Manja #2: Sebab-akibat
Adakalanya saya merasa begitu sulit membedakan antara mana yang merupakan sebab dan mana yang merupakan akibat. Keduanya terkadang memiliki peran ganda. Ada saat dimana sebab berubah makna menjadi akibat, atau di saat yang lain akibat berperan menjadi sebab. Ahh.. mungkin hanya diri saya saja yang tak mampu membacanya.
Sesuai ritme perputaran waktu, kedua kata tersebut memenuhi ruang-ruang pikiran hingga sulit untuk diketemukan titik awal permulaannya. Saya pun tak tahu apakah sebenarnya ada yang namanya ‘karma’, yang menjadi sebab terjadinya suatu peristiwa lain. Allahu a’lam. Masih begitu rendah pemahaman saya, layaknya kesulitan dalam menjawab sebuah pertanyaan retoris antara ayam dan telur. Siklusnya hendak dicari dan terus dipertanyakan permulaannya.
“Sebab”… mungkinkah itu yang pertama kali terjadi? Ataukah munculnya sebab ini karena akibat dari sebab-sebab yang lain? makin lieur? Saya juga…
Bukankah memang dalam hidup ini selalu ada saja sebab-akibat. Misalkan, ada sebuah ungkapan.. Seseorang yang tidak menghargai tidak akan dihargai. Si A tidak menghargai si B lantaran si B tidak menghargai si A. Namun si B berdalih perilakunya tersebut disebabkan karena si A duluan yang tidak menghargai si B.
Ada siklus lingkaran setan yang akan terus berputar kalau kita terus mencari-cari penyebabnya ketika masalah itu hanya disempitkan sebagai sebuah hubungan sebab-akibat saja.
Adapula satu kondisi dimana si X enggan merespon setiap undangan si Y, dengan dalih bahwa ketika si X mengajak si Y, si Y itu tak pernah merespon dengan baik. Akhirnya untuk kemudian terus berulang kembali dan begitu seterusnya.
Ketika ada adek-adek susah digerakkan, coba tanyakan lagi apakah dulu ketika status sang ‘kakak’ menjadi adek itu juga mudah digerakkan oleh kakaknya yang lain?
Ketika mengajak adek ikut acara XYZ begitu sulit, coba tanyakan lagi saat dulu ketika status sang ‘kakak’ sebagai adek itu juga malas menghadiri acara XYZ yang diajak oleh ‘kakak’ kita yang lain?
Ketika seseorang enggan membalas sms yang kita kirimkan, coba cek lagi apakah kita yang memulai duluan mengabaikan sms-sms darinya?
“Karma”.. Allah a’lam… lagi-lagi saya tak begitu mengerti apakah sebenarnya ‘karma’ itu ada atau tidak.
Seharusnya memang tak perlu ‘balas dendam’.. dengan mengatakan,
“dulu saya diperlakukan ‘begitu’, maka sekarang saya akan memperlakukan ‘begitu’ pula.”
“dulu setiap saya sms beliau tak pernah dibales, maka sekarang saya tak akan pernah membalas sms beliau pula.”
“dulu… dulu… dan dulu..”
Ketika semua orang berpikiran manja seperti itu, maka takkan ada habisnya, saling melempar tanggung jawab, saling menyalahkan. Sudahlah tak perlu manja lagi. Memang sulit, tapi coba untk teruslah belajar. Membalas keacuhan dengan kepedulian, membalas kesinisan dengan penghargaan, membalas setiap gunjingan dengan doa.
Komentar Terbaru