Puzzle #2: Penjara Suci


Holy Jail… Penjara Suci… Tempat hijrah…

Begitulah para penghuninya menyebut sebuah asrama di kawasan bekas rawa nan gersang itu. Hampir tiap  pagi buta, ayat-ayat suci diperdengarkan seluruh pelosok asrama. Bahkan sampai terdengar ke  kelas tempat kami belajar sehari-harinya.  Pukul empat pagi, bahkan tak jarang lebih awal lagi lantunan ayat suci sudah mulai terdengar masuk ke telinga kami. Meski, tak jarang, bahkan sering kami tak mendengarnya karena menutup pintu rapat-rapat dan menutup telinga berlapis-lapis dengan bantal.. Ahhh…

Iqamat.. Gedoran pintu dan teriakan sang katib menghentakkan seluruh penghuni asrama. “Lima.. Empat… Tiga… Dua… Satu..”

Di penjara suci ini, telat satu hitungan saja, badan ini harus siap-siap ambil posisi pemanasan di pagi buta. Push up. Dan setiap keterlambatan akan terakumulasi poin yang akan dipertanggung jawabkan tiap hari ahad pagi. Satu kali telat… Satu kali lari mengelilingi lapangan sekolah.

Tak jarang, banyak yang kemudian beralasan sakit, pusing, demam, dan lain sebagainya. Alasan-alasan khas anak asrama yang sudah bisa ditebak. Bahkan sang katib ketika mendatangi kamar-kamar mereka seolah sudah bisa memprediksi apa yang akan terucap dari mulut penghuni kamar ini. Membuka pintu, hanya membuka sedikit, dan berkata, “oh iya….”. Itu berlaku kalau katibnya adalah adik kelas yang tak mau berkonflik dengan kakak kelasnya. Lain hal jika si katib ini adalah teman sendiri, apalagi koordinator kedisiplinan asrama, siap-siap saja anda akan diinterogasi dan dipastikan apakah benar-benar sakit atau tidak. Nah, yang lebih parah lagi kalau sampai pembina asrama datang langsung menginspeksi kamar, siap-siap alibi yang rasional untuk beralasan tidak berangkat ke masjid.

Subuh hari, dengan mata masih setengah asa menatap dunia -hehe bagi sebagian orang sih- berduyun-duyun mendatangi masjid. satu dua tiga.. lompatan… sambil berlari. menghindari lirikan pembina yang pasti akan ketahuan kalau shalatnya masbuk. Selesai salam, suara dengkuran bertalu-talu menyaingi gemuruh zikir bersama dan tilawah anak muda. Pemimpin bacaan nas-aluka pun masih tetap berasyik ria menyenandungkan asma-Nya meski banyak dipojok-pojok sudut masjid bergelimpangan manusia yang sudah tak sadarkan diri. Tidur setelah subuh… Ahhhh lagi…

Dengan peci, masih tertancap seadanya dan sarung tak karuan bentuknya, beramai-ramailah langkah kaki menuju kantin asrama. Antri.. bukan satu dua orang… Tapi ratusan orang. Saling melempar loyang, garpu sendok bahkan gelas pun terkadang ikut melayang. Emosi… antrinya kelamaan. Argggh…. akhirnya sebagian kaum adam menerobos masuk ke antrian hawa yang sudah tak lagi banyak antriannya. Maklum, mungkin karena program diet yang sedang ditekuninya, hingga jarang yang ikut antri, hanya menyisakan susu dan roti di kamar tercintanya.

Anak bandel… kamu.. eh kamu juga.. Siapa? saya? Iya… Kamu juga seperti itu kan??? Hmmm… kayaknya nggak deh.. Hayo ngaku aja. Beneran nggak… Ah tak pedulilah, biarlah itu menjadi sekelumit rentetan peistiwa anak-anak yang pernah membagi cintanya di sebagian masa pencarian jati diri. Anak-anak labil yang masih mudah untuk dibentuk dan diubah. Bukan masalah dulu atau sekarang. Dulu kau begini dan begitu. Dulu rajin shaum sunnah ini dan itu. Dulu sering bolos kajian dan apel ini itu.

Bukan…. itu semua masih proses. Saat inilah keampuhan penjara suci itu diuji.. siapa yang masih tetap istiqomah dengan kebaikannya ataupun yang enggan sedikitpun mau berubah….

Tasikmalaya, 15 April 2013

Pukul 09.52 WIB

Tag:,

About jupri supriadi

unzhur maa qaalaa walaa tanzhur man qaalaa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: