Archive | Maret 2011

Sendu di Sendai


Bumi berguncang hebat. Gedung-gedung pencakar langit ibarat rumput yang bergoyang. Mempermainkan setiap materi yang berada di dalamnya. Sakura berguguran keharibaannya. Pabrik, Jalan, Ladang meronta tak kuasa digetarkan. Selang beberapa waktu kemudian, gulungan ombak berduyun-duyun menerpa daratan. Semuanya menjadi satu. Air, mobil, tanah, pepohonan, bangunan dan raga manusia terombang-ambing dalam pusaran gelombang. Sendai berduka.

 

Sempat terpikir olehku, ini nyata ataukah hanya ilusi semata?. Ah, ternyata aku lupa. Bahwa Jepang ada di bumi Allah. Semuanya bisa terjadi. Bahkan sehebat apapun teknologi yang berhasi diciptakannya, secanggih apapun fasilitas yang dimiliknya, tetap saja Jepang adalah bumi Allah. Yang suatu saat, bencana akan datang melanda. Ribuan korban jiwa berjatuhan, bahkan bisa lebih banyak lagi. Masih banyak yang hilang tertelan hempasan Tsunami. Orang tua, remaja, bahkan anak kecil sekalipun tak bisa luput dari bencana.

 

Ada sebuah pertanyaan besar. Sejauh mana kita siap meghadapi bencana tersebut? Sejauh mana kita siap untuk menghadapi kematian. Saat ruh terpisah dari jasad. Ruh yang telah bertahun-tahun bersemayam dalam jasad, suatu saat akan pergi meninggalkan dunia. Melepas segala kenangan dan masa depan yang ada. Saat nyawa teregang, entah karena bencana, entah karena sakit yang diderita, kita tak mungkin untuk menundanya. Bahkan sedetikpun. Sudah lama kita mendengar, dari bangku-bangku sekolah, dari halaqah-halaqah pengajian, dari diskusi-diskusi keagamaan. Persiapkan bekal sebelum datang kematian. Bekal untuk pegangan saat dihisab di pengadilan akhirat, saat ditanya tentang apa yang sudah dilakukan selama hidupnya. Teringat pesan Jibril kepada Rasulullah SAW: “Ya Muhammad, hiduplah semaumu, karena sesungguhnya engkau pasti mati.Cintailah siapapun yang engkau cintai sekehendakmu, karena engkau pasti berpisah dengannya. Lakukanlah apa yang ingn kau lakukan, karena semuanya pasti akan dibalas. (H.R. Hakim)

 

Kini, meski matahai terbit dengan cerahnya, tetap saja sendu masih menyelemuti relung-relung hati mereka. Masih ada sendu dalam tetasan air mata mereka. Masih ada sendu dalam setiap kerut wajah tak berdaya. Sendai. Semoga kami bisa belajar untuk mempersiapkan bekal yang lebih indah, agar suatu saat, ketika berjumpa dengan Rabb semesta alam, menjadi perjumpaan terindah yang dinanti-nantikan.

Di jalan ini kita dipertemukan


Menapaki setiap alur kehidupan. Membuatku semakin tersadar bahwa hidup ini bukan tanpa skenario. Bahwa hidup ini sudah tergambarkan dengan jelas dalam rancangan kuasa-Nya. Jalan sudah terbentang. Hambatanpun sudah menantang. Aku yakin, bertahun-tahun lamanya aku di sini belum banyak yang bisa keperbuat dibanding dengan amalmu. Aku tahu, bahwa jejak-jejak yang kita tempuh ini memang penuh goresan luka. Dan aku juga tahu, bahwa ternyata kita semua dipertemukan dengan cinta di jalan ini untuk saling mengobati luka. Untuk saling bercanda, tawa ria, menutupi gelisah dan gejolak yang senantiasa menghinggapi relun-relung hati dan jiwa kita.

Sepuluh tahun, setahun, bahkan sebulan yang lalu pun aku tak pernah terpikirkan akan berjumpa denganmu. Namun, kehendakNya memang tak mudah terbaca dalam indera manusia. Ada banyak keajaiban-keajaiban diluar nalar dan logika. Hidup yang singkat ini tentu tak semudah yang kita bayangkan. Perjuangan, pengorbanan, kesetiaan, penghianatan, cinta, ambisi dan kekuasaan akan mewarnai lakon hidup manusia. Tapi aku yakin bersamamu, akan mampu kulewati semuanya dengan senyum dan binar wajah penuh ceria.

Di jalan ini, kita mencari Ridha Allah SWT. Kita melangkah untuk meraih jannah-Nya. Kita berjuang untuk menjemput syahid di jalan-Nya. Jalan yang terjal penuh onak dan duri. Jalan panjang dakwah yang membutuhkan nafas panjang menyusurinya. Semua butuh pengorbanan. Seperti ungkapan seorang penyair, “man yakhtub al hasnaa, lam yaghull ha al mahru.” Tak ada yang dianggap mahal bagi pria yang ingin meminang gadis pilihannya. Kita ingin meminang surga dengan segala keindahan dan kelezatan nikmat di dalamnya. Kita ingin memperoleh cinta dari pemilik alam semesta. Kita ingin merasakan betapa indah dan bahagianya bercengkerama dengan para bidadari surga. Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

Jalan dakwah. Di jalan ini kita dipertemukan. Untuk saling menguatkan. Untuk saling menopang. Menjadi bahu untuk sama-sama menanggung beban. Dan aku yakin perjalan panjang ini akan berbuah manis pada diujung penantian. Bersamamu kawan. Sahabat seperjuangan.

tik.


Kalau sudah menugaskan seorang pilot untuk mengendalikan pesawat terbang, janganlah membuat pilot itu pusing dengan permasalahan internal bandara. Biarlah ia fokus dan tenang mengendarai pesawatnya, karena banyak penumpang yang berada di dalam pesawat tersebut. Dan Permasalahan bandara seharusnya sudah SELESAI sebelum pesawat diterbangkan.

Istimewa


Bila ingin mendapat sesuatu yang istimewa, maka buatlah dirimu menjadi iistimewa dihadapan Sang Pencipta keistimewaan. Mintalah kepadaNya di waktu-waktu istimewa. Karena yang istimewa hanya untuk yang istimewa pula.

Menjadi yang istimewa di hadapanNya. Sebuah konsekuensi logis bila setiap amal kita diniatkan untuk mengharap ridha dari Sang Pencipta Keistimewaan. Setiap waktu, akan selalu tercatat apa yang dilakukan oleh kaki dan tangan ini. Akan selalu terekam setiap kata yang meluncur deras dari bibir ini. Akan selalu tersimpan dalam buku catatan Rakib dan Atid setiap tatapan yang terlintas dimata.

Lakon kita, terbatas waktu. Di sisi lain, ada banyak yang harus diselesaikan dalam hidup ini. Ada banyak kewajiban yang menggantung dalam pundak-pundak kita. Benar kata salah seorang ustadz, “Al Waajibatu aktsaru minal awqaat.” Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia.

Salah satu keharusan penting yang harus diupayakan adalah menjadikan waktu yang terbatas tersebut dengan amal-amal yang istimewa. Amal yang istimewa bukan amal yang banyak dan dilakukan tanpa keikhasan. Mereka yang bisa melakukan amal-amal yang istimewa tersebut adalah orang-orang yang istimea dihadapanNya. Dan diantara sekian waktu yang tersedia dalam sehari, ada saat-saat istimewa dimana Dia memberikan nilai istimewa kepada hambaNya yang beribadah diwaktu tersebut. Sepertiga malam terakhir itulah waktu istimewa tersebut.

 

Akumulasi Waktu Kebajikan


Akumulasi Waktu Kebajikan

Oleh: Anis Matta

Alun-alun tahrir di Kairo tiba-tiba jadi saksi sejarah dari ledakan kemarahan para pemuda Mesir. Jutaan jiwa muda itu tumpah ruah dengan satu target: Mubarak harus turun! Dan Mubarak pun akhirnya memang turun. Di lapangan yang sama-sepekan setelah kejatuhan Mubarak- para pemuda mendengar khutbah Jumat dari seorang ulama Mesir yang pernah diusir oleh rezim Mesir puluhan tahun lalu: Syekh Yusuf Al Qaedhawi.

Itu dua wajah sejarah dari dua orang pelaku yang tumbuh dan hidup dalam waktu yang sama. Yang satu mengakumulasi tirani. Yang satu mengakumulasi dakwah. Tapi keduanya menggunakan waktu yang sama. Lama sekali dalam hitungan umur individu. Akumulasi tirani itulah yang meledakkan pemuda Mesir di lapangan Tahrir, kaioro. Akumulasi dakwah juga yang menghadirkan Qardhawi kembali ke lapangan itu setelah pengusiran yang lama.

Sejarah adalah akumulasi yang meledak. Akumulasi kebajikan akan meledak jadi peradaban. Akumulasi tiran akan meledak menjadi revolusi. Tidak ada pelaku sejarah yang bisa meninggalkan jejak kalau hanya numpang lewat dalam hidup. Itu sebabnya perubahan-perubahan besar tidak akan pernah berlangsung dalam tempo yang singkat. Itu sebabnya sejarah menghapus banyak nama para pelaku karena mereka gagal mengakumulasi kebajikan mereka dalam rentang waktu yang lama.

Dalam makna akumulasi itulah Al-Qur’an memperkenalkan tiga besaran waktu yang berbeda. Satuan terkecilnya adalah waktu individu. Akumulasi dari waktu individu akan membentuk waktu sosial. Selanjutnya akumulasi waktu sosial akan membentuk waktu peradaban atau sejarah yang kita baca dari sejarah umumnya adalah akumulasi waktu individu yang berhasil membentuk waktu sosial dan peradaban dari sebuah komunitas.

Maka sejarahh sosial atau peradaban merupakan akumulasi dari sejarah individu-individunya. Tapi tak pernah ada sejarah individu yang bisa kita lepaskan dari konteks sosial dan peradabannya. Akumulasi kebajikan individu hanya akan meledak jika sejak awal ia terangkai dalam keseluruhan waktu sosial. Mubarak dan Qardhawi adalah dua individu yang bergulat dalam waktu sosial yang sama, dan akhirnya meledak pada waktu yang sama, yaitu waktu sosial masyarakat Mesir. Hasil bagi individu berbeda. Tapi keduanya melukis kanvas waktu masyarakat Mesir.