Hidup Adalah Kumpulan Pertanggungjawaban
Ketika Sang Pemberi Nyawa kemudian menagih pertanggungjawaban atas setiap detik waktu yang digunakan. Ketika Sang Pemberi nafas menagih pertanggungjawaban atas setiap hentakan kembang kempisnya nafas yang berulang. Ketika Sang Pemberi rizki menagih pertanggungjawaban atas setiap lembaran hari-hari yang dimanfaatkan. Adakah kita siap untuk menjawabnya dihadapan Sang Pemilik Segala tersebut….
Jum’at kemarin bukan saja hari yang istiwewa seperti pekan-pekan sebelumnya. Akan tetapi jauh lebih istimewa dari yang pernah saya alami. Hidup mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, meresapi setiap celupan nikmatNya yang seringkali menghampiri, namun kita sendiri jauh tersadar akan nikmatnya tersebut.
“Ini sepeda untuk antum. Dari temen-temen.”
JegeRrrr.. Belum pernah sebelumnya terbayang dan terlintas dalam pikiran akan mendapatkan nikmat dari cara yang seperti ini. Saat saya harus ‘dijebak’ untuk mengantarkan sepeda baru ke rumah Sang Pemilik sepeda yang baru saja membelinya dari sebuah toko di kawasan Brigen Katamso. Saat ketika sepeda itu sudah sampai dirumah sang pemilik, namun seketika ada sms yang masuk. “Itu udah jadi milik antum.” DI saat itu pula saya tak bisa mengambil keputusan dengan cepat antara menerima dan menolak.
“lho, itu kan rezeki.. Kenapa ditolak?” .
Karena pasti dari setiap rezeki itu akan ada pertanggungjawaban besar yang harus ditunaikan. “Bukankah memang seperti itu ya, setiap rezeki, nafas, dan nikmat-nikmat lain yang Allah berikan pada manusia, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya?”
Hmm, kemudian saya berpikir ulang untuk menerima pemberian tersebut. Ada dua konsekuensi pertanggungawaban yang harus saya tunaikan, yaitu pertanggungjawaban vertikal (Hablumminallah) dan Horizontal (Hablumminannaas). Berat ketika menerima pemberian yang bisa dikatan “itu uang ummat.” Berarti setiap waktu yang digunakan, bila terbuang sia-sia adalah juga menyia-nyiakan uang ummat. Astaghfirullah.
Padahal, memang seharusnya manusia itu menyadari bahwa dari setiap nikmat yang ia miliki, ada pertanggungjawaban vertikal dan horizontal. Tentang bagaimana, untuk apa dan dengan apa nikmat itu digunakan.
Seorang manusia itu akan berhenti pada pengembaraan hidupnya, suau saat nanti. Ia akan menghentikan semua amanah yang selama ini diemban. Ia akan melepaskan semua harta dan kepunyaan yang ia pegang. Harta yang dipegang lho, bukan dimiliki. Karena sejatinya, memang harta, kedudukan dan penghormatan manusia itu bukan dimiliki, tapi hanya dititipkan sebentar, kita mungkin hanya memegang, menyentuh atau bahkan sekelebat melintas dalam alam jiwa manusia.
Bukankah hidup manusia itu seperti tukang parkir?. Berpuluh-puluh bahkan berates-ratus hilir mudik kendaraan melintasi lahan parkirnnya, namun dalam sekejap, sewaktu-waktu kendaraan itu akan dibawa pulang oleh pemiliknya sendiri. Dan, sang tukang parkir tak bersedih atas kembalinya kendaraan itu pada pemiliknya. Saat kendaraan itu datang, sang tukang parkir tersenyum bahagia, ia masih bisa menyaksikan deratan mobil-mobil indah. Dalam kondisi selanjutnya ia juga tetap bahagia jika mobil itu dibawa kembali karena ia merasa lega, mobil itu telah aman dalam penjagaannya selama dititipkan oleh sang pemilik.
Disetiap nikmat, pasti ada konsekuensi amanahnya. Menerima pemberian orang lain, berarti menerima konsekuensi untuk menjalankan amanah sang pemberi dan juga Sang Maha Pemberi. Semoga saya dikuatkan untuk selalu mempergunakan setiap apa yang diberikan olehNya selalu dalam kebaikan. Aamiin…
Jazakumullah Khair atas pemberian antum saudara-saudaraku… Saya mungkin belum bisa membalas dengan kebaikan yang berlpan, tapi yakinlah ALLAH pasti yang akan membalas kebaikan antum dengan berlipat ganda.
Depok, 1 Juli 2012.
06.45 WIB
Menjemput yang Istimewa dalam Kondisi Istimewa
Kata seorang ustadz, menjemput sesuatu yang istimewa itu harus dalam kondisi yang istimewa dengan cara yang istimewa dan di waktu yang istimewa.
Seringkali, kita berhadapan pada kondisi dimana iman itu naik dan dalam waktu sekejap bisa turun berbuah kefuturan. Dan, itu memang sunnatullah , al iimanu uaziidu wa yanqus. Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah karena keimanan dan berkuraang karena kemaksiatan. Proses perwujudan amal manusia tak bisa terlepasa dari dua kondisi yang sangat berbeda ekstrim. Dalam kondisi baik ataupun dalam kondisi buruk. Begitulah setiap waktunya kita dihadapkan pada dua kondisi tersebut.
Masa keberlangsungan hidup manusia pun, hatta ia seorang alim, pasti adakalanya pernah tergoda dan terjerembab dalam lubang kemasiatan. Namun, bukan berarti mewajarkan sunnatullah tersebut. Sebagai seorang yang beriman, tentunya aplikasi dalam keyakinan hati berwujud menjadi amal nyata dalam perbuatan. Setiap detak waktu yang berputar sebisa mungkin merupakan proses penambahan amal kebaikan dan menambah keberkahan di seriap aktivitas kita. Sehingga, ziyaadatul khair akan terus mengisi sisa waktu hidup kita di dunia.
Dalam berbagai kondisi, manusia berusaha untuk sebisa mungkin ruang kemungkinan bertambahnya amal kebaikan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Di sinilah letak keistiqomahan itu teruji. Ada yang memang bisa bertahan dengan amal baik dalam waktu yang singkat, namun ada juga yang bisa iqtiqomah tetap berada dalam kebaikan tersebut.
Kefahaman dan keyakinan akan amal yang dipebuat manusia menjadi poin penting bagi terjaganya niat. Karena dari niat itulah, yang menjadi pembeda segala aktivitas kehidupan manusia. Dalam tataran hamblumminannas, ada yang disebut akhlak dan juga ada yang disebut suluk. Perbedaanya terletak pada sebab yang menjadikan amal tersebut dilakukan. Seseroang bisa disebut berakhlak baik bila kepribadian baiknya itu dilandasi keimanan kepada ALLAH sedangkan seseorang disebut ber-suluk baik bila kepribadian baiknya itu hanya karena naluri fitrah manusia tanpa ada keyakinan atas perwujudan amal itu atas dasar keimanan.
Perputaran roda waktu kehidupan manusia pada dasarnya untuk menguji siapa diantara kita yang ayyukum ahsanu ‘amala. Manusia yang paling baik amalnya. Ada saatnya memang kita tergelincir dalam dosa, tapi biarkan itu menjadi ruang sempit dalam atmosfer kebaikan yang kita miliki.
Disinilah letak pembeda antara manusia yang benarbenar menjadikan keimanan mereka sebagi landasan gerak setia aktivitas kebaikan, kita diperintahkan untuk selalu berada dalam kondisi kebaikan, dalam hal apapun aga sewaktu-waktu ketika ajal menjemput, kita berada dalam kondisi yang benar-benar istimewa. Kalau diri kita selalu berada dalam kondisi istimewa tersebut, insya Allah, kebaikan-kebaikan dan rezeki yang istimewa akan sampai pada kita dalam kondisi yang tak terduga sebelumnya.
Depok, 20 Juni 2012 ,18.30 WIB
Tulisan di Media
Istiqomah: Konsisten, Persisten, Konsekuen via Fimadani dan Dakwatuna
Muhasabah Cinta Dua Sahabat via Fimadani
Bila Langkahmu Terhenti via Fimadani dan Dakwatuna
Kader Imun vs Kader Steril via Islamedia dan Dakwatuna
Kemenangan, Perdamaian dan Sebuah Strategi via Dakwatuna
Yang Terdustakan via Dakwatuna
Kader-Kader Manja via Dakwatuna
Putuskan Dalam Kondisi Ruhiyah Terbaik via Dakwatuna
Ujian Kapasitas via Dakwatuna
Karena Ikatan Kita.. Istimewa via Dakwatuna
Antara Awal dan Akhir via Dakwatuna
Berharap Nafas yang Panjang via Dakwatuna
Antara Kompetensi dan Jaringan via Kompasiana
Mendadak Jilbab via Kompasiana
Cinta Tak Berbalas via Kompasiana
Jika Kerja Itu Sebuah Cinta via Kompasiana
Infotainment: Antara Etika dan Relita via ILC
REDD Untuk Selamatkan Hutan Indonesia via ILC
Jika kerja itu sebuah cinta…
Suatu hari ada sahabat saya yang mengatakan “lebih baik bekerja dalam hening, daripada memberi harap lalu mengecewakan.” Tidak perlu berbanyak kata atas pekerjaan yang sedang kita kerjakan, cukup lakukan saja dengan sungguh-sungguh, perlahan tapi pasti dan selesai pada saat yang tepat.
“Lalu, gimana klo seandainya tak ada yang menghargai kerja kita?” Seorang pekerja memang akan mempunyai keinginan akan balasan terhadap pekerjaannya, setiap peluh yang menetes dan hentakan nafas yang mengembang menjadi bukti akan kuatnya usaha sang pekerja. Pagi hingga sore kemudian berlanjut sampai malam, bagi seorang pekerja sejati, hidup ini harus penuh karya. Bukan kemudian bermalas-malasan atas waktu kosong yang tersedia.
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105)”
Pada intinya setiap kerja yang kita lakukan kembal pada diri sendiri, seperti kita berteriak di antara tebing sebuah jurang, ia akan memantulkan kembali teriakan kita, bahkan tak hanya satu kali, bisa berulang-ulang dengan frekuensi yang lebih tinggi. Setiap kerja yang kita lakukan pasti akan ada imbalannya. Rasa kecewa, marah, kesal mungkin terlintas daam benak jiwa sang pekerja ika tak bisa mendapat imbalan secepatnya.
Tapi bukan itu yang seharusnya di harapkan. Saat ini kita bekerja, bukan mengiba. Saat ini kita berkarya, bukan meminta. Seorang pekerja sejati tak berharap senandung pujian atas pretasi yang membanggakan. Ia juga tak hiraukan cacian yang kadang menyakitkan.
Dan, cinta itu juga sebuah kerja kan? . Memberi apa yang kita miliki, berarti memberi apa yang kita cintai kepada yang kita cintai pula. Bukan hanya benda berbentuk materi yang kita berikan, tapi cinta sejati itu lebih banyak memberi yang tak terlihat oleh kasat mata. Ia memberi do’a dalam kejauhan, ia memberi semangat dalam kesempitan, ia memberi motivasi untuk bangkit saat kita dalam ketejatuhan. Namun, sang pecinta tak suka berjanji, apalagi memberi harap yang tak pasti , kecuali ia sudah melewati tapak-tapak selanjutnya dari cinta. Hidup ini bukan sekedar mengerjakan apa yang kita cintai, tapi juga berusaha untuk mencintai apa yang kita kerjaka, kini dan nanti.
Para pencinta sejati tidak suka berjanji. Tapi begitu mereka memutuskan mencintai seseorang, mereka segera membuat rencana memberi. (Anis Matta)
Depok, 29 Juni 2012
06.30 WIB
#JumatSemangat
selalu ada rasa menyesal
selalu ada rasa menyesal tiap kali ada momen-momen penuh hikmah tak terdokumentasikan, atau ilmu baru tapi tak sempat tertuliskan. Banyak yang ingin dibagi berwujud tulisa, tapi apa daya, waktu yang masih belum mampu untuk dikondisikan. Padahal tiap harnya akan selalu ada momen berharga yang bisa memberikan himah bagi kita. Selalu ada kata yang membuat kita terperangah merasuk ke dalam hati, atas nasehat orang-orang disekeliling kita.
Dengarlah kat-kata Imam Syafi’i, Ikatlah Ilmu dengan menuliskannya….
Rasa yang teramat berat untuk menulis, selalu saja menjadi penghambat tertuangya segala sesuatu yang tersimpan dihati dan tak sempat hinggap ke hati atau bahkan ke kepala orang lain.
Anyway, sekecil apapun tulisan itu, semoga kita diberikan keistiqamahan untuk terus menulis….
Menulislah, karena dengan menulis engkau akan lebih hidup…
Akankah kita hanya duduk termangu???
Perjuangan itu akhirnya mulai tampak nyata hasilnya. Lama? Memang. Susah? Iya. Berat? Apalagi. Karena Ia begitu menyayangimu. Ia memberikan kesempatan ini untuk menguji kamu , siapa yang menang benar-benar mendengar dan menerima seruan-Mu.
Sudah banyak jiwa-jiwa yang dipenjara, syahid, dalam tiang gantungan atau bahkan dalam kondisi lain yang mengenaskan. Seperti sang Imam yang ditembak dalam perjalanan. Tak ada bantuan, sampai tim medis pun enggan memberikan pertolongan. Hingga akhirnya nyawapun meregang. Tapi tak berhenti sampai disitu kezaliman penguasa tiran. Sang Imam tak boleh di sholatkan oleh para pengikutnya yang ribuan.
Tapi kini, perjuangannya mulai berbuah hasil. Saat dulu ikhwan sering di todong martir. Bergelirnya memperjuangkan hak rakyat sipil. Kini, suatu pencapaian yang mungkin menurutsebagian orng mustahil. Menjadi orang nomor satu di negeri mesir. Berawal dari kumpulan mujahid yang segelintir, memperjuangkan kebebasan atas penindasan dan kebijakan yg tidak adil. Tapi yang pasti, kemenangan itu akan bergilir dan bergulir.
Sampai saat ini kita tak tahu, kapan seluruh umat Islam di dunia bersatu. Akan tetapi, pertanda itu mulai muncul satu persatu. Kemenangan demi kemenanga telah membawa kita di era baru. Dengan semangat para mujahid yang menggebu-gebu.
Akankah kita hanya duduk termangu??? Menyaksikan kejayaan umat ini akan terus melaju.
Serial Cinta: Seni Memperhatikan
Memperhatikan adalah kondisi di mana kamu keluar dari dalam dirimu menuju orang lain yang ada di luar dirimu. Hati dan pikiranmu sepenuhnya tertuju kepada orang yang kamu cintai. Itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mereka yang bisa keluar dari dalam dirinya adalah orang-orang yang sudah terbebas secara psikologis. Yaitu bebas dari kebutuhan untuk diperhatikan. Mereka independen secara emosional: kenyamanan psikologis tidak bersumber dari perhatian orang lain terhadap dirinya. Dan itulah musykilnya. Sebab sebagian orang besar lebih banyak terkungkung dalam dirinya sendiri. Mereka tidak bebas secara mental. Mereka lebih suka diperhatikan daripada memperhatikan. Itu sebabnya mereka selalu gagal mencintai.
Itulah kekuatan para pencinta sejati: bahwa mereka adalah pemerhati yang serius. Mereka memperhatikan orang-orang yang mereka cintai secara intens dan menyeluruh. Mereka berusaha secara terus-menerus untuk memahami latar belakang kehidupan sang kekasih, menyelidiki seluk beluk persoalan hatinya, mencoba menemukan karakter jiwanya, mendefinisikan harapan-harapan dan mimpi-mimpinya, dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapan-harapannya.
Para pemerhati yang serius biasanya lebih suka mendengar daripada didengarkan. Mereka memiliki kesabaran yang cukup untuk mendengar dalam waktu yang lama. Kesabaran itulah yang membuat orang betah dan nyaman menumpahkan isi hatinya kepada mereka. Tapi kesabaran itu pula yang memberi mereka peluang untuk menyerap lebih banyak informasi tentang sang kekasih yang mereka cintai.
Tapi di sini juga disimpan sesuatu yang teramat agung dari rahasia cinta. Rahasia tentang pesona jiwa para pencinta. Kalau kamu terbiasa memperhatikan kekasih hatimu, secara perlahan-lahan dan tanpa ia sadari ia akan tergantung dengan perhatianmu. Secara psikologis ia akan sangat menikmati saat-saat diperhatikan itu. Bila suatu saat perhatian itu hilang, ia akan merasakan kehilangan yang sangat. Perhatian itu niscaya akan menyiksa jiwanya dengan rindu saat kamu tidak berada di sisinya. Mungkin ia tidak mengatakannya. Tapi ia pasti merasakannya.
Mendadak Jilbab
“Al-hukmu bizh-zhahir.” Manusia hanya bisa menghukumi yang zhahir saja, masalah niat itu dan yang tampak itu urusan Allah. Sehingga bisa saja menurut penilaian manusia sesorang itu ikhlas beramal tapi sesungguhnya di hadapan Allah tidak ada nilainya. Pun, begitu juga sebaliknya.
Sebuah fenomena yang akhir-akhir ini muncul adalah penggunaan identitas muslimah sebagai ‘seragam’ kebesaran para koruptor perempuan. Lagi-lagi, entah memang karena niatan mereka murni untuk menjalankan syariat Islam ataukah hanya untuk melindungi diri dan menutupi rasa malu atas kasus yang menimpanya. Sebut saja, Malinda Dee, Tersangka kasus pembobolan dana nasabah Citibank yang mendadak berjilbab, padahal sebelumnya berpakaian terbuka. Kemudian dilanjut dengan perubahan yang sangat ekstrim dilakukan oleh Yulianis, yang mengenakan pakaian sangat tertutup dengan cadarnya saat menjadi saksi dalam kasus suap wisma atlet. Saat itu Nazaruddin, sebagai terdakwa mempertanyakan keaslian Yulianis hingga meminta kepada Yulianis membuka cadarnya di hadapan majelis hakim. Dua perempuan terdakwa lainnya yang mendadak mengenakan jilbab adalah Afriyani, tersangka kasus kecelakaan maut xenia dan Nunun Nurbaeti yang terjerat kasus cek pelawat Gubernur BI. Terakhir, yang membuat saya bertanya-tanya lagi adalah saat Neneng, istri Nazarudin mendatangi kantor KPK dengan mengenakan jilbab dan hanya terlihat matanya saja.
Apakah memang benar, jilbab yang digunakan tersebut murni karena telah meyakini paham akan batasan-batasan aurat seorang muslimah, atau memang ada niatan lain yang hendak disampaikan oleh mereka.
Munarman, juru bicara FPI mengatakan kepada media, seperti yang dikutip Tribunnews.com “Kami protes sekaligus mempertanyakan. Setiap perempuan yang berurusan dengan hukum, termasuk Neneng, selalu terlihat berjilbab. Sebelumnya, Apriyani supir maut yang ditangkap juga pakai jilbab, begitu ditetapkan sebagai tersangka. Padahal kesehariannya tidak pakai jilbab, Kalau memakainya (busana muslim) sejak sebelum berurusan dengan hukum, itu lain soal. Tapi ketika datang ke penegak hukum, KPK misalnya, tiba-tiba saja pakai busana muslim, ini pelecehan namanya, Busana muslim, seakan hanya untuk menutupi kelakukannya saja. Padahal, belum tentu kesehariannya memakai busana muslim. Atau mungkin, yang memakai busana muslim itu baru sadar setelah terkena kasus hukum? Apakah Neneng pakai jilbab saat tertangkap atau memang sebelumnya sudah pakai?”
Tidak hanya perempuan, laki-laki pun sebenarnya juga sama. Banyak yang saya lihat ketika sidang-sidang di pengadilan, seorang terdakwa mengenakan baju koko lengkap dengan pecinya . Jika kemudian hal tersebut terus berlangsung, maka mindset berpikir akan tergiring opini bahwa seorang terdakwa dan terjerat kasus hukum itu identik dengan muslim. Apalagi bila masyarakat melihat bahwa identitas seorang muslim-muslimah itu sering berhubungan dengan yang namanya perbuatan tidak terpuji.
Jika media selalu memberitakan bahwa perempuan berjilbab –apalagi bercadar- adalah istri Terduga teroris atau perempuan tersangka korupsi, atau perempuan ugal-ugalan, maka arus berpikir masyarakat sedikit demi sedikit akan tergerus dan terbawa pada pemahaman bahwa jilbab tidak lagi menjadi sebuah identitas penting. Jilbab hanya menjadi pakaian biasa yang semua perempuan bisa mengenakannya dan tak menjamin kepribadian perempuan tersebut. Akhirnya, masyarakat bisa saja menarik kesimpulan, “ngapain berjilbab atau bercadar, yang begitu saja kelakuannya bejat?”
mengendalikan hawa nafsu
Hawa nafsu adalah dua pertiga jalan menuju neraka, maka dengan mengendalikan hawa nafsu adalah jalan terbesar menuju surga. Abu Dulaf al-Ijli-seperti yang dinukil oleh Ibnul Qayyim Aljauziyah dalam Raudhatul Muhibbin-nya- berkata:
“Betapa buruknya pemuda yang beradab luhur.
mengorbankan adabnya demi menuruti nafsu.
Kenistaan dia datangi, padahal dia mengetahuinya.
Kehormatannyapun ternoda karena perbuatan keji.
Setelah terkejut barulah kesadarannya pulih lagi.
Maka diapun menangisi waktu yang telah dilaluinya.”
Adakah kita mau menyesal di hari esok?
Adakah kita akan menagisi hari demi hari yang kita lalui di masa muda dengan penuh kesiaan?
Ibnu Rajab berkata : “Barang siapa menjaga ketaatan di masa muda dan masa kuatnya, maka Allah akan memelihara kekuatannya disaat Tua dan saat kekuatannya melemah. Ia akan tetap diberi kekuatan pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir dan kekuatan akal”.
Random 4
Mungkin berawal dari ketidaksepahaman. Karena saling memahami menjadi prasyarat untuk saling menanggung beban. Juga tidak ada kata ‘menanggung beban” dalam tingkatan ukhuwah bila tak bermula dari ta’aruf (saling mengenal).
Mungkin kita tidak mengenal atau tidak saling mengenal, sehingga kita tak bisa saling memahami. Masing-masing bertahan dengan egonya sendiri. Sudahlah….
Penerimaan Mahasiswa Baru UGM 2020 (part 1)
28 Mei 2020
Kabar baik datang menghampiriku. Setelah suka cita idul fitri aku rasakan seminggu yang lalu, Alhamdulillah kabar menggembirakan datang dari kampus impianku, Universitas Gadjah Mada.
Penantian selama hampir sebulan ternyata berakhir indah dengan pengumuman kelulusanku di kampus biru itu. Aku bersama 4 teman lainnya, hamid, taqih, nisa dan risa Alhamdulillah berkesempatan untuk masuk UGM tanpa tes. Entah apa nama jalurnya, karena kata guruku tahun ini sistemnya sudah berganti lagi dari sebelumnya yang bernama snmptn.
Aku diterima di fakultas Hukum, Hamid dan Risa di Fakultas Kedokteran, Taqih di Fakultas Teknik, sedangkan Nisa di Fakultas Psikologi.
Tak lama setelah pengumuman itu, sebuah mention masuk ke account twiiter ku:
“Assalamu’alaikum @fadhilzha , Selamat bergabung dalam keluarga besar UGM 🙂 , slmt yah sudah di terima d I FH UGM “
Setelah ku cek ternyata itu adalah account twitter sebuah lembaga dakwah kampus di UGM.
Lho,kok kakak-kakak tingkatku sudah tau kelulusanku, padahal infonya baru saja kudapat.Sebuah notifikasi di facebook juga muncul di message fb ku, dengan redaksi yang hampir mirip seperti di twitter tadi.
“Assalamu’alaikum Fadhil Zaahid Anwar, Selamat bergabung dalam keluarga besar UGM :), Jika perlu bantuan untuk mencari info kos atau yang lainnya, bisa menghubungi kami di CP 0812982615XX .”
Lagi-lagi ku berpikir, subhanallah, begitu perhatiannya kakak-kakakku di UGM sana. “Aku yang tinggal jauh di pelosok Padang ini sudah disambut begitu baiknya oleh mereka. “ bathinku dalam hati.
13 Juni 2020
Pukul 08.00
Aku dan keempat teman lain dari sekolahku berangkat menuju Yogyakarta untuk melengkapi berkas registrasi. Kami berangkat pagi-pagi dari Bandar Udara Internasional Minangkabau pukul 08.00 WIB, diperkirakan baru sampai ke Adisucipto International Airport pukul 15.00 sore nanti karena harus transit dulu ke Jakarta.
Pukul 15.30
Akhirnya, kami tiba di jogja. Sesampainya di pintu keluar bandara, handphone ku bordering,
“sudah sampai mana dek?”
“ini baru saja keluar dari pintu Arrival kak.”
“oh gitu, kakak tunggu di pintu penjemputan ya. Kakak pake jas ugm.”
“baik kak…”
Telepon dari kakak yang ku dapat nomornya di facebook kala itu. Rencananya kami berlima akan dijemput dan diantarkan langsung ke kontrakan yang sudah mereka carikan untuk kami. Kalau tak salah, aku, hamid dan taqih di daerah Karanggayam, sedangkan risa dan nisa di Pogung Baru. Sampai di sini, aku ber-subhanallah lagi, betapa mulianya jasa mereka. Rela mengorbankan waktu untuk menjemput kami sampai mencarikan kontrakan, apalagi pagi tadi, sang kakak itu baru saja ada uas 2 mata kuliah.
Setelah keluar dari pintu utama bandara, kami menemukan sekumpulan kakak-kakak berseragam almamater berwarna agak ke abu-abuan, sedangkan di sebelahnya juga ada kakak-kakak berjilbab yang mengenakan jas serupa, “mungkin itu jas almamater ugm.” pikirku.
Ku hampiri mereka,
“maaf, ini kakak-kakak dari ugm?”
“oh iya, kalian mahasiswa baru dari padang ya?” sahut salah seorang diantara mereka.
Kami disambut begitu hangatnya, kegembiraan seperti saudara yang bertemu kembali setelah sekian lama berpisah, bahkan kehangatan itu seperti kakak dan adik sungguhan. Tak lama bercengkerama, sekedar saling memperkenalkan diri, kami langsung di antar ke kontrakan masing-masing dengan sepeda motor. Pas sekali, ada 3 kakak yang putra dan 2 kakak yang putri.
Sesampainya di kontrakan, kami diperkenalkan dengan penghuni kontrakan lain yang juga merupakan mahasiswa baru. Mereka baru saja pagi tadi sampai di kontrakan itu. Zaenal dan Harits, mahasiswa MIPA asal Cirebon.
14 Juni 2020
Inilah udara pagi jogja yang pertama kali kurasakan. Pagi-pagi buta kami sudah mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus, maklum jadwal registrasi sudah dibuka jam 7. Karenanya kami harus cepat-cepat berangkat supaya tidak terlalu lama mengantri.
Kami berlima janjian di bunderan UGM untuk ketemuan, karena semua berkas yang diperlukan dikumpulkan di Risa.
Setelah selesai proses registrasi, kami berlima berencana keliling kampus untuk sekedar melihat-lihat seperti apa kampus ugm ini. Dulu, kami hanya bermimpi akan masuk ke kampus terbesar di Indonesia ini, dan kini, mimpi itu menjadi kenyataan. Meski kata orang, kalau masuk ke UGM itu ‘dosa’nya juga banyak, karena telah menghambat orang lain yang punya mimpi-mimpi jauh lebih besar tapi terhalang masuk ke ugm karena kita. Ah, tapi kami yakin, kesempatan itu akan bisa kami optimalkan sebaik-baiknya, bahkan bisa lebih baik lagi.
Kami berjalan menelusuri kampus kampus sebelah timur GSP. Dari fakultas ekonomika dan bisnis, filsafat, psikologi, ilmu budaya hingga fakultas hukum. Fakultas tempatku nanti menuntut ilmu.
Tiba-tiba ada seorang kakak putri yang menyapa kami,
“sedang keliling ugm ya dek?”
“eh, iya kak.” Mungkin kami begitu jelas terlihat sebagai mahasiswa baru, makanya kakak itu berani langsung menyapa.
“oiya kak, mau Tanya kalau fakultas kedokteran yang mana ya?” sahut risa ingin tahu juga dimana fakultasnya.
”hmm, mari kakak antar saja, kebetulan kakak juga mau ke arah sana.”
Sepanjang perjalanan kakak itu menjelaskan tentang kondisi kampus, tentang kegiatan mahasiswa, bahkan sampai atmosfer dakwah di kampus biru ini. Risa dan Nisa pun juga tampak sudah akrab dengan kakak tersebut. Kami menelusuri jalan kesehatan, konon katanya dulu jalan ini masih dipenuhi lalu lalang kendaraan umum, tapi kini sudah banyak terlihat pejalan kaki dan pesepeda yang melintasi jalan tersebut. “Alhamdulillah, kini ugm tak seperti dulu, rame dengan kendaraan.” Tutur kakak itu.
“Nah, itu dia fakultas kedokteran, nanti di sebelahnya ada fakultas mipa dan seberang rumah sakit ini fakultas teknik, mbak cuma bisa nganter sampe sini ya, soalnya mau ada jadwal tasqif di masjid itu.” Ujar kakak itu sambil menunjuk masjid besar nan mewah berlantai tiga. “Masjid Mardliyyah Kampus UGM.”
….bersambung.
Manusia beradab
Tujuan utama Pendidikan Islam, menurut Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a godman…. the fundamental element inherent in the islamic concept of education is the inculation of adab.” (hal. 150-151)
Lalu, siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia beradab lainnya. Manusia beradab juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah swt.
_diambil dari buku: Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab (Adian Husaini)
Jangan berprasangka buruk pada matahari
“Jangan berprasangka buruk pada matahari. Jika ia terbenam di satu titik, sesungguhnya ia sedang terbit di titik yang lain.”
-penghujung sore 7 Juni 2012
Cinta tak berbalas…
Sai’d ibn Abdullah ibn Rasyid mengisahkan -seperti yang ditulis oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitab Raudhatul Muhibbin– bahwa ada seorang gadis yang jatuh cinta kepada seorang pemuda yang terkenal dan sangat cerdas. Awalnya, ia mencintai pemuda tersebut dalam hening, namun akhirya ia memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang terpatri dalam hatinya kepada pemuda itu.
Diabaikan. Ya. Pemuda tersebut ternyata menunjukkan sikap biasa saja terhadap gadis itu karena tak muncul getar-getar cinta dalam hatinya, hingga akhirnya sang gadis merasa sangat kecewa dan terpukul hatinya. Kekecewaannya berlarut-larut hingga mengantarkan diri sang gadis dalam kondisi sakit berkepanjangan. Makin hari, sakitnya bertambah parah hingga sang ibu tak rela melihat putrinya tersebut.
Ibu gadis itu lalu mendatangi pemuda tadi lalu memnitanya untuk menjenguk barang sebentar saja. Mungkin kehadiran pemuda itu bisa sedikit mengobati sakit dan sedih sang gadis.
“Penyakit putriku sudah semakin parah, sudilah jika kamu menjenguknya.”
si pemuda tadi ternyata masih enggan untuk menemui sang gadis,
“kembalilah kepada putrimu dan aku titipkan salam padanya ‘bagaimana keadaanmu sekarang’?”
maka, pesan sang pemuda tadi disampaikan kepada gadis itu.
“Ia bertanya kepadaku tentang penyakitku? Padahal dialah yang menjadi penyebab sakitku. Aneh.” kata sang gadis kesal ketika ibunya menyampaikan salam itu.
Lalu, si ibu untuk kedua kalinya mendatang pemuda itu, hingga akhirnya pemuda tersebut bersedia untuk menemui sang gadis.
Kabar tersebut lalu disampaikan kepada putrinya, hingga membuat putrinya menangis tersedu. Bukan karena tak gembira, tapi ia kecewa kenapa baru saat ini pemuda itu menemuinya, disaat raganya sudah semakin tak berdaya.
Dia membuatku jauh meskipun dekat dan bisa bersua dengannya
Hatinya baru terbuka saat aku tiada berdaya
Aku tak sudi mendatangi tempat orang yang membunuhku
Biarkan aku mati dengan memikul derita yang pilu
Tak lama setelah itu, sang gadis menemui ajalnya, dalam keadaan menaruh segenggam cinta tak berbalas dari pemuda itu.
Memang, cinta telah membuat sang pecinta rela mengorbankan dirinya dan menaruh harap pada yang dicintainya. Bahkan jiwanya pun rela terkorbankan untuk menanti sebuah kata cinta yang dicintainya.
Cinta itu -kata Tsumamah ibn Asyras- adalah teman duduk yang menyenangkan. Cinta yang meluap-luap (al ‘isyq) adalah pendamping yang lemah lembut, dan pemegang kekuasaan. Jalannya begitu lembut, mazhabnya begitu absurd, dan hukum-hukumnya terus mengalir.
Bila cinta tak berbalas, biarkan cinta itu terbang mengangkasa menemukan cinta yang takkan pernah membuat kita kecewa.
Sleman, 5 Juni 2012
12.20 WIB
*maaf sodara-sodara sy lagi gak galau, cuma lgi pengen nulis tema ini aja. hoho
mengobati kegalauan dengan silaturahim
Kalau ada dua agenda yang sangat penting berada pada waktu yang sama, memang pasti salah satu harus dikorbankan. Yang satu menuntut ilmu, sedangkan yang satu lagi menjalin silaturahim. Dua-duanya punya keutamaan masing-masing.
Kemarin sore adalah dilema, dimana ahad sore biasanya kan acara ‘wajib’ buat dateng kajian manhaj di Mardliyyah, apalagi materinya cukup menarik, yang mendatangkan penulis buku Paradigma Baru Dakwah Kampus. Sedangkan di tempat lain ada yang mau saya kunjungi tapi diantara 7 hari itu, beliau kosongnya cuma ahad sore. Nah, setelah saya pikir-pikir, kajian manhaj kan biasanya ada rekamannya, sedangkan siaturahim itu yang kudu ketemu langsung sama yang di-silaturahim-i. Akhirnya, berangkatlah saya bertiga dengan temen2 yang juga sebenernya mau ikut kajian manhaj.
Dengan berbekal petunjuk lewat sms, dan buta jalan. (krn belum pernah ke rumah dosen tersebut) alhamdulillah kami langsung sampe ke tempat.
Btw, dosen yang saya kunjungi ini bukan dosen biasa lho. Beliau ini dosen muda, aktivis, udah dapt gelar doktor, penelitiannya dimana-mana, alumni jepang, ustadz pula… Hmm, jadi iri ngeliatya. Apalagi punya 3 prajurit yang sholeh-sholehah.
Waktu saya tanya ke anak paling kecilnya,
“taqih, kalau besar nanti mau jadi apa?” (ini kayak lagu susan ya.. hehe)
“taqih mau jadi pak ustadz, masinis, penjual ikan, sama dokter.” (agak bingung juga, gimana jadinya ya)
Nah, keren banget kan ni anak, umurnya baru 3 tahun, tapi udah punya cita-cita sedemikian rigidnya. Dan menempatkan ‘profesi’ Pak Ustadz sebagai cita-cita pertamanya.
Balik lagi ke sosok dosen saya tadi. Beliau ini, sempat kuliah S1 di Fisika UGM, lanjut ke S2 juga masih di UGM. Namun akhirnya beliau mendapat beasiswa dari inpex jepang, sehingga harus ngulang lagi S2 nya di Jepang (ngambil jurusan teknik kimia), trus ngambil gelar doktor di Teknik elektro. beuh, lengkap banget kan?
Memang agak langka, dan sangat langka menurut saya untuk menemukan sosok lain di kampus ini dimana karakter ustadz, dosen, ilmuan, aktivis yang menyatu dalam satu sosok itu.
Ternyata bener, silaturahim itu memperpanjang usia, menambah rezeki. Setidaknya mengenyangkan perut. Hehe. Dengan suguhan masakan ala jepang, piring gelas yang bau-bau jepang trus malem-malem makan shoba (sejenis mie) di gubuk yang ala jepang juga. Plus ditambah ilmu yang didapet, rasanya pengen tiap pekan ke rumahnya untuk membicarakan terkait Dakwah ‘ini’. Sampe-sampe ada yang temen yg gak bisa dateng bilang,
“waa… iri..iri.. pokoknya harus ada lagi yg kyk gitu, HARUS. mupeng berat T.T”
hehe, siapa suruh gak dateng.
Anyway, pertemuan kemarin cukup mencerahkan saya yang tengah dilanda kegalauan di jalan ‘ini’. Bahwa ‘kita’ mungkin saat ini dipandang sebelah mata, di-anaktirikan, diberikan ‘sisa’, dituntut ini itu bla bla bla. Biarkan itu berlalu. Tetap saja bekerja untuk Indonesia. Dengan, atau tanpa dipedulikan oleh siapapun.
speechless
agak-agak speechless gimana gitu, ngeliat pengumuman di grup klo ternyata mas’ul-mas’ul SKI di teknik sebagian besar berasal dari CT atau paling tidak pernah terdaftar di CT 🙂
Barakallahu lakum…
Sanjaya: Mas’ul SKI Al Banna (Jurusan Teknik Arsitektur & Perencanaan)
M. Syaifuddin Ma’ruf: Mas’ul SKI Al Mustaqiem (Jurusan Teknik Kimia)
Prasojo Jiwandono: Mas’ul SKI Kamadz (Jurusan Teknik Fisika)
Ahmad Raditya Cahya Baswara: Mas’ul SKI Al Hannan (Jurusan Teknik Elektro)
Anindya S Prasidya: Mas’ul SKI TMC (Jurusan Teknik Geodesi)
#eh ada yang ketinggalan , ketua BEM dan ketua KMT juga pernah di CT juga 🙂 #kecelakaanSejarah
Siapakah yang akan menyusul selanjutnya??
======================================================
ternyata memang benar, bahwa dakwah itu perlu sinergitas, nggak bisa hanya mengandalkan satu lini atau berpikir lini lain tidak penting. semua elemen dakwah itu PENTING. tak ada yang boleh di-anaktirikan.
sedikit nyambung dengan statemen seorang dosen saat saya kunjungi sore ini, bahwa yang ‘kita’ tanam adalah benih jati, bukan benih kecambah. kalau dulu ‘kita’ yang di supply, sekarang gantian ‘kita’ yang men-supply. dan memang begitu seharusnya, saling membantu, saling melengkapi untuk kemajuan dakwah, adakalanya kita di supply dan adakalanya kita mensupply.
selanjutnya, tentang statemen di atas, akan dilanjutkan besok, skrg udah malem *hoaaaaammmm…
Mencari jerami dalam jarum
selama sepekan kedepan sepertinya kontrakan saya akan dipenuhi pocong-pocongan dari serat rami.. -___-“. dari 600 pocong-pocongan yang harus jadi selama satu pekan ini, ternyata sehari cuma dapet 50. Berarti kalau diinterpolasi butuh 12 hari untuk menyelesaikannya. (lama beud) itupun udah mengorbankan waktu bla-bla-bla sampe tangan pun kapalan karena berkutat selama hampir lima jam seharian dengan serat rami.
Dan, ternyata peribahasa yang selama ini saya dengar, bener juga kenyataanny. Bahwa memang sulit mencari jarum dalam jerami dan lebih sulit lagi mencari jerami dalam jarum #eh #pengalaman…
Kader Imun dan Kader Steril : bag 2
Kader Imun dan Kader Steril
Seorang al-ustadz pernah menyampaikan bahwa “Proses Tarbiyah ini harus bisa menghasilkan kader yang imun bukan sekedar kader yang steril, karena Meningkatkan Imunitas itu sama pentingnya dengan menjaga sterilitas“.
Dalam konteks pembinaan, kader yang steril adalah kader yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang sudah terjaga, terisolasi dan jauh dari pengaruh lingkungan buruk. Sedangkan kader yang imun adalah kader yang sudah dipersiapkan untuk bisa menjaga dan membentengi diri dari pengaruh lingkungan luar.Ia membangun ‘daya tahan’ terhadap perubahan konsisi lingkungannya. Kader yang imun sudah terbina untuk tetap terjaga dalam kondisi dan situasi seperti apapun, hatta ketika berada pada kondisi terburuk sekalipun. Sehingga ketika ia sudah keluar dari masa ‘karantina’ atau masa sterilisasi, ia tak mudah terkontaminasi dengan keadaan sekitar
Dakwah kampus misalnya, sering kita mendengar bahwa ada aktivis dakwah kampus yang semasa kuliahnya sangat begitu aktif dalam aktivitas dakwah bahkan menjadi salahsatu penggeraknya, namun ketika sudah lulus kuliah dan berada dalam dunia kerja, seakan militansi yang selama ini ada luntur seketika. Tak ada lagi heroisme yang dulu ada, saat di kampus merasa begitu haus akan ilmu, berjalan mengunjungi satu majlis ke majlis lainnya di kampus. Namun, setelah lingkungan barunya tidak menyediakan fasilitas serupa, semangat menuntut ilmupun dengan sendirinya semakin memudar. Enggan mendatangi majlis ilmu dengan alasan kerja atau keluarga. Seorang ikhwan misalnya, bila yang dibangun semasa di kampus hanya pada tataran sterilisasi diri dari pergaulan maka akan terjadi shock culture dan bisa jadi membawanya pada kondisi kefuturan. Atau pada diri akhwat, bila tak meningkatkan imunitas saat masa-masa penanaman ideology di kampus aka nada kemuungkinan misalnya, semakin memperkecil atau memendekkan jilbab yang dipakainya.
Oleh karenanya, penting dibangun sebuah imunitas dalam diri seorang aktivis dakwah, agar kapan dan dimanapun ia berada, ia tetap bisa mewarnai lingkungan, bukan terwarnai oleh lingkungannya. Yakhtalitu walakin yatamayyazun. Seorang kader bisa mewarnai bukan terwarnai. Kadang ada diantara kita yang sudah terlanjur merasa nyaman dengan lingkungannya, sehingga ketika memasuki dunia baru yang mungkin bertolak belakang, ia tak mampu menjaga keistiqomahannya seperti dalam lingkungan yang homogen tadi.
Akan tetapi, jangan sampai kita cukup berhenti dalam lingkungan steril itu. Karena, mau tidak mau, suatu saat kita pasti akan dihadapkan pada sebuah lingkungan dimana tingkat heterogenitasnya tinggi. Orang-orang dengan berbagai karakter dan worldview yang berbeda akan membaur membentuk suatu komunitas baru yang mungkin termasuk kita di dalamnya.
Wallahu A’lam bish showwab
…
Sleman, 1 Juni 2012
Jum’at Mubarak
Komentar Terbaru