Bakar #9: Ketika hanya menanti
Tempat persinggahan yang akan kita tempati ini mungkin tak lama lagi akan segera lenyap. Atau bahkan dalam kesegeraan itu nyawa-nyawa kita telah mendahului pergi menghadap Rabb nya. Tanpa kita sadari, sudah banyak waktu yang dihabiskan untuk sekedar mencari harta, untuk sekedar mencari kesenangan, untuk sekedar mencari kepuasan. Lalu dimana ketenangannya, dan… dimana pula letak keberkahannya.
Melewati dunia yang fana ini dengan hanya mengejar isi kenikmatannya, sama saja dengan kita menanti kematian tanpa mempersiapkan bekal. Ada yang harus dibawa. Ada yang harus dipersiapkan untuk menjadi teman saat kita pergi meninggalkan dunia ini.
Dunia adalah tempat persinggahan. Sebentar… dan hanya sebentar itulah kita diberi kesepatan untuk mencari bekal… sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.
Ketika hidup ini hanya menanti ajal, apatah guna nafas yang sudah diberikanNya pada kita? Ada proses yang harus dijalankan selama masa penantian itu. Bukan malah justru terdiam membiarkan roda waktu berputar dan izrail sewaktu-waktu datang menyapa kita.
Lalu.. akankah kita biarkan diri ini hanya sekedar menanti? tanpa ada amal kebaikan yang mengirinya?
9 Ramadhan 1434 H
Serang, 00.50 WIB
#Bakar 4: Cinta sendirilah yang menerangkan cinta
Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas dari pada kata cinta itu sendiri . Makna Cinta tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Cinta merupakan cerminan bagi seseorang yang sedang jatuh cinta untuk mengetahu watak dan kelemah lembutan dirinya dalam citra kekasihnya karena ia tidak jatuh cinta kecuali terhadapa dirinya sendiri (Ibnul Qayyim al Jauziyah)
Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar, namun jika cinta kudatangi, aku jadi malu pada keteranganku sendiri. Meskipun lidahku telah mampu menguraikan, namun tanpa lidah cinta ternyata lebih terang, sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya. Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai pada cinta. Dalam menguraikan cinta, akal berbaring tak berdaya, bagaikan keledai terbaring dalam lumpur. Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan. (Habiburrahman El Shirazy)
Sepertinya cukup untuk tak memperpanjang lagi definisi tentang cinta. Karena cinta itulah yang mampu menerangkan dengan jelas makna cinta itu sendiri.
4 Ramadhan 1434 H
08.57 WIB
#Bakar 3: kehadiranmu adalah cahaya bagi mereka
Bosan… Menyerah… Kalah…
mungkin itu yang hadir di benak sebagian atau segelintir atau bahkan banyak dari kita saat apa yang selama ini sudah diperjuangkan ternyata nihil hasilnya. membuat program kerja agar orang-orang -termasuk diri kita- menjadi baik dengan susah payah mengorbankan waktu luang yang kita miliki namun pada akhirnya seolah tak ada perubahan yang terjadi dari apa yang kita upayakan tersebut.
Bosan… Menyerah… Kalah…
selalu saja ada alasan bagi kita untuk berhenti berjuang. entah karena bisikan setan atau bisikan-bisikan kawan-kawannya yang menjelma wujud menjadi manusia. “sudahlah berhenti saja… apa yang kamu lakukan sia-sia.. “ terhenti dan berbalik arah hingga melenceng jauh, itulah program besar mereka untuk menggelincirkan manusia.
Bosan… Menyerah… Kalah…
tidakkah kalian ingat bahwa ada sososk manusia yang begitu gigih memperjuangkan risalahnya dengan penuh kesabaran, saat orang lain mengejeknya, mencela sebagai orang gila dan menyuruhnya untuk berhenti menyampaikan risalah tersebut, namun ia tetap sabar, tetap tegar bahkan mempertaruhkan nyawa untuk sebuah perjuangan yang telah diembankan kepadanya. dia tak pernah bosan mendoakan ummatnya siang malam, bahkan hingga menjelang wafatnya masih terucap kata-kata indah menyeru ummat yang dicintainya. dia tak pernah menyerah menghadapi ancaman orang-orang yang memusuhinya. justru dengan sabar ia mendo’akan agar suatu saat kaum yang memusuhinya itu menjadi bagian dari penguat perjuangannya. “… aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.” itulah doa beliau kepada orang-orang yang telah menyakitinya.
Buat apa kita menyeru kebaikan, sementara kejahatan masih tetap ada? buat apa kebaikan-kebaikan kita upayakan, sementara disisi lain orang dengan mudah mengkampanyekan kemaksiatan?. belajarlah dari tukang cukur rambut, ia tetap telaten mencukur rambut seseorang meskipun ia yakin rambut itu akan terus tumbuh dan panjang lagi. “supaya terlihat lebih rapi…” begitu ujarnya. dan begitupulalah hidup ini, sepanjang hidup kita kebaikan dan keburukan akan menjadi seteru yang tak pernah berhenti bersaing meluaskan pengaruhnya. bukan berati dengan adanya keburukan yang lebih massif membuat kita berhenti berjuang. “sudahlah tak ada gunanya..” bukan…. bukan itu, namun kehadiran kita di bumi ini untuk menyeru kepada kebaikan agar kehidupan in menjadi lebih baik. “supaya terlihat lebih rapi…”
“Jika engkau merasa segala yang ada di sekelilingmu gelap dan pekat, tidakkah dirimu curiga bahwa engkaulah yang dikirimkan Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka?” – Salim A. Fillah.
3 Ramadhan, 22.30 WIB
#Bakar 2: Menyelesaikan masalah tanpa masalah
Ada satu jargon dari salah satu BUMN yang menurut saya cukup mengena dan menjadi energi postif ketika terus menerus disebarluaskan dan dijadikan prinsip dasar kinerja mereka. “Mengatasi masalah tanpa masalah.” mengajarkan kepada kita untuk bisa keluar dari kungkungan masalah tanpa harus terjebak kembali dalam masalah lain yang bisa saja lebih besar efeknya.
Terkadang salah penyikapan dan keliru dalam pengambilan keputusan bisa mengakibatkan tribulasi masalah akan menggelinding menjadi tumupukan-tumpukan masalah baru yang seharusnya tidak terjadi namun muncul akibat kesalahan kita dalam menyikapinya.
Kunci awal dalam penyelesaian masalah adalah identifikasi masalah itu terlebih dahulu. Seorang dokter misalnya, sebelum ia merekomendasikan resep yang harus di beli dan dikonsumsi oleh si pasien, tentunya dokter tersebut harus mampu mendiagnosa penyakit apa yang sedang di derita oleh pasien tersebut. Apakah termasuk kategori ringan, sedang ataupun berat. Seorang dokter pasti harus berhati-hati melakukan diagnosa atau identifikasi penyakit yang diderita sang pasien. Gejala-gejala yang muncul dikumpulkan dan dianalisis, barulah kemudian sang dokter bisa merekomedasikan obat yang tepat untuk penyembuhan penyakitnya.
Jika di tahap pertama ini gagal. Salah diagnosa. Maka kemungkinan besar obat yang diberikan kepada pasien tidak akan berdampak baik bagi kesembuhan penyakit si pasien, bahkan bisa jadi kesalahan pendiagnosaan ini menjadi sebab munculnya penyakit-penyakit yang lebih berbahaya lagi.
Bicara masalah diagnosa masalah, suatu hari seorang ustadz pernah berkata, “kalau kamu menemukan lantai dalam keadaan basah dan kotor, apa yang akan kamu lakukan?” Tentu pemikiran spontan yang biasa terucap adalah mengepel lantai tersebut sampai kering. “Salah..” ustadz itu pun kemudian menyanggah. “Kalau kalian melihat lantai yang basah, jangan langsung di pel. Coba lihat dulu apakah di sekitar lokasi lantai yang basah itu ada sebab-sebab yang menyebabkan lantainya menjadi basah. Apakah ada genteng yang bocor? Jangan sampai kamu tiap hari selalu membersihkan dan mengeringkan lantai yang basah namun tidak mengetahui penyebab basahnya lantai tersebut. alhasil apa yang kamu lakukan tiap hari hanya menjadi peredam masalah, bukan penyelesaian masalah.”
Kalau kita sudah tahu inti dari masalah tersebut , maka itulah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Bukan pada faktor-faktor turunannya. Bergerak pada faktor-faktor turunan hanya akan menyelesaikan masalah sementara waktu, bahkan bisa jadi akan menimbulkan masalah baru lainnya yang lebih rumit. Fokus pada inti persoalan adalah langkah awal untuk bisa bergerak efektif dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang akan kita hadapi. “Afalaa Tatafakkaruun….”
2 Ramadhan 1434 H
22.35 WIB
#Bakar 1: Marhaban Yaa Ramadhan
Alhamdulillah.. kata pertama yang wajib untuk diucapkan saat diri ini kembali diizinkan untuk bertemu dengan tamu agung nan istimewa… Ramadhan.
ini puasa yang ke-18 saya sejak lahir… dibawah 5 tahun lupa puasa atau nggak 🙂 tapi intinya udah berkali-kali ramadhan saya ikuti dan semuanya memiliki kenangan tersendiri.
Ramadhan kali ini merupakan ramadhan pertama saya dengan status bukan sebagai pelajar atau mahasiswa (namun bila diizinkan nanti bisa menyandang gelar mahasiswa lagi, hehe). Beda.. Jelas bedanya.. Apalagi membandingkan 4 ramadhan sebelumnya dengan kali ini. Saat-saat ramadhan dipenuhi dengan aktifitas kampus dan ritual khusus PPT ala mahasiswa 😀 kini berganti dengan kesibukan lain dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Lalu target-target yang sudah dicapai apa saja? hmm ngelus-ngelus dada….
kalau kita bicara perubahan, maka perubahan yang diupayakan itu adalah perbaikan. Bukan stagnansi atau kemunduran. Kalau ramadhan tahun lalu hanya bisa khatam 30 juz. tahun ini tak boleh sama jumlah khatamannya. Harus ada pembeda yang membuat amalan kita meningkat, misal khatam 30 juz plus hafal 3 juz. nah ini baru beda… atau kalau tahun lalu sudah tercapai, ditingkatin lagi targetntya, khatam 30 juz, hafal 3 juz, khatam terjemah.. dan begitu seterusnya.
Kalau dengan berubahnya waktu dan bertambahnya usia target ramadhan kita sama-sama saja, rugi dong kita. Umur udah kepala 2, tapi target cuma khatam 1 juz tok. woooiii *neriakin diri sendiri*
Jangan mau kalah sama waktu, dia terus bergerak mengubah setiap detik demi detik namun mampu merubah bilangan hari bulan dan tahun.
Bukan status mahasiswa atau bukan mahasiswa yang membuat ramadhan kali ini beda. bukan… status itu nggak terlalu penting. Setiap manusia pasti punya limit waktu pada satu fase, setelah itu dia harus pindah ke fase selanjutnya. yang penting adalah ramadhan kali ini harus… harus…. lebih baik dari ramadhan sebelumnya. nggak boleh sama aja atau bahkan menurunkan target dengan alasan kerja, dengan alasan “dulu kan lingkungan mendukung”, dengan alasan “dulu kan banyak kajian…”, dengan alasan “dulu kan masih mahasiswa enak klo mau ini mau itu..” dan beribu alasan lainnya. kalau ada alasan-alasan pembelaan diri yang membuat kualitas ramadhamu menurun… BAKAR!!!!
1 Ramadhan 1434 H
00.30 WIB
Kita akan di uji pada titik terlemah kita….
Kita akan di uji pada titik terlemah kita…
Di setiap daya dan kekuatan manusia pasti ada celah yang bisa menembus titik terlemahnya.
Di setiap kelebihan dan keunggulan manusia akan akan sisi dimana titik-titik yang menjadi mangsa siap untuk menggerogoti kehebatannya.
Kita akan di uji pada titik terlemah kita…
Beda karakter, beda posisi, beda usia beda jabatan… namun semuanya pasti akan diuji.
Di uji pada titik terlemahnya.
Allah Maha Adil, semuanya akan diuji. Semuanya harus bisa melewati tahapan-tahapan yang sudah Dia rancang.
Di tiap-tingkatan dan tahapan berbeda kualifikasinya. Di tiap tingkatan dan tahapan itu pula berbeda tingkat ujian dan kerumitannya.
Seorang alim, jangan dikira tak pernah diuji. atau jangan mengira akan diuji dengan ujian yang selevel orang-orang pada umumnya. Mungkin dia sudah lolos pada tahap ujian kebanyakan orang, tapi ia akan terus menerus di uji sampai tingkatan tertinggi yang bisa ia capai.
Orang kaya berbeda ujiannya dengan yang papa. Mahasiswa berbeda ujiannya dengan mereka yang SD pun tak kelar lulusnya. Ustadz, guru, politisi, pebisnis punya jatah sendiri ujian yang harus ia hadapi. Di sinilah seninya hidup. Kita harus siap dengan diri kita. Kitapun harus tahu dimana titik terlemah kita. Jangan bangga tidak tergoda dengan harta, jangan bangga tidak tergoda dengan tahta, jangan bangga tidak tergoda dengan wanita. Selalu ada celah yang bisa menjerumuskan manusia untuk menjauh dariNya.
Kesabaran adalah kuncinya. Sabar untuk menahan diri dari maksiat. Sabar untuk tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu setan. Sabar untuk terus menerus berada dalam ketaatan pada Allah hingga ajal menjemput. “…Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Al Imran : 146)
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya : Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.” (QS. Al Baqarah : 214)
Bekasi, 29 Sya’ban 1434 H
00.05 WIB
Komentar Terbaru