Archive | Agustus 2020

memenangkan cinta


bukan… ini bukan tentang siapa mengalahkan dan siapa terkalahkan.

tapi bagaimana sebuah cinta diperjuangkan untuk mempertemukan cita-cita, ambisi dan harapan.

ada banyak ekspektasi yang tersembunyi dibalik dua insan yang ingin bersatu. melebur mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga bersama.

namun, dalam realitanya mungkin ada riak-riak yang mengganggu perjalanan. ada beda visi yang mesti diluruskan, ada beda misi yang perlu di persatukan. karena pada hakikatnya, pernikahan bukan sekedar mempertemukan fisik dua manusia, namun juga mempertemukan dua cita, dua harapan, dua sifat dan kebiasaan.

terkadang, ekpektasi dan realita tidak sesuai. mimpi dan kenyataan tak beriringan. cita dan pencapaian tak sejalan. namun, itu semua bukanlah penghalang untuk kita tak berjalan beriringan. cintalah yang telah mempertemukan, dan kepada cinta juga yang harus diperjuangkan.

Tegal.01.09.20 – 05:50

(mencoba) ikhlas


Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

-antara karawang dan bekasi (Chairil Anwar)

ada jalan terjal, panjang, dan sunyi. juga ada jalan indah, singkat dan penuh riuh.

para pahlawan mungkin tak peduli bagaimana sulitnya perjalanan, sakitnya perjuangan. ia hanya memikirkan jalan mana yang akan menyelamatkan ribuan nyawa. sampai lupa berapa derita, luka yang akan mendera.

bukan tepuk tangan. bukan selebrasi teriakan. bukan pula aneka macam hidangan. secara manusiawi ia butuh, bahkan sangat butuh untuk membangkitkan semangatnya.

tapi jalan kesunyian, pengorbanan, dan cinta yang ia pilih. ia sadar, semua yang tak murni akan mudah hilang. semua yang dibanggakan takkan dibawa pulang.

hanya satu hal yang bisa membuatnya tetap seperti itu. ikhlas

berat? memang

sanggup? tak yakin

tapi ia terus berjalan. sampai catatan kebaikannya dipenuhi dengan kata mencoba. mencoba untuk ikhlas.

Tegal.31.08.20 – 05.30

Jeda


Tak ada jeda antara malam dan senja.

Seperti tak ada jeda antara kau dan do’a

Tegal.30.08.20

festivalisasi


saya termasuk yang kurang begitu menyukai festivalisasi. membangga-banggakan diri atas kerja, karya, hasil yang sebenarnya minim effort.

loh bukannya itu penting untuk mengapresiasi diri?

bukan… bukan itu maksudnya.

apresiasi tetap penting. perlu.

mensyukuri hasil sebagai buah dari usaha dan pertolonganNya.

yang dimaksud festivalisasi disini adalah; membuat kerja kecil nampak seolah besar, menjadikan proses ringan nampak lebih berbobot, melakukan hal biasa nampak luar biasa, di saat yang bersamaan hal tersebut dilakukan untuk menutupi ketidakmampuannya mengerjakan sesuatu yang justru menjadi inti masalahnya.

Tegal.29.08.20

Menyalahkan Orang Lain


salah satu cara yang biasa digunakan oleh sesorang yang sering berbuat salah, adalah dia selalu menyalahkan orang lain.

membuat gemuruh. gaduh. dan segala cara ditempuh.

padahal….

itu hanya untuk menutupi bahwa dia tidak mampu.

~ ada dalam draft yang entah kapan dan dalam kondisi apa ditulis.

W.H.Y


mengapa? apa? bagaimana? berapa? siapa? kapan?

itulah beberapa kata tanya yang sering kita dengar. sebuah tanya untuk mendapat kepuasan atas keingintahuan kita. bahkan, untuk membuat sebuah proposal sederhanapun kita harus memuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. membuat proposal bisnis, skripsi, sampai proposal nikah juga harus disusun sampai menemukan jawaban atas tanda tanya yang dibuat.

dari beberapa jenis pertanyaan tersebut, ada satu yang paling penting untuk terjawab dan menjadi landasan untuk kita melangkah ke tahap-tahap selanjutnya. “mengapa?”

Mengapa? Kata ini menjadi penting untuk dijawab terlebih dahulu karena inilah alasan terkuat bagi kita untuk mengerjakan sesuatu.

Ketika memulai sesuatu tanpa alasan yang jelas, biasanya pekerjaan tersebut akan dijalankan seperti robot, kaku, hanya sekedar rutinitas, tanpa ruh, tanpa nilai, tanpa orientasi mengapa harus dikerjakan.

apakah hanya sekedar taklid, ikut-ikutan, terpaksa, pasrah, atau cari muka?

sering kita melihat banyak dari saudara-saudara kita yang baru masuk diin ini, atau baru hijrah, justru ghirah nya jauh lebih besar, jauh lebih kuat dibandingkan dengan kita yang sudah sejak lahir mengikuti agama orang tua, Islam KTP. Karena mereka paham mengapa harus memeluk islam, mengapa harus menyembah Allah, mengapa harus ibadah ini itu, dan lain sebagainya.

bukan sekedar masuk sekolah madrasah, ikut TPA, lanjut pesantren, tapi semua terpaksa. tanpa penjelasan dan pemahaman yang kuat.

alhasil, pelajaran-pelajaran agama hanya sambil lalu saja, mengisi otak tanpa masuk ke hati, dan berbuah menjadi akhlak.

karena itulah, al fahmu menjadi penting. paham terhadap semua yang dikerjakannya. lurus niatnya. kuat landasannya. kokoh semangatnya, dan jelas orientasinya.

dalam beberapa aspek, saya menyadari banyak sekali aktivitas yang dulu dikerjakan tanpa pemahaman, mengapa harus belajar ini, mengapa harus mengerti itu. semua hanya diikuti untuk mengejar sebuah titel, juara kelas. lalu setelah itu? …….

perlu waktu bertahun-tahun untuk menyadari dan menemukan “why factor” dari segala aktivitas kita dimasa lalu. belajar sejarah misalnya, dulu kita menghafal tahun-tahun dimana perang ini itu terjadi, siapa tokohnya, dimana lokasinya, tahun berapa kejadiannya. lalu? tidak memberikan dampak signifikan bagi kita dalam membaca peristiwa di balik sejarah tersebut. apa maknanya, ibroh apa yang bisa dipetik, dan keterkaitannya dengan rangkaian peristiwa yang terjadi.

kalau seandainya sebelum belajar sejarah tersebut, kita sudah mengetahui “mengapa” harus belajar sejarah, rasanya akan jauh lebih mudah memahami tanpa perlu banyak menghafal. pun begitu juga dengan pelajaran-pelajaran lainnya.

sebuah aktivitas tanpa diawali dengan niat yang benar, maka setiap langkah yang dilalui terasa hampa, hanya mengikuti jejak waktu dalam lorong-lorong peristiwa yang tak bisa dikendalikan.

karena itu, mulailah sesuatu dengan pemahaman yang utuh, mengapa harus dikerjakan, mengapa dengan langkah ini, mengapa bukan dengan cara itu, dan seterusnya.

pun begitu juga, jika ingin memberikan statemen, kebijakan, arahan, berilah pemahaman kepada yang kita tuju, agar mereka memahami dengan utuh mengapa hal tersebut harus dilakukan. Jika ada yang bertanya, mengoreksi, sebenarnya itu bukan sikap skeptis, tapi itu adalah proses untuk menemukan ghirah yang kuat untuk menjalankannya.

Tegal.28.08.20