Surat Cinta untukmu Mahasiswa baru.
Surat Cinta untukmu Mahasiswa baru.
Seperti petak-petak sawah kering yang merindukan turunnya hujan……
Seperti ujung dedaun yang merindukan sentuhan angin……
Seperti malam-malam dingin yang merindukan sang mentari….
Seperti bibir pantai yang senantiasa menanti datangnya buih ombak….
Seperti itulah kami menantimu….
Assalamu’alayukum warahmatullahi wabarakatuh….
Salam terindah dan salam tertinggi kami sampaikan kepadamu wahai pemuda-pemudi terpilih. Salam penuh cinta yang akan menyejukkan segala kegersangan hati dan kehampaan jiwa. Salam yang senantiasa menjadi pembuka pintu keberkahan dan kasih sayang Nya.
Tahukah kawan.., bahwa setiap tahun, hati kami selalu diliputi rasa cemas, hati kami tidak tenang saat-saat dimana adik-adik baru kami menapakkan kaki di bumi gadjahmada ini. Pun begitu pula saat wajah-wajah baru yang hadir di tanah grafika ini, kami selalu khawatir, seperti apakah nantinya calon-calon penerus bangsa yang akan menjadi bagian dari keluarga besar kami.
Kami tak kuasa menahan haru bercampur bahagia, saat kalian kami menjadi bagian dari mutiara-mutiara indah yang akan siap menghiasi kawah candradimuka ini. Juga, rasa sesak dan gelisah terlintas di hati kami, ketika kami menyaksikan berbagai drama keangkuhan anak-anak muda yang sudah terpoles zaman globalisasi ini menyeruak memenuhi pemandangan bumi teknik ini.
Ah.., tapi kami selalu bersyukur, bahwa setiap tahun ada saja para penyeru kebaikan yang datang dan menjadi bagian dari perjuangan kami. Selalu saja ada orang-orang baik yang membersamai kami dalam meniti jalan kebaikan ini. Kami berharap secercah harapan kembali muncul dan menguatkan tekad kami untuk membangun teknik menjadi lebih baik lagi. Kami yakin, bahwa harapan itu datang bersama kalian, mahasiswa baru.
Saudaraku, tahukah engkau bahwa kami sangat mencintaimu?. Benar, kami sangat mencintaimu. Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi kita tercinta, “Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri.” Bagaimana kami tidak mencintaimu, jikalau Rasulullah saja selalu memikirkanmu. “Ummati…Ummati…” Jauh sebelum kau dilahirkan. Berabad-abad yang lalu.
Saudaraku, selembar surat ini adalah salah satu wujud cinta kami pada kalian. Memang tidak seberapa arti selembar kertas, namun yang kami inginkan adalah agar kalian tahu betapa kami sangat mencintaimu. Kami ingin agar kalian pun selalu mencintai Nya.
Pun, jika cinta kami ditolak. Kami akan tetap mencintai kalian. Tidaklah mengapa kalau kalian membuang selembar surat ini, asalkan kalian tetap mencintai Nya. Tidaklah mengapa kalian mengacuhkan cinta kami, asalkan kalian tetap mencintai Nya. Tidaklah mengapa kalau kalian tidak mengenal kami, asalkan kalian tetap mengenal Keagungan Nya.
Saudaraku, di kampus ini banyak yang bisa kalian lakukan. Banyak ilmu yang bisa kalian dapatkan. Banyak teman yang bisa kalian jadikan sahabat seperjuangan. Tidaklah mengapa jika kalian aktif di Lembaga Dakwah, juga tidak mengapa kalian aktif di BEM, juga tidak mengapa kalian aktif di Kelompok Studi, pun juga tidak mengapa kalian mengikuti lembaga ekstra kampus atau bahkan sama sekali tidak mengikuti kesemuanya. Asalkan kalian tetap mencintai Nya. Asalkan kalian tetap menjadi kekasih Nya.
Wahai sudaraku, betapa kami ingin memanjatkan doa dalam sujud-sujud panjang kami, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan cinta hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di jalan-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, Ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tak pernah redup, lapangkanlah dada kami dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifat-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu.
Bagimu saudaraku yang sedang membaca surat ini, salam cinta nan hangat dari kami, Sahabat seperjuanganmu, KELUARGA MUSLIM TEKNIK.
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
SMS Power Rangers
Monster akan segera menyerang kota, 2000-an warga kota harus segera diselamatkan. Power Rangers memang punya kekuatan super, memang bisa melawan monster.Tapi tahukah kawan-kwan mereka juga manusia, dan kalau nggak salah mereka juga mahasiswa.
Jadi, kadang power Rangers juga harus memanusiakan dirinya. Bagilah beban jika memang berat bagila kerjaan kalau memang sempat, bagi keresahan kalau sedng penat. Dan berdamailah dengan diri kita. Kita memang pengennya maksimal di semua hal. Tapi kita punya limit. Maka dari itu yuk belajar berbagi. Salam “Power Rangers”
Para pewaris nabi (ulama adalah kafilah panjang yang akan terus menerus mengisi ruang kehidupan manusia dan mempertahankan jejak kenabian dalam narasi zaman (Anis Matta).
(Sender: Ranger Hijau)
Ketahuilah, kemenangan seiring dengan kesabaran. Jalan keluar seiring dengan cobaan, dan kemudahan seiring dengan kesulitan.
(Sender: Ranger Biru)
Jadilah mutiara-mutiara peradaban yang tak pernah lekang tergerus oleh pahitnya zaman namun keindahannya tak akan pernah pudar sampai kapanpun.
(Sender: Ranger Hijau)
Hidup adalah proses pembelajaran. Belajar untuk bersyukur meski tak cukup. Belajar untuk ikhjlas meski tak rela. Belajar untuk taat meski berat. Belajar memahami mesti tak sehati. Belajar setia meski banyak godaan. Belajar dan terus belajar. Karena dengan belajar akan semakin mendewasakan diri kita. (Sender: Ranger Kuning)
Hidup ini harus diahadapi. Terus dihadapi, jangan fokus pada masalah, tapi fokus pada solusi. Kalau kita berlarut-larut dalam masalah, kita akan jadi orang yang hanya bisa menyerah, pasrah. Dan akhirnya mati.
(Sender: Ranger Hitam)
“Laa tuthalib Rabbaka bi ta-akhkhuri muthlabikawalakin thalib nafsaka bi ta-akhkhhuri adabika.” (Al-Hikam, Syaikh Ibnu ‘Athaiallah). Janganlah menuntut Rabb mu, karena permohonanmua belum dikabulkan olehNya. Akan tetapi tuntutlah dirimu sendiri yang mungkin belum memenuhi syarat bagi suatu permohonan.
(Sender: Ranger Hijau)
Siapa suruh jadi ikhwah??!! Tidak ada. Tidak ada siapapun. Menjadi ikhwah adalah panggilan jiwa yang terkolaborasi pada diri yang ingin mengabdi bagi dakwah dan ummat dengan seluruh daya dan upaya yang dimiliki. Dia akan menjadi sosok lembut terhadap sesama, tegar terhadap godaan serta sabar dalam menghadapi godaan dan musibah. Sekecil apapun, insya Allah peran kita dalam dakwah akan menjadi anugerah yang dinantiikan ummat.
(Sender: Ranger Hitam)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan padamu, sedangkamu mengetahui. (Q.S. Al-Anfal: 27-28). (Sender: Ranger Kuning)
Biarlah Allah yang menyemangati kita sehingga tiap peristiwa menjadi teguran atas kemalasan kita. Cukuplah Allah yang mengetahui amal-amal kita, karena perhatian manusia terkadang menggerogoti keikhlasan. Semoga Allah menjadikan kita pribadi yang saat berbaur mampu menyemangati yang lain, dan saat sendiri mampu menguatkan diri sendiri. Semoga istiqomah dan dimudahkan segala urusan.
(Sender: Ranger Hijau)
Pinta Kami…
Robb, pinta kami jika dakwah adalah pilihan
Maka biar hati ini memilihnya
Jika dakwah adalah kewajiban
Maka kuatkan kami menjalaninya
Jika dakwah adalah kecintaan
Maka ikhlaskan kami merasakannya
Jika dakwah adalah nada dalam hidup
Maka ijinkan kami memainkan iramanya
Jika dakwah adalah badai kesulitan
Maka kuatkan kami untuk bisa bertahan
Jika kemenangan dakwah adalah tadhiyah dan tha’at
Maka ilhamkanlah semuanya pada jiwa ini…
Robb, kami yakin Engkau berkuasa mengabulkan doa kami..
Amin..
Jalan Dakwah
Jalan dakwah itu berat, jangan memintanya menjadi ringan
Dakwah itu sulit, jangan memintanya menjadi mudah
Jalan dakwah itu panjang, jangan minta menjadi pendek
Tapi mintalah punggung yang kuat
Agara mampu memikul amanah ini
Mintalah kaki yang kokoh
Agar nampak menampaki jalan ini
Dan mintalah hati yang bersih agar ikhlas selalu menyertai…..
Kader Steril & Kader Imun
Dalam sebuah qadhaya rowa’ie seorang al-akh mengeluhkan tentang kondisi liqo’atnya yang sudah jauh berbida dengan kondisi semasa SMA nya dulu. Ada kekeringan ukhuwah yang ia rasakan ketika memasuki dunia kampus ini? Format agenda pekanan tersebutpun dirasa lebih nyaman ketika waktu SMA dulu. Lalu apa sebenarnya yang salah dari kondisi yang berubah itu?
Sebenarnya apa yang dirasakan oleh beliau adalah sama seperti yang dirasakan (mungkin) hampir semua kader yang pernah terbina sejak awal ketika di SMA. Ada kondisi yang berbeda, suasana yang berubah dan lingkup kajian yang lebih luas yang menuntut adanya perubahan tersebut.
Nostalgia masa lalu memang akan menjadi kenangan yang indah. Siapapun pasti akan mengenang masa-masa yang pernah dilewatinya. Ketika pikirannya teringat akan masa-masa kelam, maka dia tak ingin mengingatnya lebih lama lagi. Pun begitupula ketika yang terlintas dalam bayangan kenangannya waktu itu adalah sesuatu yang sangat indah, maka sudah menjadi kecenderungan manusia menginginkan agar masa-masa indah itu kembali hadir seperti dahulu. Bahkan tidak jarang yang mengatakan, “ana mau kembali pada kondisi yang seperti dulu, nuansanya yang takkan pernah terlupakan sampai kapanpun.”
Wajar memang, bila ada keinginan-keinginan seperti itu. Tapi yang perlu diingat adalah kita hidup pada zaman ini, bukan zaman dahulu. Segala sesuatunya telah berubah. Dan perubahan zaman itu akan menuntut pula perubahan penyikapan kita atas kondisi yang berubah tersebut. Karena sejatinya tidak akan ada yang pernah berubah kecuali perubahan itu sendiri. Kita pasti akan berubah. Suasana halaqah pasti akan berubah. Materi kajian akan berubah. Murabbi akan berubah. Interaksi dengan sesama temanpun akan berubah. Intensitas pertemuan juga akan berubah. Dan semuanya akan berubah.
Namun, disamping perubahan itu, ada yang perlu kita perhatikan yaitu bahwa kita harus siap untuk menerima dan menjalani perubahan tersebut. Seorang al-ustadz pernah menyampaikan bahwa “Proses Tarbiyah ini harus bisa menghasilkan kader yang imun bukan sekedar kader yang steril“. Artinya adalah kader dakwah harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan barunya, bukan malah bernostalgia dengan masa lalu. Kader yang steril adalah kader yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang sudah terjaga, terisolasi dan jauh dari pengaruh pencemaran lingkungan sekitar. Sehingga ketika ia sudah keluar dari masa ‘inkubasi’ itu, maka ia akan terkontaminasi dengan lingkungan sekitar yang bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan sebelum keluar dari masa inkubasi itu. Jadilah ia seorang kader yang hanya menuntut untuk “kembali ke masa lalu”. Sedangkan kader yang imun adalah kader yang sudah dipersiapkan untuk bisa menjaga dan membentengi diri dari pengaruh lingkungan luar yang bisa jadi akan membuat kondisinya mengalami perubahan ke arah yang lebih buruk. Kader yang imun sudah terbina untuk tetap terjaga dalam kondisi dan situasi seperti apapun. Ia sudah siap untuk menatap masa depan sambil menjalani masa kini yang sedang dihadapinya. Kalau dulu seorang kader merasakan ukhuwah yang telah terkondisikan, sekarang saatnya belajar untuk memulai dan menciptakan ukhuwah itu.
Walahu a’lam bish showab
Daftar Sebaran Alumni Insan Cendekia Serpong Angkatan 13
Berikut adalah data sebaran alumni MAN Insan Cendekia Angkatan 13 “Nozomi Hikari” tahun pelajaran 2009/2010.
Alumni IPA
sumber: http://ic.sch.id
Dan ‘Atid pun menangis (bagian 1 dari 2)
Di malam yang sepi, di mana Fulanah sedang tidur,
Rakib dan Atid tetap terjaga untuk terus berzikir dan bermunajat kepada Allah seraya memanjatkan puja dan puji bagi Sang Pemilik alam semesta raya.
Di keheningan malam, hewan dan tumbuhan mendengarkan zikir mereka,
mengalun syahdu sambil menunduk, mengakui bahwa mereka hanyalah makhluk.
Hanya senyap yang tersisa,
di antara hingar bingar siang yang panas terasa.
Di antara zikir mereka, Rakib bergumam, “Wahai Atid, mengapa dulu kita diharuskan menyembah Adam, padahal mereka adalah orang-orang yang fasik?”
“Ah, hal itu karena hanya merekalah yang sanggup menjadi khalifah di muka bumi ini. Gunung pun menyerah ketika harus menjadi pemimpin. Hanya makhluk berakal sajalah yang patut menjadi pemimpin, Rakib!”
“Tapi aku tahu, engkau tidak buta Atid. Lihatlah catatanmu, penuh dengan catatan-catatan kejelekan yang Fulanah lakukan. Padahal, kita baru menukar dengan catatan yang baru saat Sya’ban menjelang dan dibersihkan oleh Allah kembali saat Syawal. Sekarang sudah Dzulhijjah dan kulihat tulisanmu lebih banyak daripada tulisanku. Aku percaya kalau janji Allah itu pasti benar tapi…” Rakib memutus perkataannya.
Atid pun terlihat bingung,”Iya, benar juga katamu tadi. Baiklah, bagaimana kalau esok hari kita buktikan bahwa janji Allah itu benar adanya. Kita buktikan, apakah manusia pantas menjadi sosok khalifah di bumi atau tidak. Sekarang lebih baik kita lanjutkan zikir kita yang terputus tadi.”
Pukul 00.00.
Gemerlap kota yang masih tersisa,
tidak menyurutkan semangat mereka untuk merasakan dekat dengan Allah.
Dekat dengan Sang Khalik, Sang Maha Pencipta yang Agung.
Sementara di samping mereka,
Fulanah tidur dengan pulas,
terbang dengan mimpinya,
melintasi waktu dan tempat,
melupakan realita yang menunggu di balik kelopak matanya yang terpejam.
Menunggu hingga azan Subuh menjelang…
Pukul 04.00
“Laa ilaaha illallah…”
“Teet… teet… teet…”
Bunyi bel asrama membangunkan Fulanah. Dengan terburu-buru, ia menuju kamar mandi dan berpakaian. Bergegas, menuju Masjid agar tidak mendapat poin.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang ketika bangun tidur tidak mengucap syukur kepada Allah dan berangkat menuju Masjid hanya karena poin, bukan karena mengharap ridha Allah semata?”
Atid terdiam. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Di Masjid, saat pembacaan wirid.
Fulanah yang masih terkantuk-kantuk meraih kertas catatannya,
membaca catatan tersebut alih-alih memohon ampun kepada Allah,
karena akan ada TB pada jam pertama.
Sementara di samping kiri dan kanan,
semua orang khusyu’ menikmati setiap kata dari doa yang dipanjatkan.
Sambil berharap mendapatkan kemudahan yang Allah janjikan dalam hidup mereka.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang ketika waktu untuk mengingat Allah tersedia sekalipun, ia tetap menggunakannya untuk urusan duniawi?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 05.00
Semua orang sedang mengantre di kantin untuk mendapat sarapan.
Saling menyapa dengan cerah, secerah sambutan fajar pagi yang bersinar di ufuk timur.
Saling melempar senyum, saling melempar tawa bersama.
Begitupun dengan Fulanah.
Dengan riang ia dan teman-temannya duduk menghadapi meja panjang.
Mengoper bakul nasi, mengoper botol kecap.
Sembari mengobrol, bersenda gurau melempar bahan candaan.
Seakan-akan keadaan seperti itu akan berlangsung selamanya.
Tibalah saat di mana mereka selesai sarapan.
Teman-teman Fulanah terus mengobrol,
tanpa menyadari bahwa ada yang terjadi di sana.
Fulanah tidak menghabiskan makanannya.
Padahal sejak mengambil, ia tahu itu adalah makanan yang ia tidak sukai.
Namun ia tetap mengambilnya.
Entah apa yang ia pikirkan, hanya Allah yang tahu.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang menyia-nyiakan pemberian Allah, padahal di luar sana berjuta-juta orang memohon, menangis kelaparan demi sesuap nasi?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 06.45
Sampailah Fulanah di apel pagi.
Lagi-lagi sapaan riang menyambut udara pagi.
Bertanya tentang PR, berbagi cerita,
apa saja.
Danton menyuruh mereka untuk berdoa,
agar hari itu mereka dirahmati oleh Allah.
Dan doa pun berlangsung dengan khidmat.
Namun ada satu yang mengganggu.
Fulanah tertawa cekikikan bersama teman-temannya.
Tidak besar namun cukup menyebalkan.
Saat ada teman yang mendiamkan,
mereka malah tertawa dan melanjutkan bercerita.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang harusnya mengemban amanah sebagai khalifah untuk seluruh makhluk di muka bumi namun untuk menjadi teladan bagi teman-temannya saja ia tidak mampu? Ia malah mencontohkan hal yang buruk! Bercanda di mana teman-teman yang lain sedang menghadap Allah! Allah, Atid! Bukan orang tuanya, bukan gurunya, bukan temannya, bukan siapa-siapa! Allah, Atid! Menghadap Sang Pencipta mereka dan Sang Pemilik tubuh mereka! Mengapa ia begitu sombong, Atid? Mengapa?
Atid pun terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 09.00
Kala guru menerangkan pelajaran,
semua sibuk menyimak.
Tak ada suara, tak ada canda tawa.
Mendengarkan ilmu yang diberikan oleh guru,
demi berjihad di jalan Allah,
demi memajukan Islam dan mengembalikan kejayaannya seperti zaman dahulu.
Fulanah pun demikian.
Ia menyimak, mencatat,
dan menguap sesekali apabila setan datang menggoda.
Kemudian guru tersebut keluar karena ada sesuatu.
Dan Fulanah berbicara,
sungguh kasar bicaranya tentang guru tersebut.
Sambil menjulukinya dengan sebutan yang tidak pantas bagi seorang guru,
kembali ia tertawa bersama dengan teman-temannya.
Ia tidak sadar,
sungguh ia tidak menyadarinya,
bahwa Rakib dan Atid selalu setia mengawalnya hingga liang lahat.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang tidak menghormati gurunya sendiri padahal guru tersebut adalah pintu ilmu baginya? Ia menjadi tahu karena adanya guru. Padahal Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang begitu hebatnya mau menjadi budak bagi seseorang yang mengajarinya satu huruf. Ia adalah orang yang merugi karena tidak memuliakan guru! Bukankah begitu, wahai temanku Atid?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 09.45
Bel istirahat berbunyi.
Tanda melepas lelah dan penat setelah belajar.
Fulanah pergi ke luar kelas untuk jajan,
tentu saja seperti teman-teman yang lain.
Oh, ternyata ia lupa membawa dompet.
Kemudian ia berkeliling,
mencari temannya yang mempunyai uang lebih untuk ia pinjami.
Ketika ia menemukannya dan mengutarakan maksudnya,
kening sang teman berkerut.
Maksudnya apa?
Bukankah kemarin Fulanah baru meminjam uang yang cukup besar pula?
Lalu, sembari lalu Fulanah berkata,
bahwa ia lupa dan ia meminta maaf untuk itu.
Tapi ia harus meminjam uang lagi saat ini,
karena ia lapar sekaligus akan menggantinya dengan hutang yang lalu.
Temannya dengan setengah ikhlas akhirnya meminjamkan.
Ia mendesah dan membuka dompetnya.
Kalau orang sudah berjanji seperti itu, mau dibilang apa lagi?
Dan di antara kerumunan orang yang sedang jajan,
Di antara canda tawa yang tiada putus,
Dua makhluk ciptaan Allah dari cahaya itu tetap berzikir,
sembari berzikir mereka tetap melaksanakan tugas mereka.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang lupa akan janjinya sendiri dan menyusahkan orang lain padahal orang lain sangat membutuhkan janjinya tersebut? Inikah orang yang pantas menjadi khalifah padahal sedari pagi ia lupa menyapa Allah? Inikah makhluk itu, Atid? Inikah makhluk itu? Engkau harus jawab pertanyaanku, Atid!”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
(…to be continued)
(Ini adalah edisi terakhir Qawat di semester ganjil ini, so nantikan edisi selnjutnya dari Qawat di semester depan ya!)
Insan Cendekia Serpong, 2006
Tetap ke Masjid mesti harus merangkak….
Lagi-lagi diri ini disadarkan kembali olehNya..
Seorang lelaki paruh baya berjibaku dengan kursi rodanya, memutar dengan cepat di tengah terik matahari . Baru kali ini aku melihatnya. Dengan baju koko dan wajah yang bercucur keringat . lelaki itu menggiring kursi rodanya. Dengan mengendarai sepeda aku melewati lelaki itu. Aku tak tahu mau kemana ia dengan kursi rodanya. Saat adzan zuhur dikumandangkan, aku bersegera menuju Masjid Nurul Islam. Sebuah Masjid yang terletak di Jalan Kaliurang, tepatnya di dekat Pandega Duksina. Biasanya sebelum pulang ke asrama, aku mampir dulu ke Masjid ini untuk shalat zuhur. Meski di asrama sudah ada masjid, tapi tetap saja ada suasana yang berbeda bila berjamaah dengan warga.
Iqamah pun dikumandangkan,…
Dan.. Subhanallah…. saat aku beranjak menuju shaf terdepan, seorang laki-laki merangkak tertatih-tatih menuju shaf shalat. Rupanya ia lelaki yang kutemui tadi. Ia turun dan naik sendiri dari kursi rodanya dan berjalan merangkak dengan kedua tangannya untuk menghadap Mu….
Ya Allah…
Betapa diri ini tertegur dengan hambaMu itu,..
Hamba yang masih sehat dan mampu untuk berjalan normal masih sering lalai ketika engkau Memanggilku…..
Cinta Tanpa Definisi
Seperti angin membadai.
Kau tidak melihatnya.
Kau merasakannya.
Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.
Seperti banjir mendera.
Kau tak kuasa mencegahnya.
Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah semua permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya.
Dalam sekejah ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.
Seperti api menyala-nyala.
Kau tak kuat melawannya.
Kau bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun.
Atau bertedyh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua menjadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuataan angkara murka yang mengawal dan dan melindungi kebaikan.
Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara ribuan makna, wakil dari sebuah kekuatan yang tidak terkira. Ia jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm dalam The Art of Loving tidak tertarik, atau juga tidak sanggup mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri tidak perlu definisi bagi dirinya.
Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang masa. Inilah legenda yang tidak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laila Majnun, Siti Nurbaya atau Cinderella. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.
Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai situasi manusiawi, dengan detil-detil nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat. Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi sublime: begitu agung juga terlalu rumit. Perang berubah menjadi panorama kemanusiaan begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena cinta melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-Sayap Patah-nya.
Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi disitu pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detil-detil nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia.
Seperti kita meyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat. Dahsyat. Lembut. Tidak terlihat. Penuh haru biru. Padat makna. Sarat gairah. Dan, antagonis.
Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari, kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena kemudian semua keajaiban terjawab di sana.
(Serial Cinta Anis Matta 01- Cinta Tanpa Definisi)
Download Rekamannya di Cinta Tanpa Definisi
Unfinished Story…
Untuk kalian yang telah menginspirasi….
Untuk pejuang sejati tak kenal lelah, para guru peradaban…
Untuk segala kenang, canda, tawa dan segala laku dahulu kala…
Untuk kedisiplinan,…
Untuk sebuah nilai yang takkan pernah ditemui dimanapun juga…
Untuk keakraban, kebersamaan, kerja keras dan sebuah perjuangan…
Untuk masa yang pernah menjadi titik tolak perubahan…
SAKSIKANLAH,,,,, bahwa PERUBAHAN itu akan dimulai dari sini… SAAT INI juga…..
=================================================================================
mengingat kembali 2 tahun lalu saat 120 kafilah berjarit menghias podium penuh kenangan…..
tempat dimana, drama anak-anak muda dimulai.
tempat dimana aksi teatrikal dipertontonkan.
tempat dimana sujud syukur kami panjatkan saat LPJ dibacakan.
tempat dimana berbagai lomba dipertandingkan.
tempat dimana performance aneh, unik dan kreatif tercipta.
tempat dimana untuk pertama kalinya dua kafayeh disematkan.
tempat dimana menjadi saksi……
saksi bisu perjuangan anak-anak muda…..
Aku rindu kalian, rindu serindu-rindunya….
saat mengingat 21 Juni 2008……….
saat hari itu, hari terakhir kita ber ”nasaluka” bersama.
saat hari itu kita keluar gerbang tanpa harus melampirkan kartu kuning dan biru. (baca:izin)
saat hari itu kita tak merasakan lagi kehangatan gedung F lagi…
Selamat tinggal semuanya, mungkin aku tak bisa mengulangnya.
Tapi spirit Insan Cendekia akan kumulai lagi hari ini…….
Karena Cerita tentang Insan Cendekia takkan berakhir begitu saja…..
Ialah sang inspirasi. Unfinished Story…..
Sang Tua….
Aku tulis sajak ini untuk menghibur hati mu
Sementara kau kenangkan encok mu
Kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
Dan dengan lega akan kita lepaskan
Kita tidaklah sendiri dan terasing dengan nasib kita
Karna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan……
(Kutipan Puisi WS. Rendra: SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTRINYA)
masa tua….
suatu saat pasti akan datang menghampiri kita. Entah tua berbilang usia, ataupun tua karena renta tak berdaya menghadapi dunia.
kita akan merasakan suatu saat nanti,,, saat ego dan semangat membara masa muda tinggal sejarah.
kita akan merasakan pula,, hari-hari dimana, manusia akan dikembalikan seperti awalnya ia lahir ke dunia. Tak berdaya, Tak punya kuasa, harta ataupun tahta.
kita lagi-lagi akan menjadi balita berkulit kasar dan berwajah renta…
Hmm,,, hari tua yang akan menjadi akhir kehidupan di dunia.
Bilakah kita sampai pada masa tua????
Atau malaikat Malik menjemput kita lebih awal… sebelum putihnya rambut menegur kita. sebelum keriputnya wajah mengingatkan kita. sebelum ingatan brilian hanya tinggal kenangan belaka…??????
Persiapkanlah saudaraku…..
Mulai saat ini……
Karena Ia sebuah cinta…
Karena ia sebuah cinta…..
ia senantiasa bergetar…
meskipun tak selamanya terdengar….
Karena ia sebuah cinta…..
ia senantiasa melihat dan merasa
meskipun ia buta..
Karena ia sebuah cinta…..
ia datang untuk menguji..
bukan untuk menyiksa..
Karena ia sebuah cinta…..
ia senantiasa berusaha..
tak pernah ada kata memaksa ..
Karena ia sebuah cinta…..
ia senantiasa menarik..
meski tak ada yang melirik ..
Karena ia sebuah cinta…..
ia datang menghampiri dengan hati..
bukan dengan kata-kata..
Karena ia sebuah cinta…..
ia selalu hadir dalam pancar sinar mata..
meskipun tak sempat terucap dalam kata..
Karena ia sebuah cinta…..
ia mencoba untuk selalu memnangi..
bukan hanya berjanji..
Karena ia sebuah cinta…..
ia yang senantiasa tulus..
untuk memberikan cinta pada Yang Maha Suci..
Karena ia sebuah cinta…..
ia hadir karena ketentuan…
bukan karena permintaan..
Karena ia sebuah cinta…..
ia tidak hadir dengan pengorbanan dan kesetiaan…
bukan dengan kekayaan dan kebendaan…
KARENA IA SEBUAH CINTA… BUKAN SEKEDAR JIKA
Dan Atid pun Menangis
Inilah QAWAT terakhir yang diterbitkan oleh DIORAMA ANDALUSIA 17, Divisi IMTAQ OSIS MAN Insan Cendekia Serpong dan ditulis oleh Koordinator akhwatnya….Hamida Amalia (jangan ge-er mid)
*kenapa yang paling paling bagus munculnya di akhir-akhir ya????
Pukul 12.00
Bel panjang berbunyi disusul gema suara azan,
dan seluruh umat manusia terhenti dari pekerjaannya.
Tuk menghadap Tuhannya,
Tuhan yang Maha Mulia, Tuhan yang Serbabisa.
Derap langkah kaki bergema sepanjang koridor,
bergaung, berlomba menuju Masjid,
tanda keikhlasan yang abadi dari seorang hamba kepada Tuannya.
Fulanah tidaklah berbeda.
Dengan tawa berderai, berjalan bersama teman-temannya.
Entah apa yang diperbincangkannya, mungkin hanya basa-basi belaka.
Melepas sepatu, menuju tempat wudhu.
Saling menyapa, masih dengan deraian tawa.
Bertanya tentang TB, seberapa sulitnya TB itu.
Tentu saja, dengan deraian tawa.
Menaiki tangga, memakai mukena.
Shalat, entah khusyuk atau tidak.
Yang jelas, selepas shalat Fulanah langsung mengobrol kembali dengan temannya.
Merencanakan sesuatu, entah apalah itu.
Berdua mengangguk tanda sepakat,
melipat mukena cepat-cepat.
Menuruni tangga, padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar.
Gelak tawa dan keributan terjadi saat turun tangga dan memakai sepatu.
Padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar.
Berdiri, bersiap-siap menuju kantin seakan-akan akan mengejar angin.
Padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar!
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang bahkan menghargai kawannya sendiri ia tak sudi? Jikalau cara menghormati sesamanya ia tidak tahu, apalagi menghargai semesta alam? Padahal manusia adalah khalifah yang bertugas memimpin peradaban di bumi.”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 16.35
Murid mana yang tidak senang apabila tiba saatnya pulang?
Di kelasnya yang sedang berlangsung pelajaran terakhir,
Fulanah duduk dengan gelisah dan ketidaktenangan.
Melirik jam sesekali, mencolek temannya yang masih asyik menekuni buku Fisika.
Mengajak mengobrol, namun tak berhasil.
Membaca buku, tak konsentrasi.
Akhirnya, berdentanglah suara itu.
Wajah Fulanah mendadak ceria.
Memasukkan buku, membereskan alat tulis.
Bersenandung kecil, tanda keriangan hati.
Kembali menuju Masjid, tuk menunaikan ibadah Ashar.
Kali ini ia sempat berdoa, namun tidaklah lama.
Melipat mukena, merapikan jilbab sejenak di kaca.
Berlari-lari kecil menuruni tangga.
Menoleh ke kiri dan ke kanan, seakan-akan mencari sesuatu.
Memakai sepatu dengan cekatan, mengambil langkah seribu.
Terdengarlah panggilan untuk dirinya diumumkan dari Masjid.
Nyatanya, Fulanah tidak datang.
Ia malas, ingin segera balik ke asrama.
Tak tahulah Fulanah bahwa kedatangannya sangat dinantikan oleh teman-temannya.
Mereka sangat kecewa karena ketidakhadiran Fulanah.
Urusan mereka terhambat hanya karena Fulanah seorang.
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang memenuhi hak saudaranya ia tidak mampu? Bagaimana mungkin ia bisa memenuhi hak rakyat jika hal kecil seperti ini tak ia latih dengan baik?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 18.00
Maghrib datang menjelang.
Tampak baju shalat yang berwarna-warni.
Maha Suci Allah yang telah menciptakan begitu banyak warna, menyajikan keindahan yang tiada tara.
Fulanah tak kalah modis dengan bajunya.
Pas dan serasi benar dengan dirinya.
Namun ada yang janggal dari bajunya.
Ya, tetap menutup aurat.
Benar, masih dalam koridor kesopanan.
Tapi lihatlah, ketat benar bajunya.
Seakan-akan kekurangan bahan, seakan-akan ia ingin menunjukkan tubuhnya.
Lihatlah lagi, masih ada yang aneh dengan jilbabnya.
Memang menutup dada, namun gampang tersingkap. Menerawang pula.
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang untuk keamanannya sendiri ia malas memperhatikan?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Di Masjid, seperti biasa.
Shalat Maghrib berjamaah.
Bersama-sama merapatkan shaf,
tanda kesatuan umat dalam menghadapi tantangan hidup,
demi kejayaan Islam di waktu mendatang.
Bersama-sama mengikuti gerakan imam,
tanda ketundukan terhadap penguasa yang shaleh lagi bijaksana.
Bersama-sama sujud di hadapan Allah,
tanda penghambaan makhluk yang lemah lagi fana.
Bersama-sama mengucap salam ke kanan dan kiri,
tanda doa bagi sesama.
Bersama-sama melafalkan wirid,
tanda permohonan untuk kemudahan dunia-akhirat.
Tidak demikian adanya dengan Fulanah.
Setelah salam, ia ke shaf paling belakang.
Bukan demi kekhusyukan dalam berdoa.
Ternyata ia berkumpul dan mengobrol dengan teman-temannya yang lain.
Mengganggu kenikmatan berdoa orang lain. Mengganggu sekali.
Tapi mereka tidak sadar,
atau malah jangan-jangan memang sengaja tidak menyadarinya?
Bahwa berdoa butuh ketenangan susana.
Bahwa berdoa butuh konsentrasi dan kesungguhan hati.
Namun mereka tetap saja mengobrol!
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang dalam sehari telah menyepelekan Tuhannya berkali-kali?” gusar sekali kedengarannya.
Kemudian, Rakib melanjutkan, ”Bahwa ia tidak menyadari, ada yang lebih berkuasa di atas mereka.”
”Mereka manusia, Rakib, tidakkah dirimu ingat bahwa manusia punya sifat lupa dan salah?” Atid berbicara setelah sekian lama.
”Lupa? Lupa? Seberapa lupakah mereka kepada Tuhannya yang begitu mengasihinya sampai-sampai untuk berterima kasih saja mereka lupa?Bersyukur saja mereka lupa! Tidakkah kau bayangkan, betapa tidak berterimakasihnya makhluk yang bernama manusia itu? Pantaskah mereka menjadi khalifah, kutanya? Pantas tidak?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 00.00
Kabut mulai turun di Insan Cendekia.
Wajah malam menampakkan dirinya yang gelap dan dingin.
Angin berhembus, menghajar pepohonan yang tegak berdiri.
Hiruk pikuk suasana siang hari,
telah terganti oleh redup dunia yang menenangkan jiwa.
Sayup terdengar helaan nafas dari segenap penjuru.
Hampa terasa, sunyi suasana.
”Atid temanku, marilah kita ambil hikmah dari perjalanan kita kali ini. Jawablah pertanyaanku, janganlah engkau diam saja seperti itu. Ingatkah kau, mengapa dulu kita beramai-ramai menyembah Adam, sang manusia pertama?” tanya Rakib.
”Ah Rakib, tentu saja kutahu. karena mereka bisa menyebutkan segala sesuatu yang kita tidak mengerti. Mereka diberi kepandaian oleh Allah untuk mengetahui segala sesuatu, sedangkan kita tidak. Kepandaian itu diperlukan untuk menangkap ilmu, sedangkan ilmu itu diperlukan untuk menjadi seorang khalifah.”
”Benarkah perkiraanku, bahwa sekiranya khalifah itu harus pintar?”
”Ya, harus. Bagaimana ia mau memimpin jika ia tidak pintar?”
”Benarkah perkiraanku, bahwa sekiranya khalifah itu adalah orang yang menaati perintah Allah dan mengingat-Nya setiap saat?”
”Benar, tidak ada keraguan tentang perkara itu.”
”Mengapa Allah memilih makhluk yang pandai tapi tidak tunduk sepenuhnya kepada-Nya?”
”Maksudmu?”
”Ya. Tidakkah kau melihat, Atid. Di sekolah yang penuh dengan orang-orang yang pintar ini, mereka belajar agama, tapi tidak mengamalkannya. Mereka mengetahui perintah yang termaktub dalam Al-Qur’an tapi tidak mengindahkannya. Mereka berkata bahwa mereka tidak bisa menyebut satu per satu pemberian Sang Khaliq tapi jarang mengingat-Nya dalam sanubari mereka. Mereka tahu kalau perbuatan mereka salah tapi mereka tetap melakukan, seakan-akan Tuhan mereka buta-tuli. Mereka berkata ingin memajukan agama mereka tapi mereka tidak khusyuk dalam shalat dan doanya serta gampang menyepelekan sesuatu.”
Atid terdiam.
”Bagaimana Atid temanku? Apa yang terjadi pada mereka sehingga mereka bisa seperti ini?”
”Mereka seharusnya dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Semakin banyak ilmu yang mereka raih, semakin pula seharusnya mereka menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah yang tiada terbilang. Semakin pula mereka menyadari bahwa diri mereka adalah fana, suatu ketidakabadian yang nyata. Semakin pula mereka bertambah tunduk kepada-Nya.”
Atid tergugu sejenak.
Angin berhembus kencang.
”Sayangnya mereka tidak menyadari hal itu,” Atid melanjutkan.
Kabut semakin menebal.
”Mereka tidak menyadarinya.”
Dan gerimis pun menghujam.
”Sungguh mereka tidak menyadarinya.”
Hela napas Fulanah terdengar.
”Mereka hanyalah makhluk yang tidak sadar akan dirinya sendiri.”
Dan Atid pun menangis.
Insan Cendekia, 17 Agustus 2006 – 17 Agustus 2007
.: Diorama Andalusia 17 :.
Ketika Penghambaan Itu Hanya Sebuah Skenario (Bagian 2-habis)
Lalu…
Apakah IC memberi pendidikan “kesadaran” mengenai hal ini? Aku akan menjawab: Ya, namun agak kurang maksimal. Kebanyakan siswa/I IC masih menganggap “hal-hal Islami” disini hanya sebagai budaya IC dan bukan budaya Islam. Ibadah-ibadah itu hanya dirasakan sebagai ritual tanpa memaknai spiritualnya. Namun aku yakin IC telah menggenapkan segala usaha agar sisi spiritual siswa/I terpenuhi. Terus terang aku sangat bahagia dan bersyukur atas diadakannya training ESQ in house angkatan pertama di IC. Aku berharap langkah IC ini merupakan salah satu usaha dalam pendidikan kesadaran bagi anak didiknya.
Tentang sistem pendidikan IC, memang ada sedikit gundah yang kurasakan saat aku masih duduk di kelas 2. Ada hal yang berbeda antara dunia sekolah dan dunia asrama. Dunia asrama diibaratkan sebagai rumah kita, kita punya orang tua (baca: pembina asrama) disini. Orang tua mendidik kita agar disiplin, taat beribadah, dan lain sebagainya. Jika kita tidak menurut, kita akan diberi sanksi oleh pembina atau seksi kesiplinan. Namun aku bisa memahami, pembina asrama memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar tak hanya kepada orang tua kami tetapi juga kepada Allah swt. Aku sangat sedih ketika melihat bahwa banyak siswa/i tidak menganggap para pembina asrama adalah orang tua mereka melainkan hanya sebagai para pengawas. Oya kau menganggap dunia asrama ini sebagai dunia religius (SQ). Yang kedua adalah dunia sekolah. Dunia yang menuntut kita dari segi intelektualitas. Dunia logika (IQ). Dunia ”nilai”. Kita digembleng habis-habisan terutama di bidang MaFiKiBI. Apa yang terjadi disini? Bagi yang tidak memiliki prinsip tentu saja harus hati-hati, jangan sampai menuhankan ”nilai di papan hijau”. Memang ada yang disayangkan dari sistem pengajaran di ic, tapi saya berusaha berpikir positif. Menurut saya pelajaran matematika, fisika, kimia, dan biologi adalah mata pelajaran yang luar biasa. (Sejujurnya aku sendiri baru menyadari hal ini). Mengapa luar biasa? Karena pelajaran2 ini adalah salah satu gerbang bagi pelajar untuk memahami siapa Pencipta kita. Keajaiban penciptaan dan bagaimana Ketelitian Sang Penggenggam Jagat Raya terjabarkan didalamnya, tidak ada di buku-buku sosial atau buku Fiqih. DNA, sel-sel, gravitasi, atom-atom, teori Big Bang, sistem saraf tubuh, dan masih banyak lagi ayat-ayat-Nya yang tertulis dalam jagat raya dan di dalam tubuh kita. Apalagi sudah banyak ayat Al-Quran yang terbukti kebenarannya secara ilmiah di era modern ini. Setiap hari kita tahu akan kebesaran-Nya tapi seringkali hati kita tak bergetar, padahal Rasulullah saw dan para sahabat yang tidak pernah tahu dan melihat hal yang kita lihat hari ini, begitu cinta dan taat pada Sang Khaliq. Lalu bagaimanakah jika Rasulullah dan sahabat dapat melihat apa yang kita lihat? Sungguh aku sangat malu pada beliau-beliau. Tidakkah kau perhatikan apa yang ada di bumi dan di dalam dirimu sendiri sehingga teranglah bagimu bahwasannya Al-Quran itu benar? Seharusnya penggalan surat Fushilats ini bisa menjadi reminder kita ketika belajar mafikibi. Di dunia sekolah yang penuh tuntutan dan kurangnya pendidikan kesadaran membuat kita seringkali lupa apa tujan hakiki kita belajar. Untuk apa? Buat siapa? Mengapa? Salah-salah bisa jadi kita salah kiblat. Kita menghapal beragam teori, siapa pencetusnya, bagaimana prosesnya, tetapi KITA TIDAK SADAR SIAPA YANG MENCIPTAKAN..!
Nah, sayangnya guru-guru ic kurang maksimal dalam hal ini. Guru-guru belum memberikan atmosfir yang cukup untuk membuat kita yakin akan keberadaan-Nya saat pelajaran mafikibi. Pendidikan Kesadaran Sebagai Makhluknya Sang Kholiq sangat minim.. Hanya ada satu-dua guru yang sering melakukan demikian. Pendidikan Kesadaran Sebagai Makhluknya Sang Kholiq bukan hanya tugas ustadz, guru aqidah akhlaq, guru Qurdits, atau guru Bahasa Arab, tetapi tugas seorang khalifah Allah dan tugas penerus Rasulullah saw. Aku yakin sebenarnya guru-guru ic ingin melakukan hal demikian, tetapi mungkin masih ada belenggu yang menyebabkan mereka segan melakukan hal tersebut. Mungkin malu karena tidak biasa atau merasa belum pantas melakukan hal tsb. Wallahu alam bisshawab…
Ada kalimat yang sering tersebut jika aku bersama teman atau alumni sedang ngomongin ic adalah ”IC itu steril namun tanpa imun..”. Kami setuju akan kalimat itu, tapi kemarin pandanganku sedikit berubah. Ada seorang alumni yang mengatakan bahwa ”Silakan direnungkan baik2. Sebenernya kalo ada alumni yg melenceng, aku jg ga tau ini sepenuhnya alumninya yg salah, atau emang ada yg kurang dalam sistem pendidikan di IC. Tapi gimanapun juga, introspeksi diri sndiri lebih baik drpada nyalahin pihak lain”. Aku mengangguk atas pendapat kakak yang satu ini. Aku mulai berpikir lagi, ini setelah berbicara dengan alumni yang lain, bahwa kesadaran itu pun butuh proses. Ada yang sewaktu di ic ia rebel dan tidak mau ambil pusing dengan tata tertib namun setelah lulus ia malah menyadari hikmah di balik semua itu. Namun alangkah baiknya jika sistem pendidikan ic memenuhi janji visi-misinya: memadukan imtaq dan iptek. Alangkah baiknya jika guru-guru ic memfasilitasi kita dalam mengenal-Nya.
Lalu apakah solusi bagiku yang tadinya berada dalam gundah? Kini aku sadar bahwa aku termakan pula ke dalam skenario IC. Aku kebagian peran sebagai tim Tata Tertib sewaktu MOS dan anggota Kedisiplinan OSIS 05/06. Aku menuntut diri untuk tidak telat atau absent shalat ke masjid padahal di rumah terkadang aku tidak terbangun saat adzan Shubuh. Di IC aku merasa nikmat beribadah namun di rumah, shalat kering kerontang. Di IC aku sangat bersemangat tadarus –kadang termotivasi ketika melihat teman-teman yang sedang tadarus- namun di rumah aku tetap mengaji tanpa ghirah. Aku pun bertanya, adakah hal ini terjadi karena ada motivasi lain selain karena-Nya atau hanya karena lingkungan IC yang mendukung? Aku pun mau tak mau harus jujur pada diri sendiri.
Kini, aku mempunyai suatu tekad yang akan ku-share pada teman-teman semuanya bahwa dimanapun kita berada disitulah sajadah terbentang. Tak berbeda antara di rumah maupun di IC. Keduanya adalah buminya Allah, maka tidak ada alasan untuk bermalas-malasan ketika kita (siswa/I IC) berada di luar lingkungan kampus IC. Aku tak mau lagi termakan skenario, aku ingin tulus karena-Nya tak peduli dimanapun. Dan tugas kita selanjutnya adalah mempertahankan kesadaran, yang jika kita telah bisa melakukannya maka tidak ada lagi ucapan “Ini kan bukan di IC! Nyantai aja kali..”.
oleh: Yurisa Nurhidayati
*sedang mengumpulkan tulisan kakak angkatan di IC
Ketika Penghambaan Itu Hanya Sebuah Skenario (Bagian 1)
*sedang mencoba mengumpulkan tulisan-tulisan dari alumni MANICS untuk dijadikan satu buku….Tulisan kali ini dibuat oleh alumni IC angkatan 10 (Morganaxis).
oleh: Yurisa Nurhidayati (Psikologi UGM 07)
Insan Cendekia? Madrasah Aliyah Negeri berasrama ini kini telah berumur 12 tahun. Umur yang masih sangat muda, namun kualitas dan prestasinya tidak kalah dari sekolah-sekolah unggulan lain, SMAN 8 Jakarta misalnya. Nama Insan Cendekia pun tak asing lagi dikalangan pendidik dan telah terdengar gaungnya hingga ke seberang pulau di Nusantara. Hampir tiap bulan ada saja yang study banding ke madrasah yang didirikan oleh Pak Habibie ini, dari Sumatra, Kalimantan, Cirebon, Bandung, dan masih banyak lagi.
Tak hanya segudang prestasi yang dimiliki, namun Insan Cendekia (IC) juga terkenal dengan kemuliaan akhlak siswa/i-nya. Benarkah? Tidak heran kok, bibit awal IC adalah kalangan pesantren dan budaya-budayanya terus dijaga sampai saat ini. Lihat saja visi dan misi IC, yaitu untuk membentuk siswanya tak hanya cerdas dari segi IPTEK namun juga Imtaq-nya. Keren ya?
Indahnya…
IC, menurutku, bagaikan oase di tengah-tengah hingar-bingar kehidupan remaja saat ini. Bayangkan saja, jika Anda ke IC Anda akan disapa dengan salam. Tidak ada siswi yang berpakaian minim alias miskin bahan, longgar, dan jilbab menutup dada. Setiap hari kami melangkahkan kaki menuju masjid. Shalat berjamaah lima kali sehari dilanjutkan dengan wirid dan tadarus. Tidak ada siswa/i yang menyontek! Untuk ini aku sangat bersyukur, karena dari SD pun aku sudah berprinsip No Nyontek! Sebuah kebiasaan yang sangat langka dimana hampir semua SMA di Indonesia menganggap lumrah hal contek-menyontek ini, bahkan dilegalkan dengan adanya “tim sukses” saat UAN. Tidak ada narkoba, merokok, tawuran, kasus pornografi/aksi, dan lainnya di wilayah kampus IC! Ya iyalah, wong bersentuhan lawan jenis aja tidak ada. Bahkan ada yang dikeluarkan akibat pacaran.
IC seperti pesantren ya? Hmmm…
Analogi Kuda Liar?
Karena gaungan keindahan IC sudah merebak kemana-mana, maka tak heran jika siswa/i nya berasal dari berbagai wilayah nusantara. Ada yang dari Riau, Aceh, Lampung, Pontianak, Bontang, Papua, Jabotabek, Purwokerto, Solo, Banten dan masih banyak lagi. Yang mengikuti test menjadi siswa baru bisa mencapai 700 calon siswa untuk 120 kursi. Test yang diberikan pun sangat sulit, terdiri dari Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Agama Islam. Psikotest juga diberikan demi mendapatkan siswa/I yang tidak hanya “pandai” tetapi juga cerdas/smart dan berbakat. Bahkan sekarang IC sudah dicanangkan sebagai Madrasah Aliyah Khusus Berstandar Internasional (SK Dirjen Pendidikan Islam nomor DJ.II/438A/2006)!
Bagaimanakah kabar IC sekarang? Yaa begitulah, yang jelas keharuman akhlaknya mungkin tak semerbak dahulu pada saat pertama didirikan. Aku merasakannya.. Hehe..sok tau nih, kayak udah bertahun-tahun tinggal di ic aja.. Semula IC memang diperuntukkan bagi kalangan pesantren yang memiliki kemampuan intelektual yang sangat baik, namun semakin lama kadar kalangan pesantren semakin berkurang dan didominasi oleh kalangan umum. Otomatis keindahan akhlak islami IC yang berbasis kesadaran semakin berkurang. Siswa/i nya kini banyak yang berasal dari kalangan berduit yang lingkungannya seperti remaja Indonesia secara umum -tidak begitu islami dan cenderung hedonis. Budaya IC semakin lama semakin terkikis dan hal ini tidak terlihat secara kasar dan mencolok. Pelan tapi pasti.
Tentang kesadaran. Masih ingat dalam benakku, setahun yang lalu, waktu itu sedang ada penerimaan siswa baru. Aku dan seorang teman sedang duduk-duduk di warung Bu Ali. Tiba-tiba seorang bapak dari calon siswa baru mengajak kami berdialog. Awalnya mungkin pertanyaaan standar, kelas berapa, enak-tidak sekolah disini, bagaimana cara belajar disini, bagaimana kehidupannya sehari-hari, dsb. Namun, aku mulai tersadar mengenai sisi abu-abu IC ketika beliau berbicara tentang “kuda liar”, kata beliau “Siswa/i yang masuk kesini itu bagaikan kuda liar yang dikurung di sebuah kandang. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, kuda liar tersebut menjadi jinak dan ketika dikeluarkan bisa bermanfaat bagi manusia. Atau yang kedua, kuda liar itu justru semakin liar ketika dikeluarkan karena merasa terkekang”. Cukuplah hal tersebut menjadi sebuah perenungan bagi kami.
Pada waktu yang lain, aku berdialog dengan kakekku. Walau beliau sudah tua namun perhatiannya pada umat tidak serta-merta menjadi luntur. Beliau bertanya mengenai keadaan sekolahku. Dan beliau menanggapi bahwa mungkin akar menurunnya budaya islami IC adalah input.
Sebuah Keganjalan…
IC itu indah. Indaaaaaaaah sekali. Banyak yang kudapatkan dari bersekolah disini. Kegiatan yang sangat padat melatihku untuk disiplin. Nilai-nilai yang sering tidak memuaskan melatihku untuk bersyukur atas perjuangan yang telah kulakukan. Pergaulan dengan teman-teman yang sepaham maupun tidak, mengajarkanku arti kebersamaan dan toleransi. Kejenuhan dan banyaknya tuntutan melatihku untuk sabar dan ikhlas. Mengenal guru-guru, pegawai kantin, cleaning service, security, anak-anak ahad, dan lainnya melatihku untuk menghargai dan berempati. Fasilitas yang sangat teramat mencukupi, mulai dari kelas ber-AC, kantin, poliklinik, perpustakaan yang lengkap, lab komputer -walaupun internetnya ngadat-, dan guru-guru yang luar biasa, membuat aku yakin bahwa tidak ada alasan untuk mengeluh sebelum aku bisa mensyukuri seluruh nikmat-Nya.
Namun ada satu hal yang mengganjal pada benakku -yang kusadari ternyata bukan aku saja yang mengalami-. Yakni sebuah kesadaran yang terlupa. Apa maksudnya?
Dahulu aku memincingkan mata melihat para alumni yang tidak konsisten terhadap apa yang mereka sudah dapatkan di IC. Aku menjawab fenomena ini dengan analogi kuda liar yang kusebutkan di atas. Mereka yang tidak konsisten bagaikan kuda liar yang semakin liar. Tapi, teori ini tidak bisa menjawab ketika seorang alumni yang dahulunya adalah seorang teladan dan sangat alim justru berubah ke arah sebaliknya (termasuk kuda liar yang mana, ya? Hehe..). Tidak sedikit pula alumni yang dahulunya baik di IC begitu mudah berubah. Saat itu aku hanya bisa menjawab: itu karena lingkungannya tidak sekondusif di IC.
Tidak perlu jauh-jauh! Aku mengalihkan pikiranku pada teman-teman dan adik-adik kelas. Di luar kampus: tidak sedikit yang pakaiannya tidak seperti yang ia pakai di IC. Jilbabnya tak menutup dada atau pakaiannya sudah nge-press di badan. Shalatnya tidak serajin di IC. Pergaulannya tidak seaman di IC. What’s goin’ on? Alumni atau sebagian teman akan menjawab “Ini kan bukan di IC! Nyantai aja kali..” Ya, di luar IC tidak ada lagi pembina asrama, tidak ada lagi seksi kedisiplinan, hanya nurani yang bisa mengontrol akhlak kita. Aku pikir aku tidak seperti itu, aku bertekad akan istiqomah di jalan-Nya seperti apa yang kupelajari di IC.
Namun…
Aku sadar, ternyata aku terlalu sombong pernah merasa bahwa aku bisa terus istiqomah. Aku melupakan satu hal.
Waktu itu 10 hari terakhir Ramadhan. Hari-hari dimana Allah begitu mengobral ampunan dan rahmat-Nya. Beberapa hari sebelum pulang aku sudah berdoa pada-Nya supaya diberi kemudahan dalam beribadah di rumah. Beberapa planning sudah ku siapkan untuk menjaga ghirah Ramadhan di rumah besok. Tapi apa yang terjadi? Sepuluh hari terakhir tersebut kuisi dengan ibadah tapi tanpa GHIRAH/semangat! Aku benar-benar pusing. Gundah. Ya Robb ada apa dengan hati ini? Tadarus, sholat, I’tikaf terasa kering kerontang. Seolah-olah Allah memberikan sebuah clue pada aku, tiba-tiba sebuah SMS masuk dari seorang sahabat. Sahabat yang selama ini kupandang amat sholeh.
“Bagaimana sih caranya biar ikhlas dalam beribadah? Tolong dijawab.ya”
Aku terdiam membacanya dan stuck tidak tahu harus jawab apa. Aku tertohok, apa mungkin aku belum memurnikan ketaatan pada-Nya? Pertanyaan ini justru seperti sedang menyindirku.
Esoknya adalah puncak kefuturanku. Aku hanya bisa menangis. Aku ceritakan pada seorang sahabat. Aku katakan bahwa aku seperti orang yang munafik, keadaan hatiku jauh lebih buruk daripada ketika di IC. Kebaikan-kebaikan aku di IC hanyalah topeng belaka dan kini topeng itu hilang entah kemana. Ia pun menjawab,
“Ini mungkin adalah PR besar buat kita, Yur. Di IC kita terkondisikan untuk semangat ke masjid, shalat, dan lainnya. Sedangkan disini cuma ada kita dan Allah… Seharusnya hanya Allah sumber motivasi kita..”
Mata pun semakin menderas. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi setiap liburan di rumah dan memang aku baru menyadari bahwa aku yang di IC berbeda dengan aku yang di rumah.
Usai Idul Fitri pun tiba dan aku tidak merasakan suatu kemenangan, alih-alih sebuah kesedihan. Sangat.
Kesadaran Itu…
Sesampai kembali di sekolah, kutumpahkan semua gundah kepada sahabat dekat. Kami berbicara terus mengenai kehidupan IC. Akhirnya aku menemukan suatu titik temu: kehidupan IC hanyalah sebuah skenario! Tunggu dulu, aku tidak bermaksud menyalahkan IC atau semacamnya, aku hanya menggambarkan “kehidupan IC” ini adalah seperti panggung sandiwara.
Skenario. Sebenarnya kata ini merupakan saduran dari seorang teman (thx to him). Mengapa aku menyebutkan kehidupan IC seperti skenario –khususnya bagi siswa/I nya? Ya, setiap siswa/I baru yang masuk ke dalam lingkungan IC harus mengikuti skenario yang ada. Berpakaian rapi islami, shalat berjamaah setiap waktu di masjid, memberi salam kepada sesama, dan lainnya. Sekali lagi tanpa kesadaran –pada umumnya. Tanpa kesadaran bahwa budaya IC adalah aturan Islam dalam rangka menghamba pada-Nya. Semua berlangsung karena dilihat oleh pembina asrama atau tim tata tertib. Semua berlangsung karena lingkungan. Semua berlangsung karena takut dicatat sebagai pelanggaran. Karena ingin terlihat alim. Karena ingin terlihat sempurna. Berlomba, tapi adakah kita lakukan semata-mata karena-Nya? Dan yang perlu dicatat adalah hal ini terjadi begitu saja dan dapat terjadi pada siapa saja. Termakan skenario. Ketika di luar panggung IC maka ia tidak lagi memainkan skenario itu lagi. (bersambung)
Komentar Terbaru