin dan jiwaku. Aku lanjutkan shalat malamku hingga empat rakaat dan diakhirkan dengan witir.
Tepat saat salam terkahirku, aku mendengar pintu kamarku terketuk, lalu perlahan terbuka. Kutolehkan pandangku ke arah pintu masuk itu. Sesosok pria telah berdiri di depan pintu.
“arya…”. Baru kutahu sesaat kemudian bahwa lelaki itu adalah pamanku.
“bisakah kamu ikut paman sekarang?”
“kemana Paman?”
“ikut saja sebentar.”
Aku merasakan ada sesuatu yang aneh. kenapa tiba-tiba paman datang menemuiku lalu memintaku untuk mengikutinya, padahal ia tahu sendiri aku masih belum boleh banyak bergerak. Dari raut wajahnya juga aku menangkap pesan kesediahan bercampur lara yang tak terbendungkan. Kami berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit dini hari itu. Aku melihat sebuah jam di sebuah sudut Rumah Sakit. Pukul 04.00 berarti sebentar lagi adzan subuh tiba. Biasanya ayah dan ibu sudah datang menemuiku saat ini. Mereka membawakanku makanan dan menemaniku paling tidak sampai pukul 06.00 pagi. karena setelah itu, mereka akan melanjutkan garapan sawahnya yang sudah terlantar semenjak menemaniku seharian selama dua hari pertama aku dirawat.
Sisi kanan dan kiri rumah sakit dipenuhi oleh keluarga pasien yang bermalam di Rumah Sakit tersebut, mereka menggelar tikar karena tidak diizinkan terlalu banyak keluarga yang menemani pasien di dalam kamar. Sesekali kudenganr raungan sirine ambulance yang seolah tak berhenti bekerja bahkan hingga dini hari itu. Setelah melewati lorong itu, kami kemudian berbelok ke kanan menuju arah bangsal Teratai. Namun sebelum sampai di bangsal itu, ada sebuah lorong kecil ke arah kiri. Aku tidak habis pikir kenapa pamanku berbelok ke arah kiri tersebut, padahal itu adalah kamar jenazah. kenapa pula aku pagi-pagi buta ini diajak ke ruang tersebut. Hatiku bertanya-tanya, apa maksud pamanku itu.
Pintu kamar jenazah dibuka oleh paman, lalu kami berdua masuk. Saat dibuka, kudengar kerumunan orang banyak dengan isak tangis menyelimuti seisi ruangan itu. Tapi anehnya, kenapa ada adik-adikku dan juga keluarga kedua orangtuaku. Tetangga sebelah rumah orangtuakupun juga ada di ruangan tersebut.
“yang sabar ya, Nak…”
Bibiku mendekatiku. Kelihat adik-adikku menangis, dan matanya sudah sembab oleh linangan air mata. Aku semakin bingung. Firasatku mulai berkata aneh. Lalu dua sosok jiwa berselimut kain putih ditujukan kepadaku. Apakah mereka…? Apakah kedua sosok itu adalah…?
Belum sempat ku berpikir jauh. Paman memeluku dengan isak tangis.
“Mereka ayah dan ibumu…..”
Tulang-tulangku serasa dicopt satu persatu, hentakan jantungku serasa berhenti memompa. Darahku seakan berhenti mengalir. Bibirku bergetar berucap “innalilllahi wa innna ilaihi raaji’un”. Tubuhku melemas sambil mataku sayu bercampur air mata yang tak terbendung lagi. Ya Allah secepat itukah mereka meninggalkanku?. Saat aku belum sempat meminta maaf pada keduanya.Kudekati dua sosok berselimut putih itu.
Mereka kecelakaan saat angkot yang ditumpanginya bertabrakan dengan bus malam Bogor-Tasikmalaya ketika berangkat menjengukku di Rumah Sakit ini. Ku tatap kedua wajah mereka dekat-dekat. Kucium kedua kening mereka.
Ya Rabb, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan sanyangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Allahummaghfir lahum, warham hum, wa akrim nuzuulahum, wa wasi’ mad kholahum, waghsil hum bil maa-i wats-tsalji wal barodi wanaqqihi minal khothooya, kamaa yunaqqos saubul abyadu minaddanaasi wa abdilhum daaron khyron min daarihim wa ahlan khoyron min ahliihim wa jauzan khoyron min jauzihim wa qiihim fitnatal qobri wa ‘azaabannnaar………
Adzan subuh berkumandang turut mengiringi kepergian mereka berdua…….
**di sudut perpus asrama, saat jingga petala langit tergantikan oleh kelam hitamnya malam
Selasa, 11 Mei 2010 Pukul 18.30 WIB.
Komentar Terbaru