bias kebertahanan

Pada era perang Dunia kedua, Abraham Wald seorang matematikawan asal Hungaria ditugaskan oleh militer U.S untuk menganalis dampak kerusakan pesawat tempur selama perang. Wald terusir dari Hungaria saat invasi Nazi ke daerah tersebut, lalu ia mendedikasikan keilmuannya untuk membantu U.S melawat tentara sekutu Jerman. ia diminta untuk memberikan rekomendasi perbaikan agar pesawat-pesawat tempur U.S lebih handal saat tertembak peluru musuh.

Pada awalnya militer berkesimpulan bahwa pada bagian pesawat yang sering tertembak itulah yang perlu diberikan lapisan pelindung agar bisa menahan serangan peluru. Namun, Wald Bersama timnya dari Columbia University, New York kemudian membantah kesimpulan tersebut.
Menurutnya, logika yang dipakai oleh militer sebelumnya didasarkan pada observasi atas pesawat-pesawat yang tertembak dan kembali ke markas militer. Lalu bagaimana dengan pesawat yang tidak kembali? Pesawat yang diobservasi adalah pesawat yang kembali dengan selamat, itu berarti dengan ditembak pada bagian tersebut, tidak berpengaruh pada stabilitas pesawat. Wald berkesimpulan, justru pelindung/armor yang perlu ditambahkan adalah pada lokasi yang tidak terkena tembakan. Yaitu bagian mesin.
Kesalahan logika umum yang dibantah oleh Wald inilah yang kemudian dikenal dengan nama survivorship bias atau bias kebertahanan. Survivorship bias adalah kesalahan logika berpikir dimana seseorang hanya mengambil kesimpulan singkat atas sampel sampel yang dinilai berhasil dan pada saat yang bersamaan mengabaikan sampel gagal.
Sebagai contoh lain, ketika ada 2 anak berprestasi disebuah sekolah lalu pihak sekolah mempublikasikan secara massive kehebatan 2 anak tersebut – padahal ada ratusan siswa lain yang prestasinya dibawah rata-rata -, maka publik yang menilai akan beranggapan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah yang berprestasi. Orang akan percaya bahwa sekolah tersebut memberikan pelayanan pendidikan yang luar biasa baik.
Dalam bidang keuangan misalnya, studi tentang kinerja perusahaan hanya didasarkan pada perusahan-perusahaan yang masih ada (masih bertahan), tanpa menyentuh studi terhadap perusahaan yang sudah bangkrut/gulung tikar. Sehingga data yang diperoleh memiliki tendensi terhadap keberhasilan suatu perusahaan untuk bertahan, bukan pada sebab-sebab perusahaan gagal.
Bias kebertahanan ini menjadi salah satu pengingat bagi kita agar tidak mudah men-judge sebuah peristiwa atas yang nampaknya saja. Seringkali bias kebertahanan ini membuat kita sering terlena akan “keberhasilan yang dipublikasikan” tanpa mengetahui seberapa banyak faktor-faktor kegagalan yang telah berhasil diselesaikan permasalahannya.
#CatatanAkhirPekan
Komentar Terbaru