Archive | Agustus 2013

Download Rekaman Kajian Rutin Pagi Hari (KRPH) Masjid Mardliyyah Kampus UGM- lanjutan


setelah tertunda sekian lama di postingan sebelumnya , berikut ini list rekaman kajian rutin pagi hari yang ada di hardisk saya. semoga bermanfaat.

Gambar

Teladan Mulia Para Pemimpin Masa Lalu (oleh: Ust. Ahmad Arif Rif’an ) Download

Mencari Ketenangan di balik beratnya Ujian Hidup (oleh: Ust. Syatori Abdurrauf)  Download

Do’a Agar Amal Tidak Sia-sia (oleh: Ust. Syafii Masykur) Download

Sholat Sebagai Barometer Manajemen Waktu (oleh: Ust. Basuki Abdurrahman) Download

Jihad dan Dakwah, Menjadi Aktifis setelah menikah. (oleh: ust. Salim A. Fillah) Download

Tafsir Surah Al Muzzammil 1-10 (oleh: Ust. Natsir Harits, Lc) Download

Ketika Ta’aruf Menjadi Kendala (oleh: Ust. Fadli Reza Noor) Download

Merajut Ukhuwah untuk Kemenangan Dakwah (ust. Abdullah Sunono) Download

Menjadi Ruhul Jadiid di hati ummat dengan Alqur’an (oleh: Ust. Ulin Nuha al Hafidz) Download

Hadits Arba’in ke-40. Gunakan Sehatmu sebelum sakitmu dan Hidupmu sebelum matimu (oleh: ust. Solihun) Download

Menghadirkan Rasulullah dalam kehidupan kita. (oleh: Ust. Didik Purwodarsono) Download

Kiat Sukses Menjadi Hafidz dan Hafidzoh (oleh Ust. Ulin Nuha al Hafidz) Download

Catatan Akhir Pekan #1


Hmm.. ternyata bulan ini harus membagi waktu akhir pekan untuk agenda-agenda “reunian”. Ada banyak undangan yang datang, entah itu dari teman kampus, maupun teman-teman SMA. Meski, Sebagian besar dari mereka sudah tak pernah bertemu saya lagi hampir setahun bahkan sudah ada yang sejak lulus SMA belum pernah ketemuan lagi.

Pernikahan. Itulah undangan terbanyak yang datang kepada saya. (ya iyalah masa ada juga undangan khitanan yang nyasar). Ya kali aja ada undangan yang lain, undangan wisuda, undangan seminar apa kek. 🙂

Tapi bersyukur, ternyata mereka adalah orang-orang hebat yang sudah siap untuk memasuki jenjang kehidupan yang kalau kata Hasan Al Banna, memasuki tahap binaul usrah. Sedangkan kita, (eh saya ding) masih pada tahap islahun nafs.. itupun belum kelar-kelar 😦

Mereka sudah selesai pada tahap pertama dan siap mengemban amanah untuk menyempurnakan separuh lagi diennya. Begitu besar keutamaan menikah hingga Rasullah mengatakan bahwa menikah itu separuh agama. Woow.. berarti saya belum separuh-separuhnya acan 😦

Memang benar kata orang. Masa muda adalah masa dimana seseorang itu bagaikan raja, namun jika ia terlalu lama melewati masa muda dengan membujang, ia menjadi seorang hamba yang patut dikasihani. Begitupun sebaliknya, ketika seseorang menikah, ia seolah menjadi budak pada awal pernikahannnya, menjadi tidak bebas hidupnya. Namun lambat laut ia akan merasa diperlakukan bak raja atau ratu oleh pasangannya. Tidak lagi merasa kesepian dan kepedihan yang berlarut karena ada seseorang yang setia mendampingi dan menjadi sandaran hatinya.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Ada 3 golongan yang pasti ditolong Allah, yaitu budak mukatab (budak yang ingin memerdekakan diri dengan cara bekerja keras) yang ingin melunasi hutangnya, orang yang menikah demi menjaga diri dari perbuatan maksiat, dan para pejuang di jalan Allah. “ (HR. Tirmidzi, Masa’i dan Ibnu Majah)

Alangkah agung hadits di atas yang telah menyetarakan pernikahan dengan berjuang di jalan Allah dan memerdekakan budak. Nah, terus bagi mereka yang belum mampu atau belum siap (mereka??? :D) silahkan baca hadits berikut ini:

Wahai Kaum muda, barangsiapa diantara kalian punya kemampuan untuk menikah maka menikahlah. Karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan kalian. Sedangkan barangsiapa belum mampu maka hendaknya ia berpuasa, dan puasa itu adalah perisai baginya. (HR. Bukhari Muslim)

Yup, begitulah cara Allah menjaga hambanya agar tidak terjerumus pada kemaksiatan. Bagi mereka yang belum yakin sesegera mungkin maka dianjurkan untuk berpuasa. Bukankah puasa itu indah pada saat berbuka nanti? 🙂

Kenapa kita harus menjaga diri?

Karena seseorang yang mampu menjaga kesucian sampai memasuki jenjang pernikahan akan menghormati istrinya sebagai teman hidupnya, sebagai ibu dari anak-anaknya. Ia akan melihat cinta sebagai anugerah yang abadi. Di lain pihak, sang istri memandang kesucian ini sebagai tanda keikhlasan sehingga ia selalu bergantung dan setia kepada suaminya hingga akhir hayat.

Terakhir, sebuah penutup dari Ibnu mas’ud: sekalipun usiaku tinggal 10 hari, aku lebih suka menikah agar diriku tidak membujang ketika bertemu Allah. #uhukkk

Kota Sarang Pejuang

Bekasi, 17 Agustus 2013

Merdeka!!!!

Pesan Terakhir Untuk Rembulan


Rembulannya begitu indah. Ia meninggi di atas sana. Kata para astronot butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menjejakkan kaki di sana. Paling tidak harus bisa melewati lapisan atmosfer super panas dan bertarung dalam perjalanan menghindari serpihan-serpihan meteor yang sewaktu-waktu bisa mengancam.

Tapi, kini kulihat rembulan indah itu ada di sebuah sudut kolam, sama indahnya. Dan kupikir, aku tak seperti astronot penjelajah bulan yang harus mempersiapkan ini-itu untuk bisa mendekatinya. Ternyata rembulan itu datang meghampiri. Lama-lama ia semakin tampak indah, ditemani sekawanan gemintang yang kerlip cahayanya mengelilingi sang rembulan. Aku hampiri, rembulan itu mulai bergetar. Semakin dekat, kucoba menyentuhnya di atas riak permukaan. Getarannya semakin besar. Cintakah ia?

Dan, tiba-tiba ketika aku mulai menyentuhnya, sang rembulan bergetar hebat, gelombang air kemudian merusak bentuknya, tak lagi bulat, tak lagi indah. Bentukya tak lagi berarturan. Marahakan ia?….

Ternyata keinginanku untuk mendekati sang rembulan ternyata justru merusak dirinya. Lalu kubiarkan ia kembali ke wujud semula. Menjadi bulat, indah dan bersinar kembali menghiasi permukaan kolam.

“Sejak saat itu, kuputuskan untuk mencintai rembulan dari kejauhan saja, tanpa mendekatinya. Biarlah ia tetap bersinar dan tak terluka oleh kehadiran kita. Biarlah kita merindunya, ia akan selalu datang menyapa menghiasi langit bumi dikala gulitanya.”

Bayangan? itu semu. Tak perlu kita perlu berharap pada segala sesuatu yang semu dan fana. Ia akan hilang seketika. Mencintai bayangan berarti mencintai ke-semu-an, dan berharap pada sesuatu yang tak pasti. Karenanya, meminta, mencinta, berharap dan mendekatlah pada Yang Maha Abadi.

 

 

Kemang, 7 Syawwal 1434 H

Pesan Cinta Katak Pada Rembulan


Dahulu kala, ada seekor katak yang senantiasa memandangi indahnya rembulan. Tiap malam, bahkan dalam rintik hujan pun, sang katak selalu setia menunggu kehadiran rembulan. Gelisah rasa sang katak ketika tak ditemuinya rembulan utuh, hanya sebagian bahkan sebagian kecil saja.

Tiap malam, mereka bercengkerama, hingga pada suatu ketika rembulan hadir mendekati sang katak. Ia yang dulu hanya ditatapnya dari kejauhan, hadir lebih dekat. Bahkan dekat sekali. Sang katak tak menduga sebelumnya. Rembulan terlihat begitu indah di dekatnya. Di atas kolam tempatnya biasa berenang.

Katak yang semula ada di pinggir kolam, mulai mendekati rembulan. Bergetarlah bulatan sempurnanya. Ia menjawab cinta sang katak? Ah, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Katak kemudian mendekat lagi, ia ingin menyentuh rembulan yang dicintainya. Getaranpun semakin hebat. Terjawabkah cintanya? Belum… Sampai suatu saat katak hendak melompat langsung ke tengah-tengah kolam untuk mendekati rembulan. Tanpa dinyana, hancurlah bentuk rembulan itu. Tak bulat utuh.

Katakpun menyesal, bahwa cintanya pada rembulan seharusnya hanya tersampaikan dari jauh saja. Semakin mendekat, ia justru semakin merusak sang rembulan.

Ya, cukup dari jauh saja…

Pesanggrahan-Jakarta, 6 Syawwal 1434 H

Pesan Cinta Laut Pada Sang Langit


Laut memendam cinta terdalam pada langit. Ia begitu mencintai langit hingga dirinya pun berusaha serupa dengan warnanya. Saat langit berwarna biru, dengan pengorbanan cinta sang laut ia merubah warnanya menjadi biru. Di malam hari saat langit gelap dan hitam pekat, laut pun terlihat gelap. Ia berusaha menunjukkan cintanya pada langit. Membuktikan bahwa ada rasa yang dimilikanya. Ia seolah ingin menarik perhatian langit. Namun, dia masih malu-malu.

Tanpa dikira, hal itu juga terjadi pada langit. Diam-diam… ia selalu memandangi laut, tiap hari bahkan  dalam sepi malam pun, langit tak pernah absen memandanginya.

Suatu ketika, kala senja datang, laut memberanikan diri mengutarakan cintanya pada langit. Ia membisik dengan kelembutan, “aku mencintaimu”… Setiap kali mendengar bisikan dari kejauhan itu, wajah langit berubah kemerah-merahan. Indah sekali. Merah saganya hanya sebentar. Ia pun tersipu malu, lalu menutup wajahnya hingga hanya terlihat bintang gemintang berkilauan. Begitu seterusnya, hingga perasaan cinta tumbuh di antara keduanya.

Di lain hari, datanglah pihak ketiga. Awan mendekati langit. Begitu melihat kecantikannya, seketika itu pula awan jatuh hati padanya. Namun sayang, langit sudah menetapkan hati untuk hanya mencintai laut. Sebab, ialah yang pertama kali menyapa langit saat pagi dan petang hari.

Ditolak. Awan pun sedih. Ia mencari berbagai cara agar laut tak lagi menatap langit dan begitu pula langit tak bisa memandangi laut. Ia menghalangi, berupaya agar cinta langit tertuju padanya. Di setiap sela-sela bisikan cinta laut dan langit, awan menyusup diantara keduanya. Ia mengumpulkan tenaga untuk mengembangkan diri. Membesarkan bentuknya agar penghalang antara langit dan laut semakin besar. Agar langit dan laut tak bisa lagi saling memberi warna.

Laut marah. Emosi,,, karena cintanya pada langit terhalang oleh sang awan. Ia berusaha mengusir awan. Menggelontorkan deburan-deburan ombak. Memecah karang-karang. Agar semuanya tahu, bahwa ia begitu tersiksa tanpa kehadiran langit yang dicintainya. Namun, segala upaya belum berhasil.

Sahabat sejati laut, angin, yang biasa membantunya mengarahkan deburan ombak pun tak tinggal diam. Ia merasa bahwa awan sudah keterlaluan. Menggganggu hubungan cinta laut dan langit. Akhirnya, angin pun meniupkan tenaga sekencang-kencangnya ke awan agar ia segara hilang dan tidak lagi menghalangi cinta laut dan langit. Awan pun akhirnya tercera-berai. Gumpalannya kini sudah mulai mengecil. Satu per satu bahkan menghilang seiring dengan kekecewaannya. Ia sedih, bahwa cintanya tak ditanggapi langit. Deraslah air matanya… membasahi seluruh permukaan bumi.

 Bekasi, 5 Syawwal 1434 H