Sang Pencerah di Tangan Sineas Liberal
Film bertema sosial-liberal dan kekiri-kirian sepertinya tidak dapat di lepas dari kehidupan seorang Setiawan Hanung Bramantyo. Setelah sukses dengan Lentera Merah (film yang berbau komunis), Doa yang Mengancam, Perempuan Berkalung Sorban (PBS), pria kelahiran Yogyakarta 1 Oktober 1975 ini juga baru saja mempersiapkan film yang berkisah tentang perjuangan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammaddiyah.
Menurut Hanung film tersebut lebih menitikberatkan pada upaya KH. Ahmad Dahlan meyakinkan umat Islam tentang pentingnya mendirikan sebuah organisasi Islam modern.
Menjadi pertanyaan besar buat kita para pembaca bagaimana seorang Hanung yang sudah terlanjur melekat sebagai sutradara sosial-liberal dan kekiri-kirian ini men-direct sosok KH. Ahmad Dahlan dalam Film “Sang Pencerah”.
Sosok KH. Ahmad Dahlan menurut salah satu murid beliau, HR Hadjid, dalam menggerakkan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan berpegang pada prinsip: senantiasa mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah.
Seruan agar terikat pada syariah Allah ini bukan hanya ditujukan kepada masyarakat awam, namun juga kepada para pengambil keputusan (penguasa). KH Ahmad Dahlan menyerukan perlunya setiap pemimpin terus belajar sehingga lebih bijaksana dalam mengambil keputusan agar kehidupan pun lebih baik.
Selain itu, cita-cita KH Ahmad Dahlan sebenarnya adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini adalah masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunnah Muhammad saw. Untuk itulah KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Hanung Sang Sineas Liberal
Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) yang digarap langsung oleh Hanung sang sineas liberal mendapat kecaman keras baik oleh sutradara senior, ulama, maupun umat Islam. Film yang dirilis pada 15 Januari 2009 lalu tersebut dinilai sangat melecehkan Islam. Simbol pesantren, kiyai, santri serta ajaran-ajaran Islam digambarkan secara jelek, kaku, biadab, dan mengekang hak seorang perempuan.
Misbach Yusa Biran penulis skenario sekaligus sutradara senior geram dibuatnya. “Ini film penjahat, seluruh filmnya menghina Islam, seluruhnya propaganda anti Islam” ujarnya geram.
Perempuan Berkalung Sorban adalah film yang diangkat dari novel yang mendapat penghargaan dari Ford Foundation sebuah lembaga yang memberikan dana kepada kelompok Liberal, terutama pada kelompok yang mengusung isu gender, liberalisasi, dan sepilis (sekulerisme, pluralisme, liberalisme).
Hal senada juga diamini oleh Chaerul Umam Sutradara senior. “Film ini sangat merusak kan ditulis oleh seoarang feminis” tandasnya.
Film PBS juga syarat muatan pesan dari kelompok kiri. Lihat saja dalam sebuah adegan Annisa yang diperankan oleh Revalina S. Temat menyukai buku-buku kiri karya Pramoedya Ananta Toer.
“Tokoh idolanya Pramoedya. Dia ini komunis, kenapa tidak yang lain HAMKA misalnya atau Imam Syafi’i. Hanung tidak tahu bagaimana Pramoedya pernah menghina orang sholat, Hanung tidak hidup di tahun 65-an” Ujar Misbach kesal.
Kekesalan sutradara senior Indonesia ini rasanya sangat beralasan karena selain Pramoedya yang pernah menghina sholat, hanung juga menampilkan buku Karl Marx seorang tokoh komunis dalam filmnya tersebut.
Jadi kekhawatiran menjadi sangat wajar atau bahkan menjadi sebuah keharusan jika kita waspada dengan tangan dingin sang sineas liberal yang kekiri-kirian.
Sang Pencerah di Tangan Sineas Liberal
Gagasan memfilmkan tokoh berkaliber Nasional semacam KH. Ahmad Dahlan, patut didukung, bahkan menjadi sebuah kewajiban sejarah bagi generasi kiwari. Film semacam ini tidak saja melestarikan nilai-nilai luhur yang diajarkan sang tokoh, tapi juga sebagai counter terhadap film dan sinetron genre popular yang ecek-ecek dan menyesatkan. Maka, harus pula nantinya difilmkan sosok M Natsir, Sfaruddin Prawiranegara (‘’presiden RI kedua’’), KH Ahmad Surkati, dan lain-lain.
Sayangnya, sosok Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah, dilahirkan oleh tangan-tangan yang tidak pas, Hanung misalnya.
Sang Pencerah dibiayai ‘’Raja Sinetron’’ Raam Punjabi dengan bendera MVP Pictures. Selama ini bos Multivision Plus ini secara massif telah menjejalkan budaya popular lewat sinetron ecek-ecek yang mengajarkan kekerasan verbal, gossip, hedonisme, permissivisme. Ditambah lagi tayangan yang menyebut dirinya infotainment, yang isinya sampah gossip selebritas.
Meski pegang duit, Raam Punjabi tidak mudah untuk mempengaruhi sutradara Sang Pencerah, Hanung Bramantyo. Sineas muda ini dikenal sangat percaya diri dan independen. Masalahnya, kepercayaan diri dan independensi itu membungkus sosok Hanung Bramantyo yang liberal.
“Semua film saya, kecuali Brownies, punya khas liberal. Dalam hal ini, saya diizinkan dalam berkreasi, bebas berkreasi dalam hal ini adalah bebas menentukan pilihan. Bahwa kebebasan dalam pemikiran gue bukan semau gue, tetapi harus bisa berkarya dan dalam membuat genre film apapun harus ada sisi agamanya,” tutur Hanung (kapanlagi.com/26 Juni 2009).
Tidak aneh bila Hanung dalam film-filmnya yang berbau agama (Islam), mengkritik pemimpin agama (ulama) secara berlebihan sehingga menjungkirbalikkan ajaran Islam. Misalnya dalam film “Ayat-Ayat Cinta” (2008) ada adegan perdebatan antara pemain utama dengan seorang ustadz di dalam bis kota mengenai definisi seorang kafir dzimi yang harus dilindungi orang Islam. Perdebatan ini berkaitan dengan keberadaan para turis Amerika di Mesir.
Dalam setting adegan itu sang ustadz diposisikan sebagai sosok yang kolot, puritan, tidak terbuka, tidak toleran, hanya karena tidak setuju dengan keberadaan turis asing dengan penampilan budaya Barat.
Dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” (2009), lagi-lagi tokoh ustadz dilukiskan sebagai sosok negatif, seperti membakar buku dan melarang wanita berkuda. Hal ini menyebabkan santri pemain utama film, melakukan pembrontakan yang ekstrim sampai keluar dari pesantren dan membuka kerudung.
Tentu saja buku karya tokoh sastrawan komunis Pramoedya Ananta Toer tidak layak dibaca santri, sebelum si santri matang pemahaman Islamnya. Tokoh Pendidikan Islam seperti Abdullah Nashih Ulwan, wanti-wanti betul agar generasi Islam dijauhkan dari guru yang mulhid dan bacaan/ajaran yang sesat, sebelum anak-anak Islam kuat aqidah dan pemikirannya.
*dikutip dari beberapa sumber
ehm, baru tahu kalo pramoedya pernah menghina orang sholat *padahal sudah menonton PBS*
terus, apa efeknya pengarahan hanung di film sang pencerah ini?