Kaderisasi Instan
Adakah yang salah dengan sistemnya? Ataukah para pengampunya yang memang bermasalah.
Entah, tema-tema seperti itu semakin mencuat dalam diskusi-diskusi dibeberapa tempat dan obrolan ringan. Bahkan sudah dua minggu ini, qadhaya dalam lingkaran asasi saya pun membahas tema yang serupa.
Tak bisa dipungkiri memang, proses dakwah yang instan akan menghasilkan berbagai polemik juga dikalangan kader itu sendiri. Dakwah yang lebih menitik beratkan pada bagaimana mempertahankan keberlangsungan lembaga dakwah tanpa memikirkan esensi dari cita-cita mulia dakwah, lama kelamaan akan menimbulkan gejala serba instan.
Kaderisasi yang sekedar formalitas memang telah mengurangi kepahaman kader-kader dakwah akan sebuah proses yang akan dihadapinya. Banyak diantara kader dakwah (kampus) justru dibiasakan nyaman dengan kondisi seperti ini. Dakwah ini ibarat proses panjang perjalanan sebuah kendaraan menuju tujuan akhirnya.
Ketika para pengampu dakwah hanya memikirkan agar bagaimana mesin-mesin itu tetap berjalan lalu mengabaikan arah dan tujuan dakwah itu sendiri, maka sudah pasti pergerakan dakwah tidak bisa terkontrol lagi. Bahkan bisa jadi semakin mundur ke belakang.
Pertanyaan yang sering muncul di kalangan para pengampu dakwah adalah apakah dakwah yang dilakukannya selama ini sudah bermanfaat bagi orang lain atau belum. Apakah kesibukan-kesibukan selama ini, mulai dari padatnya jadwal kajian, seminar, daurah bahkan syurosyuro sekalipun memberi efek positif bagi ummat? Atau kita tanpa sadar telah disibukkan dengan hal-hal yang bersifat formalitas saja. Menjadikan rangkaian proses kaderisasi sebagai sebuah program kerja. Yang dalam laporan pertanggungjawaban hanya tertulis telah dilaksanakan atau tidak. Output yang dihasilkanpun pada akhirnya tidak begitu paham tentang esensi dakwah. Dakwah yang dipahaminya adalah bahwa keberhasilan menduduki berbagai posisi strategis di kampus merupakan capaian tertinggi dari dakwah kampus. Sedangkan mereka tidak memikirkan lebih jauh lagi mengenai target jangka panjang dakwah kampus. Setiap tahun, para pengampu dakwah kampus selalu disibukkan dengan sebuah event pemilihan presiden mahasiswa. Namun, pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya kurang begitu diperhatikan oleh para aktivis dakwah kampus. Kader lembaga seperti tidak sanggup untuk menghadapi momen pemira dengan lebih matang. Akhirnya, polemik-polemik tahun sebelumnya seakan diulang hanya saja waktunya yang berbeda. Jabatan stuktural memang penting untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan kampus. Akan tetapi seharusnya yang dipikirkan bukan hanya bagaimana menempatkan kader-kader dakwah di lembaga. Kita juga harus memiliki konsep yang jelas bagaimana pembinaan ruhiyah tetap berangsung secara kontinyu. Sebagai bentuk penjagaan kader di lembaga dan mereka yang akan diproyeksikan di lembaga. Agar ketika lembaga tersebut sedang membutuhkan pengganti yang baru (baca: suksesi), semua kader sudah siap baik secara mental maupun kompetensinya. Bukan yang terjadi dibeberapa fakultas seperti saat ini, dimana mereka yang akan ditempatkan mengalami proses percepatan yang begitu cepat. Pada akhirnya, alur kaderisasi hanya diikuti sebagai syarat untuk menduduki posisi-posisi tertentu. Bagi mereka yang punya kapabilitas yang bagus, namun terkendala tidak bisa mengikuti alur kaderisasi formal, justru tidak diberi kesempatan. Oleh karenanya, dakwah itu bukan kerja-kerja sporadis. Tapi juga membutuhkan pemikiran yang jernih mengenai arah geraknya. Dakwah bukan hanya kerja satu tahun kepengurusan, yang setelahnya sudah dilimpahkan ke penerus selanjutnya.
Dakwah bukan hanya kerja-kerja formalitas, bukan hanya pada kedudukan dan jabatan. Kita harus terus mengevaluasi proses kaderisasi yang selama ini terjadi. Bukan justru terdiam melihat realita yang ada. Membiarkan generasi penerus dakwah selanjutnya terjebak dalam kesalahan yang sama. Karena proses kaderisasi yang salah dan serba instan hanya akan melahirkan kader-kader instan yang berpikiran juga serba instan. Hanya memikirkan dakwah untuk masanya saja. Untuk eranya saja. Tanpa memikirkan generasi setelahnya.
“Setiap orang2 memang punya hak untuk berkometar, menanggapi atau semcamanya..
hanya saja yang perlu jadi catatan.,apakah yang ia pahami yang ia ucapkan sudah sesuai dengan yang ia lakukan?
mengerti,namun hanya diam?baik kah?
berani bicara namun tak beraksi?bolehkah?
maka menjadi solutif yang diperlukan..
bukan berkomentar tanpa hasil yang di dapat..
tetap semangat dan saling menguatkan..^^