Selamat Milad IC yang ke-18
Foto di ambil dari fb pak Away Tampak dalam gambar, suasana milad yang amat sangat sederhana sekali, Dr. Suwardi menyerahkan sejumput nasi tumpeng kepada Bu Persahini Sidik…
kalau lihat mereka jadi ingin kembali merasakan indahnya masa-masa SMA #eh MAN 🙂
jam 04.30-05.00: shalat subuh + asmaul husna + tilawah. Hitungan poin 4 dimulai….. petugas keliling kamar mencari siapa saja yg ngumpet di lemari, di balkon, di kolong tempat tidur atau bahkan yang pura-pura sakit.
jam 05.00-06.00: antri di kantin + makan + mandi atau pola siswa tipe ke-2 : mandi +antri di kantin +makan
jam 06.00-06.30: beres-beres kamar (tapi jarang deh)
jam 06.30: panggilan apel menggema….. poin 4 kembali menghantui.
jam 06.45: udah rapi baris per angkatan. yang cowok di depan gedung F, yang cewek samping kantin. biasanya ada pengumuman kamar terbersih dan terkotor. kalau pas kyk gini biasanya apel digabung cewek-cowok biar yg cowok pada malu pas namanya dipanggil 🙂
jam 06.50: pemberangkatan di mulai, kejar-kejaran antara barisan cewek dan cowok. siapa cepat masuk kelas dia yang bebas pilih kursi. yang cowok lewat jalur timur, cewek lewat jalur barat.
jam 07.00-07.15: tilawah
jam 07.15-09.30: hening
jam 09.30-10.00: istirahat, ada yang ke perpus, ke kantin, ke masjid, ke poliklinik sekedar ngukur berat dan mengoleksi vitamin C dan…… ke asrama (yang ini terlarang sebenarnya)
jam 10.00-12.00: hening
jam 12.00-12.30: sholat zuhur + tausiyah + diiringi dengan dengkuran siang hari
jam 12.30-13.00: antri di kantin + makan siang (plus ada lempar-lemparan gelas dan sendok). duduk satu meja dengan sesama anak gurah. satu gurah (guru asuh) ada sekitar 10 orang
jam 13.00-15.30: hening
jam 15.30: sholat ashar
jam 16.00-18.00: pilihan (rapat acara+basket+bola+perpus+kantin+suplemen), tapi kalau udah kelas XII pilihannya cuma 1: PEMANTAPAN
jam 18.00: shalat maghrib + asmaul husna +tilawah.
jam 18.30-19.30: antri di kantin + makan malam
jam 19.30: shalat isya
jam 20.00: Muhadhoroh, Kajian Tematik, BINTEK, pelajaran tambahan, ngerjain PR dan lain-lain
jam 22.00: kehidupan asrama yg sebenarnya di mulai 😀
——————————————————————————–
BlackForest Jam 3 Pagi…
“ri, bangun….. bangun….. bangun…”
Seperti suara dalam mimpi saja, seseorang menggoyang-goyangkan tempat tidurku dalam kegelapan. Lampu kamar saat itu masih dimatikan, tapi entah suara itu datang dari arah mana. Lama berselang, ternyata suara itu tak hanya menggoyang tempat tidurku yang ada di ranjang tingkat, tapi juga menepuk-nepuk pipiku hingga tersadar bahwa ada seseorang yang telah masuk ke dalam kamar.
Ternyata itu putra, stafku di departemen kerohanian OSIS. Ngapain pagi-pagi buta gini dia membangunkanku? Membangunkan sahurkah seperti tugas biasanya? Ah bukan, ini kan hari rabu.
“gawat, gawat…” ia berujar sambil menyilangkan jari jemarinya.
Kutatap dirinya dengan mata yang masih berkunang-kunang. Sepertinya ada sesuatu yang telah terjadi dini hari ini.
“Komputer permadani hilang.”
Sontak, aku langsung tersadar. Mataku yang masih ‘kriyep-kriiyep’ langsung membelalak. Langsung saja kuturun dari ranjang atas.
“yang bener?”
‘iya, tadi gw kan mau ke PERMADANI buat belajar, eh pas gw liat udah gak ada komputernya.”
)|(
Memang akhir-akhir ini sering terjadi pencurian di lingkungan sekolahku. Beberapa hari yang lalu computer-komputer yang ada di lab di bobol maling. Dan mungkin aksi malam mini sang pencuri mengalihkan operasinya ke lingkungan masjid.
Segera saja aku dan putra keluar asrama menuju serambi masjid, tempat PERMADANI itu berada. Dalam perjalanan putra khawatir kalau seandainya departemen kami akan mendapat hukuman dari Pembina asrama. Mengingat komputer itu baru saja diberikan oleh Pembina asrama untuk keperluan pengelolaan masjid dan kegiatan OSIS. Hingga tak jarang teman-teman dari departemen lain juga ikut memanfaatkan komputer itu.
Awalnya, komputer khusus departemen kerohanian itu ditaruh di ruang sekretariat yang berada di samping mimbar utama, tapi karena beberapa hal, dan juga untuk mempermudah akses teman-teman departemen lain untuk menggunakannya, makanya kupindahkan komputer itu di ruang PERMADANI.
Tempatnya memang lebih terbuka bila dibandingkan ruang sekretariat. Meski ruangan PERMADANI terkunci, tapi banyaknya jendela terbuka membuat sipa saja yang lewat sekitar serambi itu pasti akan melihat seisi dalam ruangannya.
)|(
Langkah gontai kami akhirya menuju pada ruangan tempat dimana komputer itu berada. Ruangannya masih gelap, sepertinya kondisi yang gelap itu memudahkan si pencuri untuk melakukan aksinya.
Putra kemudian membuka pintu… dan lampu pun dihidupkan
“tadaaaaaaa.”
Kulihat segerombolan orang tengah duduk melingkar dengan hidangan blackforest di tengah-tengahnya. kulihat di sisi kanan PERMADANI masih ada komputer yang diceritakan putra tadi. Dan kulihat semua orang yang ada di ruangan itu tersenyum tersenyum puas karena telah ngerjain ketua departemennya.
“selamat milad ya ri…selamat milad ya kak”
gRrrrr.. ternyata staf-stafku yang melakukan ini semua. Ngerjain orang saat tengah tertidur pulas, dan menyajikan hidangan blackforest di pagi buta.
Sejenak, aku terduduk di hadapan mereka. Menyampaikan sepatah dua patah kata. Bingung. Antara marah dan bahagia. Marah karena sudah membuat sportjantung, dan bahagia ternyata mereka ingat hari kelahiranku.
Haha surprise untuk hari itu, dan sepertinya itu milad paling berkesan selama ini..
Teruntuk squad Diorama Andalusia 17 , satu kata yang pernah kita tulis di lembaran karton yang kini entah dimana. “PERJUANGAN BARU DIMULAI.”
)* cerita ini hanya fiktif belaka, jikalau ada kesamaan nama dan tempat, yaaa emang kebtulan aja 🙂
Jupri Supriadi (Teknik Fisika UGM)
Roby Dwi Putra (Planologi ITB)
Billqishty Aulia Ardhi Arsya (Teknik Fisika ITB)
Mikail Hamidummajid (Hukum UI)
Rifki Wildan Yoantino (FISIP UI)
Hamida Amalia (SITH ITB)
Nabilah Shabrina (STEI ITB)
Siti Zahra Ni’mah (FK UNS)
Al Urwatul Wutsqo (FK UNPAD)
Ulfah Nurhidayah (Farmasi UI)
Shabrina Adzani Awanies Latief (Psikologi UI)
Bermula di Sini
Bermula di Sini
1996 adalah awal yang tidak akan bisa ditawar-tawar. Fakta absolut. Wujud awal Insan Cendekia berdiri di Serpong, Ciater, Serpong. Wujud Insan Cendekia kedua terlahir di Bone Bolango, Gorontalo, setahun kemudian.
Penuh dinamika. Saling mewarnai. Saling memberi. Saling simpati. Saling empati. Ada nuansa. Ada rasa. Ada cita rasa. Dan ada asa. Bukan milikku. Bukan pula kau. Ini milik kami. Kami bersejarah.
Kini kami di puncak pohon kehidupan. Hijau. Rindang. Dan tinggi. Terpaan juga.
Terus tumbuh.
Banyak yang hinggap. Karena aku. Karena butuh. Karena peluang. Karena asa. Karena dunia. Karena atas nama pahala. Karena atas nama bangsa. Karena atas nama Negara. Karena atas nama Islam. Tak terasa kalau mengatasnamakan ‘karena’ itu telah menjadi benalu.
Kini kami di puncak pohon kehidupan. Hijau. Rindang. Dan tinggi. Benalu juga.
Terus tumbuh.
Kami adalah kata yang tidak bisa mewakili kekamian lagi. Karena kami adalah kami yang lebih besar. Kami milik negeri. Kami milik bangsa. Kami milik Islam. Karena ada kata ‘milik’ maka kami bukanlah kami lagi.
Ada kami yang mengaku sebagai bapak biologis. Juga ideologis. Ada kami yang mengaku sebagai ibu yang melahirkan. Juga yang membesarkan. Tak tertinggal pula ada kami yang tiba-tiba mengaku telah meniupkan roh Insan Cendekia, oleh karenanya kami yang lebih berhak mengakui jiwa itu.
Tapi aku yakin. Semua bermula di sini. Kami tetap di sini! Kami Bersejarah! Bukan Benalu!
12 April 2012
Di Sini, di Serpong.
Oleh; Pak Ipik Ernaka
~semoga yang di sana tetap baik-baik saja~
bedakan..
untuk para orang tua, atau para guru yang mungkin bertanya-tanya, “lho kok masuk insan cendekia bayar 32 juta, katanya full beasiswa?”, mohon untuk dicek lagi apakah itu MAN Insan Cendekia atau SMU Insan Cendekia.
Sepintas memang banyak persamaan:
1. yang satu bernama MAN Insan Cendekia Serpong, BSD (Bumi Serpong Damai) dan yang satu lagi SMU Insan Cendekia BSD (Boarding School Development).
2. logo MAN Insan Cendekia seperti diatas yang bagian kiri, sedangkan logo SMU Insan Cendekia yang sebelah kanan. (Jelas maknanya beda, kalau yg asli rangkaian logonya membentuk huruf “Insan” dalam bahasa arab, kalau yang KW hanya membentuk huruf “insa”
3. Kedua sekolah ini sama-sama berada di satu wilayah yang sama, Serpong, Tangerang Selatan. supaya lebih jelas buka web MAN Insan Cendekia di http://ic.sch.id/ sedangkan SMU Insan Cendekia di http://insancendekiabsd.co.id
4. Kedua sekolah ini menerapkan sistem boarding bagi seluruh siswanya.
Pendaftaran siswa baru MAN Insan Cendekia tahun ajaran 2012-2013
Penerimaan Peserta Didik Baru dilakukan secara transparan, terukur, dan dapat dipertanggung jawabkan. Syarat mengikuti pendaftaran peserta didik baru sebagai berikut:
- Pendaftar adalah peserta didik kelas IX MTs/SMP pada TP 2011/2012.
- Usia pendaftar maksimal 17 tahun per 1 Juli 2012.
- Pada kelas IX semester 1 tahun pelajaran 2011/2012 merupakan peserta didik terbaik pada madrasah/sekolah berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi kepala madrasah/sekolah asal (surat rekomendasi dibuat secara kolektif oleh kepala madrasah/sekolah asal peserta didik) dengan ketentuan: Madrasah/sekolah yang mempunyai rombongan belajar kelas IX sebanyak:
a. 1-3 kelas, berhak mengirim maksimal 5 orang peserta
b. 4-5 kelas, berhak mengirim maksimal 7 orang peserta
c. > 5 kelas, berhak mengirim maksimal 9 orang peserta
- Khusus pendaftar yg memiliki prestasi di bidang sains pada kompetisi tingkat nasional dan internasional, seperti ikut serta OSN, LKIR, penelitian yang diselenggarakan Kemenag, Kemendikbud, LIPI, BPPT, Kemenristek, dapat diberikan rekomendasi dari Kepala Madrasah/Sekolah asal peserta didik secara individu di luar batasan poin 3 di atas.
Keterangan: rombongan belajar adalah jumlah total kelas IX pada madrasah/sekolah tahun pelajaran 2011/2012 termasuk di dalamnya kelas regular, kelas unggulan, kelas internasional, kelas bilingual, dan kelas akselerasi
sebagai tambahn, berikut ini saya lampirkan tulisan dari teman saya Ihwan Adam mengenai Insan Cendekia
Saat ini Insan Cendekia sudah mulai membuka pendaftaran tahun ajaran baru. Info lengkapnya bisa dibuka di sini. Tapi yang perlu diperhatikan adalah saat ini mulai berdiri lembaga pendidikan mulai dari SMP atau SMA yang menggunakan nama Insan Cendekia juga. Agar tidak salah atau tertukar, Insan Cendekia yang dicetuskan oleh Pak Habibie, berkoordinasi dengan BPPT dan mendapat support dari Departemen Agama sehingga biaya sekolahnya gratis baru ada dua yaitu MAN Insan Cendekia Serpong dan MAN Insan Cendekia Gorontalo. Kedua MAN tersebut memiliki sistem pendidikan yang sama mulai dari aktifitas kesehariannya seperti hidup di asrama, guru-guru yang standby mendidik selama 24 jam, dan lain sebagainya. Walaupun setahu saya tidak belum ada lembaga yang mengawasi secara sistemik keberlangsungan ICS dan ICG (Semenjak dilepas oleh Pak Habibie, saat ini ICS dan ICG berada di bawah Depag dan dalam koordinasi dengan BPPT), namun karena keduanya dijalankan oleh para founder dari Insan Cendekia, sistem dan nilai yang ditanamkan di sana pun tidak jauh beda. Jadi menurut saya, masuk ICS ataupun ICG tidak ada bedanya karena karakter lulusannya juga dibangun dengan sistem yang sama.
Nah, yang perlu dikenali adalah bahwasannya saat ini banyak lembaga pendidikan yang menggunakan nama Insan Cendekia juga. Berikut adalah beberapa contohnya, ada Insan Cendekia BSD (link website di sini), Insan Cendekia Al-Mujtaba (link website di sini), Insan Cendekia Sekar Kemuning (link website di sini), Insan Cendekia Al-Kausar (link website di sini), Insan Cendekia Al-Muslim (link website di sini), dan mungkin masih banyak IC lainnya yang saya tidak tahu. Yang perlu diperhatikan adalah selain Insan Cendekia yang di bawah koordinasi Departemen Agama, tidak ada yang Insan Cendekia lain yang gratis. Insan Cendekia Serpong dan Gorontalo gratis karena disubsidi oleh Departemen Agama. Yang berikutnya adalah dari segi kualitas atau sistem pendidikan. Insan Cendekia Serpong dan Gorontalo pada dasarnya dibangun dan dikembangkan oleh founder yang sama sehingga sistem pendidikan di kedua MAN tersebut bisa dibilang 11-12. Dari segi fasilitas asrama, aktivitas keseharian, guru yang sedia 24 jam, dan lain sebagainya, semuanya dirancang berdasarkan sebuah masterplan dan blueprint yang sama. Visi dari kedua MAN tersebut pun sama yaitu membangun generasi yang berkarakter dengan kemampuan Akademis dan Spiritual yang baik. Oh ya, sebelum menjadi Insan Cendekia, ICS dan ICG dulu namanya Magnet school. Filosofinya adalah dengan adanya Magnet school, akan banyak bermunculan IC-IC lain yang memiliki sistem pendidikan yang berkualitas dengan visi misi yang sama. Namun untuk Insan Cendekia yang lain saya sebetulnya kurang tahu darimana mereka menurunkan sistem pendidikannya, bagaimana visi-misinya, dan sebagainya karena memang tidak ada lembaga yang mengakreditasi atau menetapkan standar Insan Cendekia itu harus seperti apa. Akibatnya adalah semua orang berhak membangun sekolah dengan nama Insan Cendekia dan dengan sistem yang ingin mereka kembangkan sendiri-sendiri. Saya cuma tahu bahwa ada salah satu dari Insan Cendekia yang dibangun dan kepalai oleh beberapa mantan guru veteran di ICS sehingga saya cukup yakin terhadap sistem pendidikan dan kualitas pengajaran di IC tersebu. Akan tetapi saya tidak bisa menjamin bagaimana sistem Insan Cendekia selain IC yang lainnya karena memang di luar koordinasi dari ICS dan ICG.

Semoga informasi ini berguna bagi para orang tua murid atau para siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya di Insan Cendekia. Jangan nanti malah kaget katanya IC gratis tapi kok daftar ke IC yang ini disuruh bayar. Jadi kenali betul-betul Insan Cendekia yang dimaksud supaya tidak salah sangka ke depannya nanti Yang pasti IC yang berada di bawah naungan departemen agama dan IC yang gratis baru Insan Cendekia Serpong dan Insan Cendekia Gorontalo yang link pendaftarannya sudah saya cantumkan di atas.
Pendaftaran Siswa Baru MAN Insan Cendekia tahun 2011
Informasi mengenai penerimaan peserta didik baru Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia tahun 2011 dapat dilihat pada file-file berikut.
1. Pengumuman PPDB MAN Insan Cendekia Tahun 2011
4. Petunjuk Pengisian Formulir
Jika komputer yang Anda gunakan tidak dapat membuka file-file di atas, silakan download dan instal aplikasi pembaca file PDF berikut: PDF Reader.
Informasi lebih lanjut silakan menghubungi:
Panitia Penerimaan Siswa Baru MAN Insan Cendekia
Telepon: 021-7563578
Faks: 021-7563582
Email: ppdb@ic.sch.id
Terbanglah Anak-anakku
oleh: Bpk. Kusen
Terbanglah sejauh yang dapat kau tempuh, anak-anakku. Selagi mentari masih pagi buatmu. Jelajahi Jerman sebagaimana Pak Habibi dulu menjelajahinya. Selami dan pelajari kehebatan Amerika sehingga kau bisa menimba banyak akan kehebatnya. Akrabi dan teladani semangat juang dan mental keilmuan Jepang yang pantang menyerah. Dekati dan gauli kecanggihan Korea, Belanda, Inggris, Kanada, dan Rusia. Menyatu dan mengambil sebanyak mungkin keluhuran Mesir, India, Timur Tengah, dan Cina. Jangan spelekan kemajuan negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia.
Pergilah generasi mudaku. Kelak kalianlah yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini. Insya Allah, kalian menjadi insan-insan yang cendekia. Sebagaimana yang kita cita-citakan dulu. Selamat berjuang anak-anakku! Dan, kembalilah bila telah cukup bekal untuk membangun negeri ini.
tentang Franchise Insan Cendekia
Beberapa Informasi tentang Insan Cendekia
Jadi begini yang saya dapatkan dari beberapa guru di MANICS setelah obrolan santai dan panjang tempo hari.
Singkat cerita, Insan Cendekia awalnya dikelola oleh BPPT sampai pada akhirnya diambil alih oleh Departemen Agama dan dijadikan sebagai madrasah model. Hal ini sejalan dengan apa yang dicita-citakan oleh pencetus konsep sekolah ini yaitu Bapak Habibie dengan visi besar yaitu pada akhirnya nanti, Insan Cendekia sebagai sekolah model, menularkan sistemnya ke seluruh Indonesia, sehingga di setiap provinsi, ada Insan Cendekia di situ. Dengan diambil alihnya IC oleh Depag sebagai sekolah model, maka peluang untuk terwujudnya hal ini sangat besar. Sebagai madrasah model, pasti ada maksud dari Depag untuk membuat sekolah2 lain dengan konsep seperti insan cendekia ini.
Niat menyebarkan sistem IC pun difollow up oleh ICMI, sebuah ormas yang beranggotakan cendekiawan2 muslim, yang dahulu sempat dikepalai oleh Pak Habibie juga saat membangun IC pertama kali. Akhirnya, disusunlah sebuah memo kesepakatan (MoU, perjanjian, atau apapun namanya) yang berisikan bahwa, ya, sistem IC akan disebarkan sebanyak2nya ke seluruh Indonesia, di mana ICMI berperan sebagai agen penyebar, sementara IC serpong, sebagai pemilik hak nama Insan Cendekia, dan bertanggung jawab dalam mengembangkan sistem sekolah bekerja sama dengan ICMI.
Implikasinya, lahirlah sebuah sekolah bernama Insan Cendekia Al-Kautsar. Itu lah produk pertama yang mungkin sempat kita lihat bersama seperti apa perkembangannya. IC Alka ini lahir dengan kerjasama yang intensif dari IC Serpong, ICMI, dan yayasan Al Kautsar. Dari mulai rekruitmen dan pelatihan guru, penyusunan kurikulum, sistem, dan puncaknya dengan diutusnya salah satu guru ICS yaitu Pak Gatot sebagai kepala sekolah IC Alka tersebut.
Ya, berjalan lancar semuanya. Kerja sama sangat erat, bahkan beberapa kali IC serpong dan IC Alka mengadakan acara bersama, saling bersilaturahmi, dan bertukar informasi.
Namun, sekitar tahun 2005 (lupa tepatnya), terjadilah pergantian dirjen Depag. Dirjen yang baru ini ternyata memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan dirjen sebelumnya, dengan IC serpong, sehingga dengan cita-cita besar untuk memberikan pendidikan yang baik untuk santri2 khususnya dari pondok pesantren, maka dibuatlah kebijakan yang cukup signifikan. Sejak angkatan 13, sistem penerimaan murid baru di IC mengalami sebuah perubahan besar yang positif. Ujian masuknya dilakukan di berbagai penjuru Indonesia. Kesempatan yang sangat besar bagi lulusan pesantren dan MTs karena ada chance lebih besar bagi mereka untuk lulus tes. Ditambah lagi, semua santri yang lulus tes diberi beasiswa penuh selama 3 tahun, tidak ada sepeser pun yang dikeluarkan. Tampaknya, dirjen yang baru ini benar2 menganakemaskan IC serpong.
Di samping kebijakannya itu, ada satu kebijakan lain yang menurut saya menjadi awal permasalahan yang mungkin banyak dibahas selama ini. Dirjen Depag merasa MoU yang dibuat antara ICS dan ICMI tidak relevan, dan akhirnya, MoU itu pun dibatalkan. Sejak ini, terjadilah konflik antara ICMI dengan Depag dan secara tidak langsung dengan IC. Ya, itu masalah politik, saya tidak terlalu ingin membahasnya. Implikasinya, seharusnya, tidak akan ada lagi usaha penyebaran nama dan sistem Insan Cendekia, setidaknya untuk beberapa waktu ini. Perjanjian yang awalnya mengatakan bahwa ICMI sebagai agen penyebar serta ICS sebagai pengembang sistem, tidak bisa dilaksanakan lagi. Walhasil, Alkautsar dan ICS pun memutuskan hubungan kerja sama sehingga IC ALkautsar umurnya tidak sampai 3 tahun (kalau tidak salah).
Kalau pada proses yang ideal, pengembangan IC – IC lain dilakukan dengan mekanisme yang baik, di mana kontrol dan pembinaan dari IC Serpong yang baik dengan mengirimkan beberapa orang perwakilan MANICS untuk mengembangkan sekolah yang baru tersebut. Lalu, nama Insan Cendekia pun disematkan pada sekolah baru itu.
Tapi, yang ada ternyata, setelah MoU itu dibatalkan, justru bermunculan sekolah-sekolah dengan embel2 nama Insan Cendekia di berbagai tempat. Proses penyebaran ini nyatanya masih berlanjut. Mungkin pernah dengan Insan Cendekia sekar kemuning di cirebon, di jambi, di kuningan, dan puncaknya adalah lahirnya SMA INSAN CENDEKIA di BSD, bahkan di kecamatan yang sama dengan IC Serpong. Ada apa gerangan ini?
Setelah dicari informasi yang lebih detail, ternyata diketahui bahwa ada satu (atau beberapa) guru yang mengembangkan sistem IC di sekolah lain, namun bukan sebagai perwakilan MANICS. Mengembangkan kurikulumnya, menyusun sistemnya, dan pada akhirnya, menyematkan nama Insan Cendekia di sekolah itu tanpa pemantauan dan sepengetahuan jajaran MANICS. Kalau teman-teman sudah tau kabarnya, akhirnya satu orang guru pun, dimutasi untuk mengajar di tempat lain. Penyebabnya, di samping hal yang sudah saya sebutkan di atas, sebenarnya karena kesibukan membangun sistem IC di sekolah lain sehingga kinerja dan produktivitas di ICS pun menurun. Hal ini yang juga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan mutasi tersebut.
Dilema. Itu yang saya tangkap. Di satu sisi, Insan Cendekia dibangun dengan sebuah cita2 besar untuk menyebarkan sistem pendidikan yang menyeimbangkan antara IPTEK dan IMTAQ ke seluruh Indonesia. Cita2 mulia itu tentunya harus diwujudkan. Namun, di sisi lain, agak kurang bijaksana jika cita2 ini diwujudkan dengan cara yang kurang baik. Kondisinya sekarang, ICS di bawah tanggung jawab Depag, 100%, bahkan 200, 300% dana nya berasal dari Depag. Jadi, kebijakan tertinggi memang ada di Depag. Selama belum diambil alih oleh pihak lain, sudah sepantasnya ICS mengikuti kebijakan yang disusun oleh Depag.
Saya sangat yakin, semua guru berharap cita2 mulia tersebut dapat terwujud pada akhirnya. Namun, mungkin tidak semua guru menganggap cara yang dilakukan dengan kurang resmi ini sebagai cara yang baik. Di sisi lain, memang banyak yang harus dikorbankan ketika memilih untuk melakukan upaya penyebaran tanpa dukungan dari Depag.
Pada akhirnya, seperti apa pun keputusan yang diambil guru2 kita, saya yakin itu lah hasil pemikiran guru2 yang bijaksana dan berdedikasi tinggi terhadap pendidikan, seperti yang telah kita rasakan. Tidak ada langkah yang sepenuhnya salah.
Doa saya hanya satu : semoga semua peristiwa ini tidak terlalu membebani pikiran guru2 kita, sehingga mendidik tetap menjadi orientasi utamanya, upayanya mencetak generasi2 emas tidak terganggu dengan konflik2 seperti ini. Biar lah yang memegang tampuk strategis saja yang memikirkan. Biar yang mengajar, tetap mengajar dengan perhatian. Yang membina di asrama, tetap membina dengan cinta.
Yang berada di luar sistem dan ingin membantu, bantu lah dengan memberi semangat, inovasi, dan masukan untuk pendidikan yang lebih baik di Insan Cendekia. Karena menurut guru2, itu lah yang saat ini paling dibutuhkan. Mendidik anak2 dari latar belakang yang sedikit berbeda memang membutuhkan effort lebih. Dari pada menghujani mereka dengan pertanyaan2 yang mengganggu, semoga kita bisa memberikan sumbangsih sesuai yang sudah kita pelajari saat ini.
Itu sejauh yang saya pahami. Kalau ada yang salah, mohon dikoreksi.
*copas note fb kak Yasir
Insan Cendekia Summit 2011
Welcome to Insan Cendekia Summit 2011
A country’s excellence depends on the quality of its human resources. The excellent and competitive human resource trait will throw a huge added value into a country’s growth.
Several infrastructures, to which the aforementioned matters are related, are going to be needed, one of which is education. Human resource expansion through education can be achieved through promoting science mastering among people.
However, education could not and must not stand alone in this strive of excellence, thorough understanding and implementation of religion teaching must be installed correctly on the core of education in order to produce human resources with good manner, pious, trustworthy, and other good qualities. By doing so, the process of obtaining scientific values and knowledge on education will thoughtfully bring advantages for mankind good.
Insan Cendekia Summit 2011 aims to give wider and deeper perspective on balancing science-faith aspects within education performance. Education must support no dichotomy on that matter.
Insan Cendekia Summit 2011 will be promoting three sub-themes:
“Excel as a country through science and knowledge”
The importance of science and knowledge for producing excellent and competitive human resource, prepared for global competition.
“Excel country’s culture values through religion”
The importance of thorough understanding and implementation of religion to excel education process and progress.
“Excel Science-Faith balance”
The importance of mastering science side-by-side with thorough understanding and implementation of religion.
Goals
Broadens perspective on the importance of education with balancing science and thorough understanding of religion
- Promotes the expansion of education communities
- Promotes trend spreading on new innovation of education
Registration: Please click http://www.insancendekia.org/summit/reservation/?actsummit=register
Daftar Sebaran Alumni Insan Cendekia Serpong Angkatan 13
Berikut adalah data sebaran alumni MAN Insan Cendekia Angkatan 13 “Nozomi Hikari” tahun pelajaran 2009/2010.
Alumni IPA
sumber: http://ic.sch.id
Dan ‘Atid pun menangis (bagian 1 dari 2)
Di malam yang sepi, di mana Fulanah sedang tidur,
Rakib dan Atid tetap terjaga untuk terus berzikir dan bermunajat kepada Allah seraya memanjatkan puja dan puji bagi Sang Pemilik alam semesta raya.
Di keheningan malam, hewan dan tumbuhan mendengarkan zikir mereka,
mengalun syahdu sambil menunduk, mengakui bahwa mereka hanyalah makhluk.
Hanya senyap yang tersisa,
di antara hingar bingar siang yang panas terasa.
Di antara zikir mereka, Rakib bergumam, “Wahai Atid, mengapa dulu kita diharuskan menyembah Adam, padahal mereka adalah orang-orang yang fasik?”
“Ah, hal itu karena hanya merekalah yang sanggup menjadi khalifah di muka bumi ini. Gunung pun menyerah ketika harus menjadi pemimpin. Hanya makhluk berakal sajalah yang patut menjadi pemimpin, Rakib!”
“Tapi aku tahu, engkau tidak buta Atid. Lihatlah catatanmu, penuh dengan catatan-catatan kejelekan yang Fulanah lakukan. Padahal, kita baru menukar dengan catatan yang baru saat Sya’ban menjelang dan dibersihkan oleh Allah kembali saat Syawal. Sekarang sudah Dzulhijjah dan kulihat tulisanmu lebih banyak daripada tulisanku. Aku percaya kalau janji Allah itu pasti benar tapi…” Rakib memutus perkataannya.
Atid pun terlihat bingung,”Iya, benar juga katamu tadi. Baiklah, bagaimana kalau esok hari kita buktikan bahwa janji Allah itu benar adanya. Kita buktikan, apakah manusia pantas menjadi sosok khalifah di bumi atau tidak. Sekarang lebih baik kita lanjutkan zikir kita yang terputus tadi.”
Pukul 00.00.
Gemerlap kota yang masih tersisa,
tidak menyurutkan semangat mereka untuk merasakan dekat dengan Allah.
Dekat dengan Sang Khalik, Sang Maha Pencipta yang Agung.
Sementara di samping mereka,
Fulanah tidur dengan pulas,
terbang dengan mimpinya,
melintasi waktu dan tempat,
melupakan realita yang menunggu di balik kelopak matanya yang terpejam.
Menunggu hingga azan Subuh menjelang…
Pukul 04.00
“Laa ilaaha illallah…”
“Teet… teet… teet…”
Bunyi bel asrama membangunkan Fulanah. Dengan terburu-buru, ia menuju kamar mandi dan berpakaian. Bergegas, menuju Masjid agar tidak mendapat poin.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang ketika bangun tidur tidak mengucap syukur kepada Allah dan berangkat menuju Masjid hanya karena poin, bukan karena mengharap ridha Allah semata?”
Atid terdiam. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Di Masjid, saat pembacaan wirid.
Fulanah yang masih terkantuk-kantuk meraih kertas catatannya,
membaca catatan tersebut alih-alih memohon ampun kepada Allah,
karena akan ada TB pada jam pertama.
Sementara di samping kiri dan kanan,
semua orang khusyu’ menikmati setiap kata dari doa yang dipanjatkan.
Sambil berharap mendapatkan kemudahan yang Allah janjikan dalam hidup mereka.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang ketika waktu untuk mengingat Allah tersedia sekalipun, ia tetap menggunakannya untuk urusan duniawi?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 05.00
Semua orang sedang mengantre di kantin untuk mendapat sarapan.
Saling menyapa dengan cerah, secerah sambutan fajar pagi yang bersinar di ufuk timur.
Saling melempar senyum, saling melempar tawa bersama.
Begitupun dengan Fulanah.
Dengan riang ia dan teman-temannya duduk menghadapi meja panjang.
Mengoper bakul nasi, mengoper botol kecap.
Sembari mengobrol, bersenda gurau melempar bahan candaan.
Seakan-akan keadaan seperti itu akan berlangsung selamanya.
Tibalah saat di mana mereka selesai sarapan.
Teman-teman Fulanah terus mengobrol,
tanpa menyadari bahwa ada yang terjadi di sana.
Fulanah tidak menghabiskan makanannya.
Padahal sejak mengambil, ia tahu itu adalah makanan yang ia tidak sukai.
Namun ia tetap mengambilnya.
Entah apa yang ia pikirkan, hanya Allah yang tahu.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang menyia-nyiakan pemberian Allah, padahal di luar sana berjuta-juta orang memohon, menangis kelaparan demi sesuap nasi?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 06.45
Sampailah Fulanah di apel pagi.
Lagi-lagi sapaan riang menyambut udara pagi.
Bertanya tentang PR, berbagi cerita,
apa saja.
Danton menyuruh mereka untuk berdoa,
agar hari itu mereka dirahmati oleh Allah.
Dan doa pun berlangsung dengan khidmat.
Namun ada satu yang mengganggu.
Fulanah tertawa cekikikan bersama teman-temannya.
Tidak besar namun cukup menyebalkan.
Saat ada teman yang mendiamkan,
mereka malah tertawa dan melanjutkan bercerita.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang harusnya mengemban amanah sebagai khalifah untuk seluruh makhluk di muka bumi namun untuk menjadi teladan bagi teman-temannya saja ia tidak mampu? Ia malah mencontohkan hal yang buruk! Bercanda di mana teman-teman yang lain sedang menghadap Allah! Allah, Atid! Bukan orang tuanya, bukan gurunya, bukan temannya, bukan siapa-siapa! Allah, Atid! Menghadap Sang Pencipta mereka dan Sang Pemilik tubuh mereka! Mengapa ia begitu sombong, Atid? Mengapa?
Atid pun terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 09.00
Kala guru menerangkan pelajaran,
semua sibuk menyimak.
Tak ada suara, tak ada canda tawa.
Mendengarkan ilmu yang diberikan oleh guru,
demi berjihad di jalan Allah,
demi memajukan Islam dan mengembalikan kejayaannya seperti zaman dahulu.
Fulanah pun demikian.
Ia menyimak, mencatat,
dan menguap sesekali apabila setan datang menggoda.
Kemudian guru tersebut keluar karena ada sesuatu.
Dan Fulanah berbicara,
sungguh kasar bicaranya tentang guru tersebut.
Sambil menjulukinya dengan sebutan yang tidak pantas bagi seorang guru,
kembali ia tertawa bersama dengan teman-temannya.
Ia tidak sadar,
sungguh ia tidak menyadarinya,
bahwa Rakib dan Atid selalu setia mengawalnya hingga liang lahat.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang tidak menghormati gurunya sendiri padahal guru tersebut adalah pintu ilmu baginya? Ia menjadi tahu karena adanya guru. Padahal Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang begitu hebatnya mau menjadi budak bagi seseorang yang mengajarinya satu huruf. Ia adalah orang yang merugi karena tidak memuliakan guru! Bukankah begitu, wahai temanku Atid?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 09.45
Bel istirahat berbunyi.
Tanda melepas lelah dan penat setelah belajar.
Fulanah pergi ke luar kelas untuk jajan,
tentu saja seperti teman-teman yang lain.
Oh, ternyata ia lupa membawa dompet.
Kemudian ia berkeliling,
mencari temannya yang mempunyai uang lebih untuk ia pinjami.
Ketika ia menemukannya dan mengutarakan maksudnya,
kening sang teman berkerut.
Maksudnya apa?
Bukankah kemarin Fulanah baru meminjam uang yang cukup besar pula?
Lalu, sembari lalu Fulanah berkata,
bahwa ia lupa dan ia meminta maaf untuk itu.
Tapi ia harus meminjam uang lagi saat ini,
karena ia lapar sekaligus akan menggantinya dengan hutang yang lalu.
Temannya dengan setengah ikhlas akhirnya meminjamkan.
Ia mendesah dan membuka dompetnya.
Kalau orang sudah berjanji seperti itu, mau dibilang apa lagi?
Dan di antara kerumunan orang yang sedang jajan,
Di antara canda tawa yang tiada putus,
Dua makhluk ciptaan Allah dari cahaya itu tetap berzikir,
sembari berzikir mereka tetap melaksanakan tugas mereka.
Dan Rakib pun bertanya, “Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang lupa akan janjinya sendiri dan menyusahkan orang lain padahal orang lain sangat membutuhkan janjinya tersebut? Inikah orang yang pantas menjadi khalifah padahal sedari pagi ia lupa menyapa Allah? Inikah makhluk itu, Atid? Inikah makhluk itu? Engkau harus jawab pertanyaanku, Atid!”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
(…to be continued)
(Ini adalah edisi terakhir Qawat di semester ganjil ini, so nantikan edisi selnjutnya dari Qawat di semester depan ya!)
Insan Cendekia Serpong, 2006
Unfinished Story…
Untuk kalian yang telah menginspirasi….
Untuk pejuang sejati tak kenal lelah, para guru peradaban…
Untuk segala kenang, canda, tawa dan segala laku dahulu kala…
Untuk kedisiplinan,…
Untuk sebuah nilai yang takkan pernah ditemui dimanapun juga…
Untuk keakraban, kebersamaan, kerja keras dan sebuah perjuangan…
Untuk masa yang pernah menjadi titik tolak perubahan…
SAKSIKANLAH,,,,, bahwa PERUBAHAN itu akan dimulai dari sini… SAAT INI juga…..
=================================================================================
mengingat kembali 2 tahun lalu saat 120 kafilah berjarit menghias podium penuh kenangan…..
tempat dimana, drama anak-anak muda dimulai.
tempat dimana aksi teatrikal dipertontonkan.
tempat dimana sujud syukur kami panjatkan saat LPJ dibacakan.
tempat dimana berbagai lomba dipertandingkan.
tempat dimana performance aneh, unik dan kreatif tercipta.
tempat dimana untuk pertama kalinya dua kafayeh disematkan.
tempat dimana menjadi saksi……
saksi bisu perjuangan anak-anak muda…..
Aku rindu kalian, rindu serindu-rindunya….
saat mengingat 21 Juni 2008……….
saat hari itu, hari terakhir kita ber ”nasaluka” bersama.
saat hari itu kita keluar gerbang tanpa harus melampirkan kartu kuning dan biru. (baca:izin)
saat hari itu kita tak merasakan lagi kehangatan gedung F lagi…
Selamat tinggal semuanya, mungkin aku tak bisa mengulangnya.
Tapi spirit Insan Cendekia akan kumulai lagi hari ini…….
Karena Cerita tentang Insan Cendekia takkan berakhir begitu saja…..
Ialah sang inspirasi. Unfinished Story…..
Dan Atid pun Menangis
Inilah QAWAT terakhir yang diterbitkan oleh DIORAMA ANDALUSIA 17, Divisi IMTAQ OSIS MAN Insan Cendekia Serpong dan ditulis oleh Koordinator akhwatnya….Hamida Amalia (jangan ge-er mid)
*kenapa yang paling paling bagus munculnya di akhir-akhir ya????
Pukul 12.00
Bel panjang berbunyi disusul gema suara azan,
dan seluruh umat manusia terhenti dari pekerjaannya.
Tuk menghadap Tuhannya,
Tuhan yang Maha Mulia, Tuhan yang Serbabisa.
Derap langkah kaki bergema sepanjang koridor,
bergaung, berlomba menuju Masjid,
tanda keikhlasan yang abadi dari seorang hamba kepada Tuannya.
Fulanah tidaklah berbeda.
Dengan tawa berderai, berjalan bersama teman-temannya.
Entah apa yang diperbincangkannya, mungkin hanya basa-basi belaka.
Melepas sepatu, menuju tempat wudhu.
Saling menyapa, masih dengan deraian tawa.
Bertanya tentang TB, seberapa sulitnya TB itu.
Tentu saja, dengan deraian tawa.
Menaiki tangga, memakai mukena.
Shalat, entah khusyuk atau tidak.
Yang jelas, selepas shalat Fulanah langsung mengobrol kembali dengan temannya.
Merencanakan sesuatu, entah apalah itu.
Berdua mengangguk tanda sepakat,
melipat mukena cepat-cepat.
Menuruni tangga, padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar.
Gelak tawa dan keributan terjadi saat turun tangga dan memakai sepatu.
Padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar.
Berdiri, bersiap-siap menuju kantin seakan-akan akan mengejar angin.
Padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar!
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang bahkan menghargai kawannya sendiri ia tak sudi? Jikalau cara menghormati sesamanya ia tidak tahu, apalagi menghargai semesta alam? Padahal manusia adalah khalifah yang bertugas memimpin peradaban di bumi.”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 16.35
Murid mana yang tidak senang apabila tiba saatnya pulang?
Di kelasnya yang sedang berlangsung pelajaran terakhir,
Fulanah duduk dengan gelisah dan ketidaktenangan.
Melirik jam sesekali, mencolek temannya yang masih asyik menekuni buku Fisika.
Mengajak mengobrol, namun tak berhasil.
Membaca buku, tak konsentrasi.
Akhirnya, berdentanglah suara itu.
Wajah Fulanah mendadak ceria.
Memasukkan buku, membereskan alat tulis.
Bersenandung kecil, tanda keriangan hati.
Kembali menuju Masjid, tuk menunaikan ibadah Ashar.
Kali ini ia sempat berdoa, namun tidaklah lama.
Melipat mukena, merapikan jilbab sejenak di kaca.
Berlari-lari kecil menuruni tangga.
Menoleh ke kiri dan ke kanan, seakan-akan mencari sesuatu.
Memakai sepatu dengan cekatan, mengambil langkah seribu.
Terdengarlah panggilan untuk dirinya diumumkan dari Masjid.
Nyatanya, Fulanah tidak datang.
Ia malas, ingin segera balik ke asrama.
Tak tahulah Fulanah bahwa kedatangannya sangat dinantikan oleh teman-temannya.
Mereka sangat kecewa karena ketidakhadiran Fulanah.
Urusan mereka terhambat hanya karena Fulanah seorang.
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang memenuhi hak saudaranya ia tidak mampu? Bagaimana mungkin ia bisa memenuhi hak rakyat jika hal kecil seperti ini tak ia latih dengan baik?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 18.00
Maghrib datang menjelang.
Tampak baju shalat yang berwarna-warni.
Maha Suci Allah yang telah menciptakan begitu banyak warna, menyajikan keindahan yang tiada tara.
Fulanah tak kalah modis dengan bajunya.
Pas dan serasi benar dengan dirinya.
Namun ada yang janggal dari bajunya.
Ya, tetap menutup aurat.
Benar, masih dalam koridor kesopanan.
Tapi lihatlah, ketat benar bajunya.
Seakan-akan kekurangan bahan, seakan-akan ia ingin menunjukkan tubuhnya.
Lihatlah lagi, masih ada yang aneh dengan jilbabnya.
Memang menutup dada, namun gampang tersingkap. Menerawang pula.
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang untuk keamanannya sendiri ia malas memperhatikan?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Di Masjid, seperti biasa.
Shalat Maghrib berjamaah.
Bersama-sama merapatkan shaf,
tanda kesatuan umat dalam menghadapi tantangan hidup,
demi kejayaan Islam di waktu mendatang.
Bersama-sama mengikuti gerakan imam,
tanda ketundukan terhadap penguasa yang shaleh lagi bijaksana.
Bersama-sama sujud di hadapan Allah,
tanda penghambaan makhluk yang lemah lagi fana.
Bersama-sama mengucap salam ke kanan dan kiri,
tanda doa bagi sesama.
Bersama-sama melafalkan wirid,
tanda permohonan untuk kemudahan dunia-akhirat.
Tidak demikian adanya dengan Fulanah.
Setelah salam, ia ke shaf paling belakang.
Bukan demi kekhusyukan dalam berdoa.
Ternyata ia berkumpul dan mengobrol dengan teman-temannya yang lain.
Mengganggu kenikmatan berdoa orang lain. Mengganggu sekali.
Tapi mereka tidak sadar,
atau malah jangan-jangan memang sengaja tidak menyadarinya?
Bahwa berdoa butuh ketenangan susana.
Bahwa berdoa butuh konsentrasi dan kesungguhan hati.
Namun mereka tetap saja mengobrol!
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang dalam sehari telah menyepelekan Tuhannya berkali-kali?” gusar sekali kedengarannya.
Kemudian, Rakib melanjutkan, ”Bahwa ia tidak menyadari, ada yang lebih berkuasa di atas mereka.”
”Mereka manusia, Rakib, tidakkah dirimu ingat bahwa manusia punya sifat lupa dan salah?” Atid berbicara setelah sekian lama.
”Lupa? Lupa? Seberapa lupakah mereka kepada Tuhannya yang begitu mengasihinya sampai-sampai untuk berterima kasih saja mereka lupa?Bersyukur saja mereka lupa! Tidakkah kau bayangkan, betapa tidak berterimakasihnya makhluk yang bernama manusia itu? Pantaskah mereka menjadi khalifah, kutanya? Pantas tidak?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 00.00
Kabut mulai turun di Insan Cendekia.
Wajah malam menampakkan dirinya yang gelap dan dingin.
Angin berhembus, menghajar pepohonan yang tegak berdiri.
Hiruk pikuk suasana siang hari,
telah terganti oleh redup dunia yang menenangkan jiwa.
Sayup terdengar helaan nafas dari segenap penjuru.
Hampa terasa, sunyi suasana.
”Atid temanku, marilah kita ambil hikmah dari perjalanan kita kali ini. Jawablah pertanyaanku, janganlah engkau diam saja seperti itu. Ingatkah kau, mengapa dulu kita beramai-ramai menyembah Adam, sang manusia pertama?” tanya Rakib.
”Ah Rakib, tentu saja kutahu. karena mereka bisa menyebutkan segala sesuatu yang kita tidak mengerti. Mereka diberi kepandaian oleh Allah untuk mengetahui segala sesuatu, sedangkan kita tidak. Kepandaian itu diperlukan untuk menangkap ilmu, sedangkan ilmu itu diperlukan untuk menjadi seorang khalifah.”
”Benarkah perkiraanku, bahwa sekiranya khalifah itu harus pintar?”
”Ya, harus. Bagaimana ia mau memimpin jika ia tidak pintar?”
”Benarkah perkiraanku, bahwa sekiranya khalifah itu adalah orang yang menaati perintah Allah dan mengingat-Nya setiap saat?”
”Benar, tidak ada keraguan tentang perkara itu.”
”Mengapa Allah memilih makhluk yang pandai tapi tidak tunduk sepenuhnya kepada-Nya?”
”Maksudmu?”
”Ya. Tidakkah kau melihat, Atid. Di sekolah yang penuh dengan orang-orang yang pintar ini, mereka belajar agama, tapi tidak mengamalkannya. Mereka mengetahui perintah yang termaktub dalam Al-Qur’an tapi tidak mengindahkannya. Mereka berkata bahwa mereka tidak bisa menyebut satu per satu pemberian Sang Khaliq tapi jarang mengingat-Nya dalam sanubari mereka. Mereka tahu kalau perbuatan mereka salah tapi mereka tetap melakukan, seakan-akan Tuhan mereka buta-tuli. Mereka berkata ingin memajukan agama mereka tapi mereka tidak khusyuk dalam shalat dan doanya serta gampang menyepelekan sesuatu.”
Atid terdiam.
”Bagaimana Atid temanku? Apa yang terjadi pada mereka sehingga mereka bisa seperti ini?”
”Mereka seharusnya dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Semakin banyak ilmu yang mereka raih, semakin pula seharusnya mereka menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah yang tiada terbilang. Semakin pula mereka menyadari bahwa diri mereka adalah fana, suatu ketidakabadian yang nyata. Semakin pula mereka bertambah tunduk kepada-Nya.”
Atid tergugu sejenak.
Angin berhembus kencang.
”Sayangnya mereka tidak menyadari hal itu,” Atid melanjutkan.
Kabut semakin menebal.
”Mereka tidak menyadarinya.”
Dan gerimis pun menghujam.
”Sungguh mereka tidak menyadarinya.”
Hela napas Fulanah terdengar.
”Mereka hanyalah makhluk yang tidak sadar akan dirinya sendiri.”
Dan Atid pun menangis.
Insan Cendekia, 17 Agustus 2006 – 17 Agustus 2007
.: Diorama Andalusia 17 :.
Ketika Penghambaan Itu Hanya Sebuah Skenario (Bagian 2-habis)
Lalu…
Apakah IC memberi pendidikan “kesadaran” mengenai hal ini? Aku akan menjawab: Ya, namun agak kurang maksimal. Kebanyakan siswa/I IC masih menganggap “hal-hal Islami” disini hanya sebagai budaya IC dan bukan budaya Islam. Ibadah-ibadah itu hanya dirasakan sebagai ritual tanpa memaknai spiritualnya. Namun aku yakin IC telah menggenapkan segala usaha agar sisi spiritual siswa/I terpenuhi. Terus terang aku sangat bahagia dan bersyukur atas diadakannya training ESQ in house angkatan pertama di IC. Aku berharap langkah IC ini merupakan salah satu usaha dalam pendidikan kesadaran bagi anak didiknya.
Tentang sistem pendidikan IC, memang ada sedikit gundah yang kurasakan saat aku masih duduk di kelas 2. Ada hal yang berbeda antara dunia sekolah dan dunia asrama. Dunia asrama diibaratkan sebagai rumah kita, kita punya orang tua (baca: pembina asrama) disini. Orang tua mendidik kita agar disiplin, taat beribadah, dan lain sebagainya. Jika kita tidak menurut, kita akan diberi sanksi oleh pembina atau seksi kesiplinan. Namun aku bisa memahami, pembina asrama memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar tak hanya kepada orang tua kami tetapi juga kepada Allah swt. Aku sangat sedih ketika melihat bahwa banyak siswa/i tidak menganggap para pembina asrama adalah orang tua mereka melainkan hanya sebagai para pengawas. Oya kau menganggap dunia asrama ini sebagai dunia religius (SQ). Yang kedua adalah dunia sekolah. Dunia yang menuntut kita dari segi intelektualitas. Dunia logika (IQ). Dunia ”nilai”. Kita digembleng habis-habisan terutama di bidang MaFiKiBI. Apa yang terjadi disini? Bagi yang tidak memiliki prinsip tentu saja harus hati-hati, jangan sampai menuhankan ”nilai di papan hijau”. Memang ada yang disayangkan dari sistem pengajaran di ic, tapi saya berusaha berpikir positif. Menurut saya pelajaran matematika, fisika, kimia, dan biologi adalah mata pelajaran yang luar biasa. (Sejujurnya aku sendiri baru menyadari hal ini). Mengapa luar biasa? Karena pelajaran2 ini adalah salah satu gerbang bagi pelajar untuk memahami siapa Pencipta kita. Keajaiban penciptaan dan bagaimana Ketelitian Sang Penggenggam Jagat Raya terjabarkan didalamnya, tidak ada di buku-buku sosial atau buku Fiqih. DNA, sel-sel, gravitasi, atom-atom, teori Big Bang, sistem saraf tubuh, dan masih banyak lagi ayat-ayat-Nya yang tertulis dalam jagat raya dan di dalam tubuh kita. Apalagi sudah banyak ayat Al-Quran yang terbukti kebenarannya secara ilmiah di era modern ini. Setiap hari kita tahu akan kebesaran-Nya tapi seringkali hati kita tak bergetar, padahal Rasulullah saw dan para sahabat yang tidak pernah tahu dan melihat hal yang kita lihat hari ini, begitu cinta dan taat pada Sang Khaliq. Lalu bagaimanakah jika Rasulullah dan sahabat dapat melihat apa yang kita lihat? Sungguh aku sangat malu pada beliau-beliau. Tidakkah kau perhatikan apa yang ada di bumi dan di dalam dirimu sendiri sehingga teranglah bagimu bahwasannya Al-Quran itu benar? Seharusnya penggalan surat Fushilats ini bisa menjadi reminder kita ketika belajar mafikibi. Di dunia sekolah yang penuh tuntutan dan kurangnya pendidikan kesadaran membuat kita seringkali lupa apa tujan hakiki kita belajar. Untuk apa? Buat siapa? Mengapa? Salah-salah bisa jadi kita salah kiblat. Kita menghapal beragam teori, siapa pencetusnya, bagaimana prosesnya, tetapi KITA TIDAK SADAR SIAPA YANG MENCIPTAKAN..!
Nah, sayangnya guru-guru ic kurang maksimal dalam hal ini. Guru-guru belum memberikan atmosfir yang cukup untuk membuat kita yakin akan keberadaan-Nya saat pelajaran mafikibi. Pendidikan Kesadaran Sebagai Makhluknya Sang Kholiq sangat minim.. Hanya ada satu-dua guru yang sering melakukan demikian. Pendidikan Kesadaran Sebagai Makhluknya Sang Kholiq bukan hanya tugas ustadz, guru aqidah akhlaq, guru Qurdits, atau guru Bahasa Arab, tetapi tugas seorang khalifah Allah dan tugas penerus Rasulullah saw. Aku yakin sebenarnya guru-guru ic ingin melakukan hal demikian, tetapi mungkin masih ada belenggu yang menyebabkan mereka segan melakukan hal tersebut. Mungkin malu karena tidak biasa atau merasa belum pantas melakukan hal tsb. Wallahu alam bisshawab…
Ada kalimat yang sering tersebut jika aku bersama teman atau alumni sedang ngomongin ic adalah ”IC itu steril namun tanpa imun..”. Kami setuju akan kalimat itu, tapi kemarin pandanganku sedikit berubah. Ada seorang alumni yang mengatakan bahwa ”Silakan direnungkan baik2. Sebenernya kalo ada alumni yg melenceng, aku jg ga tau ini sepenuhnya alumninya yg salah, atau emang ada yg kurang dalam sistem pendidikan di IC. Tapi gimanapun juga, introspeksi diri sndiri lebih baik drpada nyalahin pihak lain”. Aku mengangguk atas pendapat kakak yang satu ini. Aku mulai berpikir lagi, ini setelah berbicara dengan alumni yang lain, bahwa kesadaran itu pun butuh proses. Ada yang sewaktu di ic ia rebel dan tidak mau ambil pusing dengan tata tertib namun setelah lulus ia malah menyadari hikmah di balik semua itu. Namun alangkah baiknya jika sistem pendidikan ic memenuhi janji visi-misinya: memadukan imtaq dan iptek. Alangkah baiknya jika guru-guru ic memfasilitasi kita dalam mengenal-Nya.
Lalu apakah solusi bagiku yang tadinya berada dalam gundah? Kini aku sadar bahwa aku termakan pula ke dalam skenario IC. Aku kebagian peran sebagai tim Tata Tertib sewaktu MOS dan anggota Kedisiplinan OSIS 05/06. Aku menuntut diri untuk tidak telat atau absent shalat ke masjid padahal di rumah terkadang aku tidak terbangun saat adzan Shubuh. Di IC aku merasa nikmat beribadah namun di rumah, shalat kering kerontang. Di IC aku sangat bersemangat tadarus –kadang termotivasi ketika melihat teman-teman yang sedang tadarus- namun di rumah aku tetap mengaji tanpa ghirah. Aku pun bertanya, adakah hal ini terjadi karena ada motivasi lain selain karena-Nya atau hanya karena lingkungan IC yang mendukung? Aku pun mau tak mau harus jujur pada diri sendiri.
Kini, aku mempunyai suatu tekad yang akan ku-share pada teman-teman semuanya bahwa dimanapun kita berada disitulah sajadah terbentang. Tak berbeda antara di rumah maupun di IC. Keduanya adalah buminya Allah, maka tidak ada alasan untuk bermalas-malasan ketika kita (siswa/I IC) berada di luar lingkungan kampus IC. Aku tak mau lagi termakan skenario, aku ingin tulus karena-Nya tak peduli dimanapun. Dan tugas kita selanjutnya adalah mempertahankan kesadaran, yang jika kita telah bisa melakukannya maka tidak ada lagi ucapan “Ini kan bukan di IC! Nyantai aja kali..”.
oleh: Yurisa Nurhidayati
*sedang mengumpulkan tulisan kakak angkatan di IC
Ketika Penghambaan Itu Hanya Sebuah Skenario (Bagian 1)
*sedang mencoba mengumpulkan tulisan-tulisan dari alumni MANICS untuk dijadikan satu buku….Tulisan kali ini dibuat oleh alumni IC angkatan 10 (Morganaxis).
oleh: Yurisa Nurhidayati (Psikologi UGM 07)
Insan Cendekia? Madrasah Aliyah Negeri berasrama ini kini telah berumur 12 tahun. Umur yang masih sangat muda, namun kualitas dan prestasinya tidak kalah dari sekolah-sekolah unggulan lain, SMAN 8 Jakarta misalnya. Nama Insan Cendekia pun tak asing lagi dikalangan pendidik dan telah terdengar gaungnya hingga ke seberang pulau di Nusantara. Hampir tiap bulan ada saja yang study banding ke madrasah yang didirikan oleh Pak Habibie ini, dari Sumatra, Kalimantan, Cirebon, Bandung, dan masih banyak lagi.
Tak hanya segudang prestasi yang dimiliki, namun Insan Cendekia (IC) juga terkenal dengan kemuliaan akhlak siswa/i-nya. Benarkah? Tidak heran kok, bibit awal IC adalah kalangan pesantren dan budaya-budayanya terus dijaga sampai saat ini. Lihat saja visi dan misi IC, yaitu untuk membentuk siswanya tak hanya cerdas dari segi IPTEK namun juga Imtaq-nya. Keren ya?
Indahnya…
IC, menurutku, bagaikan oase di tengah-tengah hingar-bingar kehidupan remaja saat ini. Bayangkan saja, jika Anda ke IC Anda akan disapa dengan salam. Tidak ada siswi yang berpakaian minim alias miskin bahan, longgar, dan jilbab menutup dada. Setiap hari kami melangkahkan kaki menuju masjid. Shalat berjamaah lima kali sehari dilanjutkan dengan wirid dan tadarus. Tidak ada siswa/i yang menyontek! Untuk ini aku sangat bersyukur, karena dari SD pun aku sudah berprinsip No Nyontek! Sebuah kebiasaan yang sangat langka dimana hampir semua SMA di Indonesia menganggap lumrah hal contek-menyontek ini, bahkan dilegalkan dengan adanya “tim sukses” saat UAN. Tidak ada narkoba, merokok, tawuran, kasus pornografi/aksi, dan lainnya di wilayah kampus IC! Ya iyalah, wong bersentuhan lawan jenis aja tidak ada. Bahkan ada yang dikeluarkan akibat pacaran.
IC seperti pesantren ya? Hmmm…
Analogi Kuda Liar?
Karena gaungan keindahan IC sudah merebak kemana-mana, maka tak heran jika siswa/i nya berasal dari berbagai wilayah nusantara. Ada yang dari Riau, Aceh, Lampung, Pontianak, Bontang, Papua, Jabotabek, Purwokerto, Solo, Banten dan masih banyak lagi. Yang mengikuti test menjadi siswa baru bisa mencapai 700 calon siswa untuk 120 kursi. Test yang diberikan pun sangat sulit, terdiri dari Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Agama Islam. Psikotest juga diberikan demi mendapatkan siswa/I yang tidak hanya “pandai” tetapi juga cerdas/smart dan berbakat. Bahkan sekarang IC sudah dicanangkan sebagai Madrasah Aliyah Khusus Berstandar Internasional (SK Dirjen Pendidikan Islam nomor DJ.II/438A/2006)!
Bagaimanakah kabar IC sekarang? Yaa begitulah, yang jelas keharuman akhlaknya mungkin tak semerbak dahulu pada saat pertama didirikan. Aku merasakannya.. Hehe..sok tau nih, kayak udah bertahun-tahun tinggal di ic aja.. Semula IC memang diperuntukkan bagi kalangan pesantren yang memiliki kemampuan intelektual yang sangat baik, namun semakin lama kadar kalangan pesantren semakin berkurang dan didominasi oleh kalangan umum. Otomatis keindahan akhlak islami IC yang berbasis kesadaran semakin berkurang. Siswa/i nya kini banyak yang berasal dari kalangan berduit yang lingkungannya seperti remaja Indonesia secara umum -tidak begitu islami dan cenderung hedonis. Budaya IC semakin lama semakin terkikis dan hal ini tidak terlihat secara kasar dan mencolok. Pelan tapi pasti.
Tentang kesadaran. Masih ingat dalam benakku, setahun yang lalu, waktu itu sedang ada penerimaan siswa baru. Aku dan seorang teman sedang duduk-duduk di warung Bu Ali. Tiba-tiba seorang bapak dari calon siswa baru mengajak kami berdialog. Awalnya mungkin pertanyaaan standar, kelas berapa, enak-tidak sekolah disini, bagaimana cara belajar disini, bagaimana kehidupannya sehari-hari, dsb. Namun, aku mulai tersadar mengenai sisi abu-abu IC ketika beliau berbicara tentang “kuda liar”, kata beliau “Siswa/i yang masuk kesini itu bagaikan kuda liar yang dikurung di sebuah kandang. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, kuda liar tersebut menjadi jinak dan ketika dikeluarkan bisa bermanfaat bagi manusia. Atau yang kedua, kuda liar itu justru semakin liar ketika dikeluarkan karena merasa terkekang”. Cukuplah hal tersebut menjadi sebuah perenungan bagi kami.
Pada waktu yang lain, aku berdialog dengan kakekku. Walau beliau sudah tua namun perhatiannya pada umat tidak serta-merta menjadi luntur. Beliau bertanya mengenai keadaan sekolahku. Dan beliau menanggapi bahwa mungkin akar menurunnya budaya islami IC adalah input.
Sebuah Keganjalan…
IC itu indah. Indaaaaaaaah sekali. Banyak yang kudapatkan dari bersekolah disini. Kegiatan yang sangat padat melatihku untuk disiplin. Nilai-nilai yang sering tidak memuaskan melatihku untuk bersyukur atas perjuangan yang telah kulakukan. Pergaulan dengan teman-teman yang sepaham maupun tidak, mengajarkanku arti kebersamaan dan toleransi. Kejenuhan dan banyaknya tuntutan melatihku untuk sabar dan ikhlas. Mengenal guru-guru, pegawai kantin, cleaning service, security, anak-anak ahad, dan lainnya melatihku untuk menghargai dan berempati. Fasilitas yang sangat teramat mencukupi, mulai dari kelas ber-AC, kantin, poliklinik, perpustakaan yang lengkap, lab komputer -walaupun internetnya ngadat-, dan guru-guru yang luar biasa, membuat aku yakin bahwa tidak ada alasan untuk mengeluh sebelum aku bisa mensyukuri seluruh nikmat-Nya.
Namun ada satu hal yang mengganjal pada benakku -yang kusadari ternyata bukan aku saja yang mengalami-. Yakni sebuah kesadaran yang terlupa. Apa maksudnya?
Dahulu aku memincingkan mata melihat para alumni yang tidak konsisten terhadap apa yang mereka sudah dapatkan di IC. Aku menjawab fenomena ini dengan analogi kuda liar yang kusebutkan di atas. Mereka yang tidak konsisten bagaikan kuda liar yang semakin liar. Tapi, teori ini tidak bisa menjawab ketika seorang alumni yang dahulunya adalah seorang teladan dan sangat alim justru berubah ke arah sebaliknya (termasuk kuda liar yang mana, ya? Hehe..). Tidak sedikit pula alumni yang dahulunya baik di IC begitu mudah berubah. Saat itu aku hanya bisa menjawab: itu karena lingkungannya tidak sekondusif di IC.
Tidak perlu jauh-jauh! Aku mengalihkan pikiranku pada teman-teman dan adik-adik kelas. Di luar kampus: tidak sedikit yang pakaiannya tidak seperti yang ia pakai di IC. Jilbabnya tak menutup dada atau pakaiannya sudah nge-press di badan. Shalatnya tidak serajin di IC. Pergaulannya tidak seaman di IC. What’s goin’ on? Alumni atau sebagian teman akan menjawab “Ini kan bukan di IC! Nyantai aja kali..” Ya, di luar IC tidak ada lagi pembina asrama, tidak ada lagi seksi kedisiplinan, hanya nurani yang bisa mengontrol akhlak kita. Aku pikir aku tidak seperti itu, aku bertekad akan istiqomah di jalan-Nya seperti apa yang kupelajari di IC.
Namun…
Aku sadar, ternyata aku terlalu sombong pernah merasa bahwa aku bisa terus istiqomah. Aku melupakan satu hal.
Waktu itu 10 hari terakhir Ramadhan. Hari-hari dimana Allah begitu mengobral ampunan dan rahmat-Nya. Beberapa hari sebelum pulang aku sudah berdoa pada-Nya supaya diberi kemudahan dalam beribadah di rumah. Beberapa planning sudah ku siapkan untuk menjaga ghirah Ramadhan di rumah besok. Tapi apa yang terjadi? Sepuluh hari terakhir tersebut kuisi dengan ibadah tapi tanpa GHIRAH/semangat! Aku benar-benar pusing. Gundah. Ya Robb ada apa dengan hati ini? Tadarus, sholat, I’tikaf terasa kering kerontang. Seolah-olah Allah memberikan sebuah clue pada aku, tiba-tiba sebuah SMS masuk dari seorang sahabat. Sahabat yang selama ini kupandang amat sholeh.
“Bagaimana sih caranya biar ikhlas dalam beribadah? Tolong dijawab.ya”
Aku terdiam membacanya dan stuck tidak tahu harus jawab apa. Aku tertohok, apa mungkin aku belum memurnikan ketaatan pada-Nya? Pertanyaan ini justru seperti sedang menyindirku.
Esoknya adalah puncak kefuturanku. Aku hanya bisa menangis. Aku ceritakan pada seorang sahabat. Aku katakan bahwa aku seperti orang yang munafik, keadaan hatiku jauh lebih buruk daripada ketika di IC. Kebaikan-kebaikan aku di IC hanyalah topeng belaka dan kini topeng itu hilang entah kemana. Ia pun menjawab,
“Ini mungkin adalah PR besar buat kita, Yur. Di IC kita terkondisikan untuk semangat ke masjid, shalat, dan lainnya. Sedangkan disini cuma ada kita dan Allah… Seharusnya hanya Allah sumber motivasi kita..”
Mata pun semakin menderas. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi setiap liburan di rumah dan memang aku baru menyadari bahwa aku yang di IC berbeda dengan aku yang di rumah.
Usai Idul Fitri pun tiba dan aku tidak merasakan suatu kemenangan, alih-alih sebuah kesedihan. Sangat.
Kesadaran Itu…
Sesampai kembali di sekolah, kutumpahkan semua gundah kepada sahabat dekat. Kami berbicara terus mengenai kehidupan IC. Akhirnya aku menemukan suatu titik temu: kehidupan IC hanyalah sebuah skenario! Tunggu dulu, aku tidak bermaksud menyalahkan IC atau semacamnya, aku hanya menggambarkan “kehidupan IC” ini adalah seperti panggung sandiwara.
Skenario. Sebenarnya kata ini merupakan saduran dari seorang teman (thx to him). Mengapa aku menyebutkan kehidupan IC seperti skenario –khususnya bagi siswa/I nya? Ya, setiap siswa/I baru yang masuk ke dalam lingkungan IC harus mengikuti skenario yang ada. Berpakaian rapi islami, shalat berjamaah setiap waktu di masjid, memberi salam kepada sesama, dan lainnya. Sekali lagi tanpa kesadaran –pada umumnya. Tanpa kesadaran bahwa budaya IC adalah aturan Islam dalam rangka menghamba pada-Nya. Semua berlangsung karena dilihat oleh pembina asrama atau tim tata tertib. Semua berlangsung karena lingkungan. Semua berlangsung karena takut dicatat sebagai pelanggaran. Karena ingin terlihat alim. Karena ingin terlihat sempurna. Berlomba, tapi adakah kita lakukan semata-mata karena-Nya? Dan yang perlu dicatat adalah hal ini terjadi begitu saja dan dapat terjadi pada siapa saja. Termakan skenario. Ketika di luar panggung IC maka ia tidak lagi memainkan skenario itu lagi. (bersambung)
Dulu kala di sebuah penjara suci Insan Cendekia
Dulu… ada ‘mereka’ yang begitu rajinnya puasa senin kamis, sampai-sampai selalu berebut untuk mendaftarkan dirinya. lalu meminta dibangunkan dengan penuh harap. “plisss…. bangunin gw yah”
Dulu… ada ‘mereka’ yang tiap pagi dan petangnya selalu membasahi bibir dengan tilawah qur’an dan hafalan hadits-hadits dari buku pelajaran.
Dulu… ada ‘mereka’ yang begitu disiplinnya membangunkan mereka-mereka lain yang masih terlelap dalam mimpinya untuk bangun dan shalat subuh.
Dulu… ada ‘mereka’ yang begitu fasihnya menjadi imam masjid dan khatib saat tugas bergiliran tiba.
Dulu… ada ‘mereka’ yang bahkan anginpun tak dibiarkan untuk menyibakkan jilbabnya. Ada sepasang peniti yang selalu merekat erat di ujung jilbabnya.
Dulu… ada ‘mereka’ yang merah bibirnya selalu menyapa dengan salam penghormatan tertinggi. “Assalamu’alaikum.”
*kangen dengan suasana itu
Informasi Peserta Lulus Seleksi Tes Tertulis PSB MAN IC 2010
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Serpong
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Serpong (Cadangan)
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Gorontalo
Daftar Calon Siswa Baru Lulus Tes Tertulis – MAN Insan Cendekia Gorontalo (Cadangan)
Komentar Terbaru