Dirut “Wardah” masuk 10 besar CEO paling Inovatif di Indonesia
Majalah GATRA memberikan apresiasi bagi Chief Executive Officer (CEO) yang mampu terus menunjukkan kinerja yang positif bagi perusahaan yang dipimpinnya. Apresiasi diberikan melalui penghargaan yang diberikan pada Senin (15/4) malam, di Grand Ball Room, Kempinski, Grand Indonesia, Jakarta dengan tajuk “Penghargaan CEO Inovatif Untuk Negeri”.
Berikut ini adalah daftar lengkap para CEO yang menerima penghargaan dari GATRA:
1. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, Sofyan Basir.
2. Direktur Utama Bank Syariah Mandiri, Yuslam Fauzi.
3. Direktur Utama Bank Jawa Barat dan Banten (BJB), Bien Subiyantoro.
4. Direktur Utama PT Schroders Investment Management Indonesia, Michael Tjoajadi.
5. Direktur Utama PT Pos Indonesia, I Ketut Mardjana.
6. Direktur Utama PT Semen Indonesia, Dwi Soetjipto.
7. Direktur Utama Bulog Mart, Soetarto Alimoeso.
8. Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk, Alwinsyah Lubis.
9. Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk, Milawarma.
10. Direktur Utama PT Paragon Technology & Innovation (Wardah), Nurhayati Subakat.*
11. Direktur Utama Toyota Astra Motor, Jhony Darmawan.
12. Direktur Utama Astra Daihatsu Motor, Sudirman Maman Rusdi.
13. Direktur Utama PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, Riry Syeried Jetta.
14. Direktur Utama, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, Arief Yahya.
15. Direktur Utama Biznet Network, Adi Kusma.
16. Direktur Utama PT Java Prima Kreasi (Big Daddy), Michael Rusli.
17. Direktur Utama PT Lippo Karawaci Tbk, Ketut Budi Wijaya.
18. Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk, Hendri Prio Santoso.
19. Direktur Utama PT Pertamina EP, Syamsu Alam.
20. Direktur Utama PT Elnusa Tbk, Elia Massa Manik.
21. Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, Emirsyah Satar.
22. Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, Ignasius Jonan.
23. Direktur Utama Cipaganti Corporation, Andianto Setiabudi.
sumber: gatra.com
Berikut ini sekilas Profil tentang Ibu Nurhayati Subakat
Dilema #7: Bayang-bayang “kakak”
Setiap generasi punya masa keemasan produktivitas kontribusinya. Berjalannya waktu menghendaki adanya sebuah regenerasi dan pembaharuan. Baik itu regenerasi person maupun pembaharuan sistem. Setiap masa punya orang-orangnya. Setiap masa punya tantangan berbeda. Setiap masa butuh orang-orang yang pemikirannya mampu mendahului masanya. Berpikir lebih jauh ke depan, bukan nostalgia kenangan keemasan yang lalu.
Pun, begitu juga dengan seseorang bernama maha-siswa. Punya limit waktu yang harus ditepati. Terlebih lagi bagi mereka yang memiliki aktifitas padat diluar dari agenda perkuliahan resmi.
Awalnya saya tidak ingin berkicau tentang masalah ini, namun beberapa sms yang masuk dari adek2 beberapa hari yang lalu membuat saya gatal ingin menulis ini.
“Lulus cepat atau lambat itu hak saya. Masing-masing orang kan punya rencana hidupnya sendiri, buat apa toh lulus cepat tapi pada akhirnya belum siap untuk terjun langsung di dunia pasca kampus.”
Mungkin gambaran redaksi di atas sedikit bisa memunculkan pro dan kontra. Yang pro adalah mereka yang saat ini menjadi mahasiswa tingkat akhir sejak beberapa semester, dan yang kontra adalah mahasiswa yang punya prestasi bagus dan lulus cepat. Meskipun saya terhitung sebagai mahasiswa yang telat lulus (4 tahun 2 bulan) namun dalam kesempatan kali ini saya ingin mengambil posisi ‘kontra’ dalam perspektif yang lain. Bukan pada persoalan ‘kuliah’nya akan tetapi pada aktivitas lain diluar agenda kuliah yang sering digeluti oleh para aktifis. Aktif diberbagai lembaga maupun himpunan dan lain sebagainya.
Lama atau tidaknya seorang aktifis di kampus bisa menjadi sebab yang mungkin jarang disadari oleh sebagian orang. Sebagian mungkin menganggap itu adalah betuk heroisme.
“Saya masih ada di kampus untuk menyelesaikan tugas-tugas lembaga yang belum selesai. Saya masih berada di kampus untuk menyelesaikan amanah-amanah yang masih menjadi PR besar.”
Secara sepintas, memang ada heroisme di sana. Berkorban untuk telat lulus, berlama-lama di kampus dan masih menjadi pengurus aktif lembaga. Padahal di sisi lain telah ‘menghambat’ kaderisasi anak-anak muda yang sudah saatnya untuk diberikan kesempatan mengarungi medan kampus yang begitu rumit.
Selama sang ‘kakak’ masih ada di kampus, maka sang ‘adek’ pun akan terhambat perkembangannya. Segala keputusan dan ide-ide yang lebih segar dari sang adek pada akhirnya hanya menjadi usulan yang ditentukan jalan atau tidaknya oleh sang kakak.
Kaderisasi terhambat. Kenapa? Karena “sang kakak” masih mengemban amanah untuk menyelesaikan PR-PR nya, padahal sudah seharusnya tugas-tugas itu diberikan kepada sang adek. Bisa jadi, saat masa-masa keemasan “sang adek” justru ia tidak diberdayakan karena semua tugas yang seharusnya ia jalani, masih menjadi otoritas sang kakak.
Si adek pasti perlu belajar. Tidak mungkin ia hanya berada di kelas 5 terus karena ruang kelas tidak mampu lagi menampung siswa di kelas 6, apalagi masih banyak siswa kelas 6 yang tak kunjung lulus. Begitu juga dengan pendistribusian amanah, jangan karena “sang kakak” masih ada di kampus, lalu semua kewenangan dan kebijakan masih menjadi otoritasnya. Si adek perlu naik kelas. Karena dia sudah saatnya naik kelas. Harus ada kesempatan untuk adek-adek yang lebih muda. Bukan meminta amanah. Tapi mereka perlu belajar…..
*sejujurnya ingin melanjutkan hashtag #puzzle dan mengakhiri #Dilema #Ironi #Manja….
Tasikmalaya, 17 April 2013
Puzzle #3: Insan ke-tiga
“INSAN” …. ini Insan ke-3 yang menjadi bagian dalam kehidupan saya. “Insan” pertama adalah sebuah komunitas kecil yang telah mengantarkan saya menuju “insan” kedua. Dan ternyata, hanya selang setahun setelah meninggalkan “insan” kedua, saya sudah dipertemukan dengan “insan” ke tiga.
Islamisasi Ilmu. Itulah tema yang diberikan oleh penguji kala penilaian lulus atau tidaknya saya menapaki insan ke-3. Berkompetisi dengan orang-orang hebat untuk bisa menempati sebuah asrama di pinggiran kota. Semuanya hebat. Semuanya cerdas. Dan semuanya memiliki kesempatan yang besar untuk bisa lolos. Namun, dalam hati kecil saya masih bertanya, “adakah kesempatan itu akan diberikan pada saya lagi?”
Tepat sepekan sebelumnya, sebuah pertemuan forum keilmuan yang ada di kampus mengambil tema serupa dengan tema yang sedang diujikan kali ini. Entah kebetulan atau tidak. Yang pasti saya meyakini bahwa di setiap guguran daun, hempasan angin dan putaran waktu yang terus bergulir ada kuasaNya yang menjadikan segala sesuatu tunduk mengikuti perintahNya. Kali ini, seolah saya hanya meng-copy paste apa yang didapatkan dari pertemuan pekan lalu itu ke dalam sebuah ujian presentasi terkait tema yang sama. Persis.
Detik berlalu, menit terus melaju. Dan seakan semuanya sudah dipersiapkan dengan teks tertulis yang lengkap. Selesailah momen ujian itu. Bergiliran, satu per satu melakukan hal serupa. Dan saya yakin ke-15 orang yang akhirnya terpilih itu akan mengalami hal serupa, dengan cara dan perantara ilmuNya yang berbeda.
Serba guna dan tahan lama. Kalimat yang selalu teringat dalam hati kami selama 2 tahun berada dalam insan ke-3. Tiap ba’da subuh, sebuah persidangan kecil selalu di agendakan untuk menginterogasi seluruh penghuni asrama. Bertanya seputar kuliah, organisasi, IP, tentang kamar mandi, tentang piring-piring yang berserakan di ruang tamu, tentang televisi, tentang jam malam, tentang bolos kajian bahkan tentang menu makan pagi yang akan disantap setelahnya.
Sebuah cuplikan kata-kata yang tak ada bosannya terucap mendentangkan gendang telinga kami di pagi hari….
Kalian harus selesai dengan diri kalian sendiri…!!!
Tidak peduli apakah itu ketua BEM, ketua KS, ketua SKI, ketua Partai, ketua HM. Tidak peduli itu teknik, tidak peduli itu kedokteran. Semuanya harus selesai dengan diri sendiri. Kalau kalian tak bisa mengatur dan disiplin pada diri sendiri, bagaimana mungkin bisa mengatur dan mengelola orang lain dalam jumlah yang banyak? Apatah lagi bila kalian nanti mengelola negeri ini???
Tasikmalaya, 15 April 2013
22.20 WIB
Puzzle #2: Penjara Suci
Holy Jail… Penjara Suci… Tempat hijrah…
Begitulah para penghuninya menyebut sebuah asrama di kawasan bekas rawa nan gersang itu. Hampir tiap pagi buta, ayat-ayat suci diperdengarkan seluruh pelosok asrama. Bahkan sampai terdengar ke kelas tempat kami belajar sehari-harinya. Pukul empat pagi, bahkan tak jarang lebih awal lagi lantunan ayat suci sudah mulai terdengar masuk ke telinga kami. Meski, tak jarang, bahkan sering kami tak mendengarnya karena menutup pintu rapat-rapat dan menutup telinga berlapis-lapis dengan bantal.. Ahhh…
Iqamat.. Gedoran pintu dan teriakan sang katib menghentakkan seluruh penghuni asrama. “Lima.. Empat… Tiga… Dua… Satu..”
Di penjara suci ini, telat satu hitungan saja, badan ini harus siap-siap ambil posisi pemanasan di pagi buta. Push up. Dan setiap keterlambatan akan terakumulasi poin yang akan dipertanggung jawabkan tiap hari ahad pagi. Satu kali telat… Satu kali lari mengelilingi lapangan sekolah.
Tak jarang, banyak yang kemudian beralasan sakit, pusing, demam, dan lain sebagainya. Alasan-alasan khas anak asrama yang sudah bisa ditebak. Bahkan sang katib ketika mendatangi kamar-kamar mereka seolah sudah bisa memprediksi apa yang akan terucap dari mulut penghuni kamar ini. Membuka pintu, hanya membuka sedikit, dan berkata, “oh iya….”. Itu berlaku kalau katibnya adalah adik kelas yang tak mau berkonflik dengan kakak kelasnya. Lain hal jika si katib ini adalah teman sendiri, apalagi koordinator kedisiplinan asrama, siap-siap saja anda akan diinterogasi dan dipastikan apakah benar-benar sakit atau tidak. Nah, yang lebih parah lagi kalau sampai pembina asrama datang langsung menginspeksi kamar, siap-siap alibi yang rasional untuk beralasan tidak berangkat ke masjid.
Subuh hari, dengan mata masih setengah asa menatap dunia -hehe bagi sebagian orang sih- berduyun-duyun mendatangi masjid. satu dua tiga.. lompatan… sambil berlari. menghindari lirikan pembina yang pasti akan ketahuan kalau shalatnya masbuk. Selesai salam, suara dengkuran bertalu-talu menyaingi gemuruh zikir bersama dan tilawah anak muda. Pemimpin bacaan nas-aluka pun masih tetap berasyik ria menyenandungkan asma-Nya meski banyak dipojok-pojok sudut masjid bergelimpangan manusia yang sudah tak sadarkan diri. Tidur setelah subuh… Ahhhh lagi…
Dengan peci, masih tertancap seadanya dan sarung tak karuan bentuknya, beramai-ramailah langkah kaki menuju kantin asrama. Antri.. bukan satu dua orang… Tapi ratusan orang. Saling melempar loyang, garpu sendok bahkan gelas pun terkadang ikut melayang. Emosi… antrinya kelamaan. Argggh…. akhirnya sebagian kaum adam menerobos masuk ke antrian hawa yang sudah tak lagi banyak antriannya. Maklum, mungkin karena program diet yang sedang ditekuninya, hingga jarang yang ikut antri, hanya menyisakan susu dan roti di kamar tercintanya.
Anak bandel… kamu.. eh kamu juga.. Siapa? saya? Iya… Kamu juga seperti itu kan??? Hmmm… kayaknya nggak deh.. Hayo ngaku aja. Beneran nggak… Ah tak pedulilah, biarlah itu menjadi sekelumit rentetan peistiwa anak-anak yang pernah membagi cintanya di sebagian masa pencarian jati diri. Anak-anak labil yang masih mudah untuk dibentuk dan diubah. Bukan masalah dulu atau sekarang. Dulu kau begini dan begitu. Dulu rajin shaum sunnah ini dan itu. Dulu sering bolos kajian dan apel ini itu.
Bukan…. itu semua masih proses. Saat inilah keampuhan penjara suci itu diuji.. siapa yang masih tetap istiqomah dengan kebaikannya ataupun yang enggan sedikitpun mau berubah….
Tasikmalaya, 15 April 2013
Pukul 09.52 WIB
Puzzle #1: Lingkaran Cinta
LA17… begitu kami menamainya. Sebuah lingkaran kecil yang sudah dirangkai sejak hari-hari pertama masuk kuliah. Pertemuan yang tidak kami rencanakan, namun yang pasti Dia sudah merencanakannya begitu sempurna. Kalau boleh dibilang, lingkaran cinta kami merupakan lingkaran cinta terawet dan terlengkap yang ada di UGM. Sejak semester pertama hingga akhir-akhir masa kuliah kami tetap bersama. Disaat beberapa lingkaran cinta yang lain sudah mengalami perombakan dan penyusutan berkali-kali, namun kelompok kami tetap awet bahkan kemudian beranak pinak. Baru kemudian, menjelang tahun kelima satu-persatu dari mereka mundur teratur… Bukan mundur begitu saja, namun karena ada sebab-sebab tertentu yang mengharuskan mereka ‘mundur’. Karena sudah menikah dan pindah ke kota lain, karena sudah kerja, dan karena beberapa di antara kami sudah menyelesaikan tugas akademik sebagai mahasiswa.
2005 awal, tepatnya ketika memasuki semester kedua SMA, saya mulai berkenalan dengan lingkaran cinta pertama. Berawal dari diskusi biasa, perkenalan hingga keakraban menjadi penyelimut hubungan pertemanan kami, dan dari situlah kemudian lingkaran cinta itu terbentuk.
Lingkaran ini tak lama menghiasi perjalanan hidup, saya sudah harus pergi meninggalkan kota asal untuk merantau menimba ilmu di sekolah yang lain. Tidak jauh memang, namun karena kehidupan berasrama, tidak memungkinkan saya untuk menghadiri lingkaran pekanan yang sudah biasa kami lakukan.
Saya menyadari bahwa bukan seberapa lama kita melakukan proses pembinaan, namun seberapa efektif dan intens proses pembinaan itu kita jalani.
Selama di sekolah baru, tidak ada lingkaran cinta yang serupa memang, namun dari sanalah saya belajar bahwa meningkatkan daya imun itu lebih didahulukan daripada sekedar menjaga sterilitas.
Imunitas seorang kader akan menentukan seberapa kuat ia bisa menjalani beragam tantangan dalam hidupnya. Ketika imunitas rendah, maka ia akan sangat mudah terpengaruh dengan lingkungannya. Namun, bila seseorang sudah membangun imunitas dalam dirinya lalu kemudian dengan terus menjaga sterilitas, maka itu sebaik-baik proses penjagaan diri.
Selama di sekolah baru, memang saya tidak aktif dalam lingkaran cinta, namun justru lingkaran itu sudah terpatri dalam diri saya bahwa membangun lingkaran cinta dalam diri sendiri itu jauh lebih penting.
Dan, saat ini genap sudah 9 tahun saya mengenal lingkaran cinta. Sebuah kurun waktu yang sudah seharusnya saya menjadi lebih baik, namun saya menyadari bahwa masih ada beberapa hal yang menjadi PR terbesar saya untuk memperbaiki diri. Dan lingkaran cinta itulah yang senantiasa menjadi sumber inspirasi dan motivasi dikala ujian keistiqomahan datang bermunculan.
Menunggu lingkaran cinta baru, di tempat baru dengan seorang kawan baru……
Surabaya, 12 April 2013
Pukul 23.07 WIB
Puzzle #0
Teringat beberapa bulan lalu masih menggeluti aktivitas sebagai mahasiswa. November-Desember-Januari-Februari… 4 bulan terakhir dimana saya masih menjalani aktivitas sebagai mahasiswa meskipun statusnya bukan lagi mahasiswa aktif. Rapat hampir tiap hari, dengan agenda dan tempat yang berbeda-beda. Bolak-balik kampus, menghadiri undangan baik sebagai perwakilan lembaga maupun sebagai pembicara. Diskusi -atau lebih tepatnya menerima curhatan dari beberapa adek angkatan- hehe. Kunjungan dosen (MIPA, Peternakan, Teknik, Hukum, Pertanian). Dan sampai pada agenda-agenda perpisahan beberapa lembaga yang pernah mampir ke hati saya.
Kalau bisa dibilang 4 bulan itulah, masa-masa paling berkesan, sekaligus susah untuh dilupakan. Saat-saat terakhir dimana saya harus meninggalkan jogja. Tempat dimana hampir 4,5 tahun menjadi daerah perantauan saya. Tempat dimana banyak hal yang berubah drastis, baik dalam pola pikir maupun perilaku. Tempat dimana saya menyusun rangkaian puzzle-puzzle akademik dan dakwah. Tempat dimana idealisme itu benar-benar bisa diperjuangkan dan dipertahankan. Disinilah tempat yang menjadi saksi, bahwa hijrah adalah salah satu cara untuk memperbaiki diri. Mengubah kebiasaan-kebiasaan lama menjadi aktifitas baru yang lebih produktif serta menjadikan setiap aktifitas itu memiliki nilai lebih dari sekedar rutinitas.
Teman-teman juga pasti akan merasakan nanti bahwa kerinduan dan rasa cinta itu akan semakin nyata kala kita sudah tak lagi bersamanya. Saya rindu jogja, saya cinta ugm dengan segala suka dukanya. Saya cinta kalian yang telah menjadi partner perbaikan diri. Mengubah sesorang yang dulu bukan siapa-siapa… dan sekarang (sebenarnya masih bukan siapa2 juga :D)… tapi saya bersyukur bahwa kehidupan dijogja telah menghentakkan sebagian ‘syaraf-syaraf tidur’ saya.
Hidup 6 bulan di kos, 6 bulan di masjid, 2 tahun di asrama, 2 bulan di tempat KKN, dan 1,5 tahun di kontrakan menjadi pelengkap keseluruhan aktifitas selama di kampus. Dan Allah memberikan kesempatan bagi saya untuk merasakan perbedaan di tempat-tempat tersebut. Men-tarbiyah diri dengan menempatkan saya pada ruang dan waktu yang berbeda.
Lingkaran Cinta… Puzzle pertama yang akan menjadi pembuka penyusunan bingkai kehidupan ini.
#random (entah yang keberapa)
Ucapan “Alhamdulillah” mungkin yang bisa mewakili perasaan saya hari ini.. (dan memang seharusnya tiap hari seperti itu). Bertemu dengan orang-orang hebat, dapet ilmu baru, dapet tmn baru, dapet pengalaman-pengalaman yang sejatianya merupakan puzzle yang masih harus saya rangkai kembali. Meski belum terbentuk untuh, saya meyakini bahwa puzzle-puzzle yang saat ini sedang dirangkai adalah sesuatu yang indah. Insya Allah.
Cirebon, 4 April 2013
Komentar Terbaru