Getaran Kerinduan


“Aku bermimpi melihat saudaraku, Ahmad Hathibah sedang bermain bola. Lalu aku melihat kakinya terluka. Aku segera terbangun dan merasa cemas mengingat meimpi yang baru saja kualami. Istriku yang pada saat itu juga terbangun menyarankan agar aku menulis surat kepadanya, menanyakan tentang kesehatannya dan mendoakan agar dia dalam keadaan sehat wal afiat.” Ungkap Abbas As sisi dalam Fii Qafilah Ikhwan.

Mendengar saran dari istrinya tersebut, Abbas As Sisi segera menulis surat kepada Ahmad Hathibah. Ia telah mengenal Ahmad hathibah sejak mereka berdua berada dlam penjara rezim pemerintah Mesir pada tahun 1949. Pertama kali, ia melihatnya di pintu penjara Armeidan Mesir. Setelah beberapa kali bertemu dan berinteraksi, ikatan ukhuwah diantara mereka mulai terjalin. Saat itu penjara-penjara Mesir memang menjadi ruang tamasya jiwa bagi para anggota Ikhwanul Muslimin. Di sanalah jiwa mereka diuji dan diistirahatkan sejenak untuk mendaki lagi keterjalan dan liku jalan dakwah.

 

Setelah Abbas As Sisi keluar dari penjara, demikian pula Ahmad Hathibah, mereka tetap berinteraksi melalui surat. Ahmad Hathibah juga mengirimi Abbas As Sisi foto-foto Ikhwan yang dipenjara pada kasus yang sama dengannya. Saat itu Abbas As Sisi tinggal di Asiyuth. Sementara Ahmad Hathibah tinggal di Kairo. Jarak yang cukup jauh dari keduanya. Namun, jarak yang memisahkan itu tak menyurutkan Abbas As Sisi untuk sesekali datang berkunjung ke kediaman Ahmad Hathibah. Ini berlangsung hingga Ahmad Hathibah melanjutkan studinya di fakultas kelautan.

 

Mendapat surat dari Abbas As Sisi, Air mata Ahmad Hathibah tak dapat tertahankan. Derai airmata mengalir membasahi wajahnya saat ia membaca keseluruhan isi surat itu. Pasalnya Ahmad Hathibah menerima surat itu saat berada di rumah sakit Angkatan Laut di Iskandariyah. Ia pun memperlihatkan surat yang diterimanya itu kepada kepada kawan-kawan yang menjenguknya. Mereka pun sangat terkejut serta kagum akan ukhuwah yang terjalin di antara dua ikhwan ini. Dua hati saling menyatu karena cinta kepada Allah.

 

Jiwa atau ruh itu, yang kata Rasulullah, adalah sebagian dari tentara-tentara Allah akan menyatu dan menguatkan barisan dalam medan perjuangan. Namun bila diantara kedua jiwa itu tidak saling mengenal dan memahami, maka yang terjadi adalah perpecahan dan saling ketersinggungan. Adalah sebuah kisah yang sangat menyentuh dari Abbas As Sisi tatkala mampu merasakan kondisi yang diaami oleh saudaranya di belahan bumi lain.

 

Terpisah jarak bukan berarti getaran jiwa tak mampu menembus keterbatasan itu. Ia sudah membuktikan, bahwa jiwa yang terikat oleh ikatan ukhuwah tak akan terpisah oleh jarak. Bahwa hati-hati yang telah menyatu karena Allah akan merasakan manisnya sebuah persaudaraan.

 

Bahkan, seringkali segumpal kerinduan itu meradang sangat kuat ketika dua orang sahabat yang terpisah jarak dan bertahun-tahun tak pernah bertemu. Bukan karena tak ada getar jiwa di dalam hatinya, akan tetapi ada sinyal yang selalu terkirimkan kepada sahabatnya itu. Sinyal itu bernama kerinduan. Rindu yang teramat sangat, akan membangkitkan kembali getaran jiwa seseorang, sehingga bila dua orang sahabat mampu merasakan getaran kerinduan dalam jarak yang cukup jauh, mereka memiliki tangkapan frekuensi yang sama. Dua hatinya memancarkan getaran dan menerimanya dengan fase gelombang yang sama. Seorang dosen saya pernah mengatakan bahwa gelombang itu akan mengalami interferensi atau penguatan bila ia bertemu dalam fase yang sama.

 

Seseorang bisa memancarkan getar kerinduan bila ada sesuatu yang mengalami perubahan kondisi dibandingkan kondisi biasanya. Kondisi itu bisa berupa sakit,sedih, suka,duka, harap dan cinta. Dan yang bisa merasakan getaran kerinduan itu adalah mereka-mereka yang memiliki sinyal frekuensi kerinduan yang sama.

 

 

Getar kerinduan, sebuah rasa yang merupakan anugerah dariNya. Mampu merasakan, menginterpretasi dan menyikapi sebuah kondisi dalam sebuah perasaan yang hanya bisa dirasakan dan diketahui antara dua insan dan RabbNya. Jiwa-jiwa yang saling mencinta dan merindu karena Allah akan tetap merasakan bahwa ternyata jarak takkan mampu menjadi penghalang untuk tersampaikannya sinyal dan getar kerinduan itu. Ia meyakini bahwa biarpun tanpa ada kata yang terucap mengalir dari bibirnya, getar kerinduan itu akan tetap tersampaikan kepada hati yang lain nun jauh disana. Dan yakinlah, bahwa Allah telah menjadikan getar kerinduan itu sebagai anugerah sekaligus uujian bagi manusia agar mampu menjaganya dalam wilayah penghambaan kepadaNya. Bahwa suatu saat rindu itu tak harus selalu bergetar, karena akan ada suatu masa dimana rindu itu telah terobati dengan pertemuan yang sudah Allah gariksan.

“dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 63)

Sesungguhnya engkau tahu, bahwa hati ini t’lah berpadu
Berhimpun dalam naungan cintaMu.
Bertemu dalam ketaatan, bersatu daam perjuangan
Menegakkan syari’at dalam kehidupan.

Kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.
Terangilah dengan cahayaMu yang tiada pernah padam.
Ya Rabbi bimbinglah kami.

Lapangkanlah dada kami, dengan karunia iman.
Dan indahnya tawakkal padaMu.
Hidupkan dengan ma’rifatMu, matikan dalam syahid di jalanMu.
Ya Rabbi,,, bimbinglah kami.

Sleman, 26 Oktober 2010
Di sebuah sudut asrama peradaban, LPI Yogyakarta
Saat iringan sirine ambulans evakuasi korban Merapi terus melintasi gendang telinga ini.

About jupri supriadi

unzhur maa qaalaa walaa tanzhur man qaalaa

Tinggalkan komentar