mengobati kegalauan dengan silaturahim


Kalau ada dua agenda yang sangat penting berada pada waktu yang sama, memang pasti salah satu harus dikorbankan. Yang satu menuntut ilmu, sedangkan yang satu lagi menjalin silaturahim. Dua-duanya punya keutamaan masing-masing.

Kemarin sore adalah dilema, dimana ahad sore biasanya kan acara ‘wajib’ buat dateng kajian manhaj di Mardliyyah, apalagi materinya cukup menarik, yang mendatangkan penulis buku Paradigma Baru Dakwah Kampus. Sedangkan di tempat lain ada yang mau saya kunjungi tapi diantara 7 hari itu, beliau kosongnya cuma ahad sore. Nah, setelah saya pikir-pikir, kajian manhaj kan biasanya ada rekamannya, sedangkan siaturahim itu yang kudu ketemu langsung sama yang di-silaturahim-i. Akhirnya, berangkatlah saya bertiga dengan temen2 yang juga sebenernya mau ikut kajian manhaj.

Dengan berbekal petunjuk lewat sms, dan buta jalan. (krn belum pernah ke rumah dosen tersebut) alhamdulillah kami langsung sampe ke tempat.

Btw, dosen yang saya kunjungi ini bukan dosen biasa lho. Beliau ini dosen muda, aktivis, udah dapt gelar doktor, penelitiannya dimana-mana, alumni jepang, ustadz pula… Hmm, jadi iri ngeliatya. Apalagi punya 3 prajurit yang sholeh-sholehah.

Waktu saya tanya ke anak paling kecilnya,

“taqih, kalau besar nanti mau jadi apa?” (ini kayak lagu susan ya.. hehe)

“taqih mau jadi pak ustadz, masinis, penjual ikan, sama dokter.” (agak bingung juga, gimana jadinya ya)


Nah, keren banget kan ni anak, umurnya baru 3 tahun, tapi udah punya cita-cita sedemikian rigidnya. Dan menempatkan ‘profesi’ Pak Ustadz sebagai cita-cita pertamanya.

Balik lagi ke sosok dosen saya tadi. Beliau ini, sempat kuliah S1 di Fisika UGM, lanjut ke S2 juga masih di UGM. Namun akhirnya beliau mendapat beasiswa dari inpex jepang, sehingga harus ngulang lagi S2 nya di Jepang (ngambil jurusan teknik kimia), trus ngambil gelar doktor di Teknik elektro. beuh, lengkap banget kan?

Memang agak langka, dan sangat langka menurut saya untuk menemukan sosok lain di kampus ini dimana karakter ustadz, dosen, ilmuan, aktivis yang menyatu dalam satu sosok itu.

Ternyata bener, silaturahim itu memperpanjang usia, menambah rezeki. Setidaknya mengenyangkan perut. Hehe. Dengan suguhan masakan ala jepang, piring gelas yang bau-bau jepang trus malem-malem makan shoba (sejenis mie) di gubuk yang ala jepang juga. Plus ditambah ilmu yang didapet, rasanya pengen tiap pekan ke rumahnya untuk membicarakan terkait Dakwah ‘ini’. Sampe-sampe ada yang temen yg gak bisa dateng bilang,

“waa… iri..iri.. pokoknya harus ada lagi yg kyk gitu, HARUS. mupeng berat T.T” 

hehe, siapa suruh gak dateng.

Anyway, pertemuan kemarin cukup mencerahkan saya yang tengah dilanda kegalauan di jalan ‘ini’. Bahwa ‘kita’ mungkin saat ini dipandang sebelah mata, di-anaktirikan, diberikan ‘sisa’, dituntut ini itu bla bla bla. Biarkan itu berlalu. Tetap saja bekerja untuk Indonesia. Dengan, atau tanpa dipedulikan oleh siapapun.

About jupri supriadi

unzhur maa qaalaa walaa tanzhur man qaalaa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: