Arsip | Pemikiran Islam RSS for this section

Manusia beradab


Tujuan utama Pendidikan Islam, menurut Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a godman…. the fundamental element inherent in the islamic concept of education is the inculation of adab.” (hal. 150-151)

Lalu, siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia beradab lainnya. Manusia beradab juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah swt.

_diambil dari buku: Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab (Adian Husaini)

Pendidikan Spiritual?


Peradaban Islam adalah peradaban ilmu yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dari pembangunan masyarakatnya. Islam menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai suatu ibadah dan merupakan kewajiban bagi tiap individu. Ibn Khaldun mengatakan pendidikan haruslah diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Namun, nilai ideal pendidikan Islam yang bersifat transenden dan integral, tidak memisahkan antara alam fisik dan alam metafisik, harus tersingkir akibat beberapa faktor eksternal maupun internal yang dialami oleh umat Islam.

Peradaban Barat yang sekular-liberal kemudian berhasil menyebarkan worldviewnya melalui ilmu pengetahuan, baik sains maupun humaniora, ke hampir seluruh wilayah dunia dan terjadilah seperti apa yang dibayangan filsuf asal Perancis, Auguste Comte, pada abad ke 19, bahwa kebangkitan sains Barat akan menggantikan agama dari peradaban.

Kebangkitan sains di Barat juga telah menggantikan jiwa manusia dengan akal pikirannya. Tubuh manusia dianggap tak lebih dari sebuah mesin yang sempurna diatur, dan bekerja dengan prinsip-prinsip hukum matematika. Fritjof Capra seorang ilmuwan Barat dalam bukunya The Turning Point mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya, saat ini para ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi%pit yang tidak cukup untuk menyelesaikan masalah2C onkolog bingung tentang penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. Ia menambahkan bahwa sebagian besar akademisi menganut persepsi-persepsi realitas yang sem-masalah besar yang merupakan masalah sistemik, artinya, persoalan tersebut saling berhubungan dan saling bergantung (Capra, 2004 : 8-9).

Problematika dunia Barat bukan sekedar problem intelektual, melainkan lebih pada krisis emosional atau lebih tepatnya krisis eksistensial. Ketika sains menjadi menjadi agama baru maka timbulah spiritual phatology, krisis makna, dan masalah kejiwaan lainnya. Agama Kristen telah lama ditinggalkan oleh pengikutnya sehingga Barat sangat bergantung kepada psikologi untuk memahami manusia dengan segala problematikanya. Psikologi klasik di Barat pada awalnya terkait erat dengan agama Kristen, yaitu ketika pada abad ke 13, Thomas Aquinas memadukan psikologi dengan teologi dan etika Kristiani.

Namun akhirnya psikologi berangsur-angsur mengadopsi filsafat materialisme dengan munculnya pemikiran Decardes, dan positivisme dari tradisi sains Cartesian-Newtonian yang mengubah secara radikal pokok kajian dan metode psikologi. Kemudian lahirlah aliran psikologi seperti behaviorisme dalam tradisi Watson dan Skinner, dan psikoanalisis yang berasal dari Freud. Sehingga Pada awal abad ke 20, buku-buku teks psikologi telah kehilangan semua referensi tentang kesadaran emosi, dan kehendak .(Graham, 2005 : 34).

Selanjutnya masyarakat Barat yang rasional dan memuja metode ilmiah, tertawan oleh ide spiritualitas dan mengadopsi budaya mistis Timur seperti Tao, Budhisme, Zen, Yoga dan berbagai bentuk meditasi lainnya. Persentuhan tersebut memunculkan aliran psikologi seperti psikologi humanistik serta psikologi transpersonal atau transhuman yang lebih berpusat pada alam semesta (cosmos) dari pada kebutuhan atau kepentingan manusia. Sebuah intitusi pendidikan di Amerika, yaitu Institut Esalen di Big Sur, California, pada awal pendiriannya di tahun 1966, mengundang eksponen dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari Kebudayaan Timur dan Barat, termasuk Yoga, meditasi, pengubah kondisi kesadaran, seni bela diri, tarian, pemuka agama, filsuf, artis, ilmuwan, dan psikolog untuk bertukar pandangan dalam seminar dan workshop serta program-program lainnya dalam rangka mewujudkan tujuan Institusi ini sebagai pusat pendidikan yang mencakup dimensi spiritual dan intelektual. Pertemuan ini diklaim telah menghasilkan berbagai pendekatan, dan juga teknik-teknik yang diturunkan dari filsafat dan agama-agama Timur atau tradisi esoteris yang dicangkokkan pada psikologi Barat (Graham, 2005: 73).

Topik mengenai spiritualitas kemudian bermunculan dan menjadi cover story majalah terkenal di Amerika seperti USA Today dan Newsweek. Majalah Time pada tahun 2003 melaporkan bahwa di Amerika, meditasi diajarkan di sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, firma-firma hukum, institusi pemerintahan, kantor-kantor korporasi, dan penjara. Bahkan Hotel-hotel di wilyah Catskills, New York, berubah menjadi tempat-tempat meditasi dengan begitu cepat sehingga menurut Joel Stein, seorang penulis di Time, kawasan Borscht Belt beralih nama menjadi Buddhist Belt (Aburdene, 2006 : 7).

Fenomena di atas tidaklah mengherankan, karena Barat memang memiliki kerancuan dalam mengkonsepsikan spiritualitas dan agama disebabkan pemikiran mereka yang dualistik, yaitu memisahkan antara dunia material dan spiritual. Sebagian besar ahli psikologi Barat memandang spiritualitas bersifat personal dan berada pada ranah psikologis, sedangkan agama bersifat institusional dan pada ranah sosiologis. Beberapa menyatakan bahwa agama diasosiasikan dengan konservatif (conservatism) dan spiritualitas dikaitkan dengan keterbukaan untuk berubah (openes to change) (Hood, 2009 : 9-10). Konsekuensinya, spiritualitas bisa dicapai dengan atau tanpa melalui agama. Dalam konsep spiritual Barat, spiritualitas dapat dibangun melalui banyak cara, sebagai contoh, melalui agama, pemikiran, doa, meditasi atau ritual (Best, 2000 : 10).

Konsepsi Barat tentang spritualitas yang problematis telah melatarbelakangi munculnya model pendidikan dan pelatihan spiritual yang mengkombinasikan berbagai macam ajaran mistis, sains, psikologi, dalam rangka membangun kecerdasan spiritual (SQ) manusia. Konsep SQ sendiri lahir dari rahim Barat sehingga upaya-upaya meningkatkan kecerdasan spiritual ala Barat pada umumnya tidak mengajarkan manusia menjadi makhluk yang mengakui kebesaran Tuhan dan tunduk pada syariat yang diturunkan-Nya. Menurut Zohar, SQ merupakan perangkat kejiwaan hasil evolusi selama jutaan tahun, yang memungkinkan manusia modern melepaskan kerinduan spiritual mereka tanpa melalui agama formal. SQ adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta itu sendiri, begitu pendapat Zohar dalam bukunya Spiritual Intelligence yang telah diterjemahkan di Indonesia .

Dalam pandangan Islam, spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari Tuhan dan agama (religion). Spiritualitas hanya dapat diperoleh melalui jalan syariah Islam yang bersumber dalam al Quran dan Hadits serta telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sahabat dan generasi salafusalih. Jalan-jalan spiritualitas dengan mengabaikan syariah akan membuat pengikutnya jauh dari kebenaran Islam dan pelakunya tidak akan memperoleh kedamaian hakiki di dunia maupun akhirat.

Konsep kecerdasan spiritual dalam Islam juga sangat jauh berbeda dengan Barat karena SQ di Barat hanya berhenti pada kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari sesuatu yang besar yaitu alam semesta, sedangkan Islam menganggap alam semesta hanyalah makhluk Allah sebagaimana manusia, yang tunduk kepada aturan dan perintah Allah. Oleh karena itu tujuan pendidikan spiritual dalam Islam harus mampu membentuk individu-individu muslim yang paham hakikat eksistensinya di dunia ini serta tidak melupakan hari akhir dimana dirinya akan kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa pendidikan harus diarahkan kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah, dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. (***)

 

Written by Dinar Dewi Kania

http://www.insistnet.com

Hanung, Kau Keterlaluan: Pesantren dan Kiyai Begitu Kau Burukkan…….


Wawancara dengan tokoh sastrawan Taufik Ismail.

Tampaknya bangsa ini tidak kapok-kapok dengan sepak terjang kaum Komunis yang telah membunuh 100 juta manusia di 76 negara seluruh dunia selama 74 tahun kekuasaannya (1917-1991), atau 1,350 juta orang pertahun atau 3.702 orang perhari, sebagaimana disebutkan Taufiq Ismail dalam bukunya “Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba”.

Sementara di Indonesia kaum Komunis telah dua kali menggerakkan kudeta (1948 dan 1965) yang akhirnya gagal total.

Meski tindakannya selalu brutal dan menghalalkan segala cara, ternyata masih ada manusia Indonesia yang menjadi pengagum Komunisme bahkan berusaha memperjuangkannya melalui film-film yang selama ini dibuatnya, seperti yang dilakukan sutradara muda, Hanung Bramantyo, suami aktris Zaskia Adya Mecca, yang merupakan istri keduanya setelah ribut di Pengadilan Agama dengan istri pertama. Adapun film garapan Hanung yang sangat kental bau Komunisnya sekaligus Sepilis (Sekularis, Pluralis dan Liberalis) serta menghina Islam adalah Perempuan Berkalung Sorban (PBS). Saking kagumnya dengan Komunis, sampai-sampai ringtone hand phone Hanung bernada lagu khas Gerwani PKI, Genjer-Genjer. Hanung juga pernah membuat film yang sangat kental bau komunisnya, Lentera Merah, kalau diplesetkan menjadi Tentara Merah.

Film yang dibintangi aktris Revalina S Temat (Annisa) tersebut diambil dari Novel PBS karya Abidah El Khaleqy. Novel PBS sebelumnya mendapat penghargaan dari The Ford Foundation, sebuah NGO yang memperjuangkan faham Sepilis dan dikendalikan kaum Zionis Yahudi AS. Film tersebut mengisahkan kebobrokan pesantren dan kiyainya. Pesantren dan kiyainya dicitrakan kotor, sumber penyakit, sangat bengis, mudah main pukul, mengekang perempuan, mengekang hak berpendapat, menempatkan perempuan pada martabat yang rendah, suka main bakar buku-buku komunisme, suka main hukuman rajam secara serampangan dan sebagainya.

Dikisahkan, seorang santriwati yang juga putri kiyai pesantren, Annisa, dan tinggal di kompleks pesantren, frustasi karena ulah suaminya yang juga anak seorang kiyai yang sering melakukan kekerasan, akhirnya memutuskan untuk kembali dalam pelukan mantan pacarnya, Khudori, seorang alumnus sebuah perguruan tinggi di Kairo, Mesir. Bahkan Annisa yang sudah kebelet, mengajak Khudori untuk melakukan adegan ranjang di sebuah kandang kuda di pesantren tersebut, padahal kandang itu penuh dengan kotoran kuda. “Zinahi aku…Zinahi aku…!”, desak Annisa kepada Khudori sambil melepaskan jilbab dan pakaiannya satu persatu.

Ketika kedua insan lain jenis dan bukan suami istri tersebut sedang melakukan perzinahan, akhirnya datang rombongan santri dan suami Annisa mengerebeknya. Lalu keduanya mendapat hukuman rajam dengan dilempari batu oleh para santri. Lemparan batu baru berhenti setelah ibu Annisa berteriak sambil mengatakan, “ yang boleh melempar batu hanya orang yang tidak pernah melakukan dosa!”, padahal tidak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa. Kata-kata dari ibu Annisa ini jelas mengutip dari cerita Kristen dari Kitab Injil, dimana dikisahkan seorang pelacur, Magdalena, dihukum rajam dengan dilempari batu. Kemudian datang Nabi Isa (Yesus) untuk menyelamatkannya dengan mengatakan, “yang boleh merajam hanya yang tidak punya dosa”. Jadi selain berbau Sepilis dan Komunis, film PBS juga beraroma Kristiani dan berusaha menghancurkan Islam lewat pintu budaya melalui film.

Jelas dengan menampilkan hukuman rajam yang sebenarnya tidak ada dalam novel aslinya, Karl “Hanung” Mark ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk membenci syariat Islam dan pesantren, sebab sejak dulu pesantren merupakan basis terkemuka dalam melawan gerakan PKI di Indonesia. Padahal itu hanya utopia dirinya sendiri, sebab selama ini belum pernah ada satupun pesantren di Indonesia yang melakukan hukuman rajam kepada santrinya yang melakukan perzinahan. Seolah-olah pesantren merupakan negara dalam negara dengan menegakkan hukumnya sendiri. Jelas ini merupakan distorsi terhadap hukum Islam dan upaya mengadu domba umat Islam dengan pemerintah. Dengan membuat film PBS, sesungguhnya Karl “Hanung” Mark telah melakukan anarkhisme psikis, yakni melakukan penyerangan secara psikis terhadap umat Islam dan pesantren sebagai salah satu simbol Islam di Indonesia. Karena dendam terhadap pesantren yang telah berjasa menghancurkan PKI, maka Hanung menyalurkan perlawanannya lewat film PBS. Hanung dengan sengaja telah menebar virus ganas Sepilis dalam film, tujuannya untuk menimbulkan citra buruk terhadap Islam dan umatnya sambil menebalkan kantong koceknya.

Sebagaimana dalam film Lentera Merah, dalam film PBS Karl “Hanung” Mark all-out mendukung Komunisme alias PKI isme. Terbukti dalam film PBS ada adegan pembakaran buku-buku karya Karl Mark dan sastrawan kiri Pramoedya Ananta Toer seperti Bumi Manusia, oleh para santri di lingkungan pesantren. Padahal dalam novel aslinya, jalan cerita tersebut tidak ada sama sekali. Bahkan buku-buku karangan Pramoedya seperti Bumi Manusia dan Anak Segala Bangsa sepertinya dijadikan bacaan wajib bagi Annisa dan para santri lainnya. Hal ini menunjukkan Hanung selain pengagum Karl Mark juga pengagum Pramoedya. Padahal banyak sastrawan sekaliber Pramoedya dan karya-karyanya malah lebih bermutu seperti Buya Hamka. Mengapa Hanung tidak menjadikan buku-buku Buya Hamba sebagai bacaan wajib bagi Annisa dan para santri lainnya, justru buku sastrawan yang pernah menghuni penjara di Pulau Buru itu dijadikan bacaan wajib.

Dengan demikian, sudah sangat jelas dalam film PBS terdapat motif ideologi Komunis yang dimaksudkan untuk memperjuangkan kembali tegaknya Komunisme di Indonesia meski dalam bentuk lain. Hanung mafhum betul bahwa satu-satunya jalan untuk mengembalikan ajaran Komunisme di Indonesia adalah mendiskreditkan ajaran Islam dan umatnya, dimana sasaran pertamanya adalah pondok pesantren yang selama ini menjadi basis kaum Nahdhiyyin dengan memojokkan para kiyai NU.

Adapun sasaran berikutnya adalah mendiskreditkan para pemimpin Islam di Muhammadiyah. Sebab kedua Ormas Islam ini mempunyai pengikut terbesar di Indonesia. Maka tidaklah mengherankan jika Hanung akan meluncurkan film KH Ahmad Dahlan “Sang Pencerah” tepat pada pelaksaan Muktamar Muhammadiyah ke 46 di Jogjakarta 2-8 Juli ini. Namun anehnya justru para pemimpin Muhammadiyah tidak curiga sama sekali akan sepak terjang Hanung selama ini yang selalu mendiskreditkan Islam dan para pemimpin Islam seperti dalam film PBS. Sekarang sudah terbukti, pemeran utama sebagai KH Ahmad Dahlan dalam film “Sang Pencerah” adalah Lukman Sardi, putra seorang komponis muslim dan pemain biola kawakan Idris Sardi namun sekarang telah murtad dari Islam dan menjadi Kristen. Bayangkan, seorang ulama besar pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan kok diperankan oleh seorang murtad, jelas ini suatu penghinaan terang-terangan terhadap Islam dan Muhammadiyah itu sendiri. Apa Ketua Umum dan 12 Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang terpilih dalam Muktamar nanti tidak malu ketika melihat pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dilecehkan dan direndahkan pribadi dan martabatnya oleh Karl “Hanung” Mark ?

Berikut ini wawancara Tabloid Suara Islam dengan sastrawan, budayawan dan penyair kawakan yang telah melahirkan banyak karya lagu Islami dari Bimbo serta putra seorang ulama besar dari Pekalongan KH Ghofar Ismail, Taufiq Ismail, seputar film Perempuan Berkalung Sorban (PBS).

Pak Taufiq, anda sudah menonton film Perempuan Berkalung Sorban ?

Saya sudah nonton PBS.

Bagaimana kesan Pak Taufiq ?

Belum pernah selama saya ini menonton film, berapa puluh tahun lamanya, berapa ratus judul banyaknya, kalau dihitung-hitung sejak masa kanak-kanak dulu, berapa ya, sejak 63, 64 tahun lebih yang silam, belum pernah saya merasa dihina dan dilecehkan seperti sesudah menonton film Hanung ini.

Lho, kok sampai begitu, ya Pak ? Dihina ?

Ya ! Di dalam film itu, semua pesantren dan semua Kiyai jelek. Situasi pesantren kumuh, Kiyai-kiyai dengan keluarga digambarkan buruk. Kelakuan tak terpuji. Terasa fikiran utama yang mendasari pembuat film ini adalah spirit mencari cacat, membuka noda, memberi tahu penonton, ini lho yang reyot-reyot, yang sakit-sakit, yang pincang-pincang dari ummat Islam, tontonlah. Begitu.

Apakah ini film pertama yang Pak Taufiq tonton, yang terkesan menghina Islam ?

Tentu saja bukan yang pertama. Banyak film yang melecehkan ummat Islam, langsung tidak langsung, kentara dan tidak kentara. Tapi film-film itu dibuat di negeri lain, oleh orang-orang bukan Islam, dan memang dengan niat culas. Nah, PBS ini dibuat di dalam negeri, oleh sutradara bangsa sendiri. Ternyata niatnya sama juga. Culas.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa niatnya culas ?

Kalau niat Hanung baik, misalkan terhadap yang buruk-buruk itu dia mau mengeritik secara konstruktif, maka dia akan berikan perbandingan pesantren yang rapi indah, tidak kumuh dan dia tonjolkan tokoh Kiyai yang berwibawa, yang memancarkan sinar seperti lambang Muhammadiyah. Itu tak dilakukannya.

Pak Taufiq, bagaimana jalan cerita film Perempuan Berkalung Sorban itu, yang novel aslinya ditulis Abidah El Khaliqy ?

Wah, saya tidak mau jadi petugas humas Hanung itu, menjelas-jelaskan jalan cerita filmnya untuk pembaca. Buat apa? Itu bukan kerja saya. Anda sebagai wartawan, tuliskan sendiri ringkasan ceritanya. Itu tugas anda. Mengingatnya saja sudah muak saya.

Sudah sedemikian tidak nyamannya perasaan Pak Taufiq ?

Bukan saja tak nyaman. Muak. Mual. Anak muda ini mau menunjukkan dirinya kreatif, super-liberal, berfikiran luas, tapi dengan mendedahkan kekurangan-kekurangan dan cacat-cela ummat, yang dilakukannya dengan senang hati. Bahkan mengarang-ngarang hal yang tidak ada.

Misalnya bagaimana ?

Misalnya diada-adakannya adegan rajam. Di pesantren tidak ada hukuman rajam terhadap pelaku zina seperti fantasi dalam kepala Hanung itu. Kemudian tokoh Nyai, isteri Kiyai lewat dialog memberi komentar tentang hal itu dengan mengutip Injil tentang Maria Magdalena. Apa hubungannya itu? Kenapa harus diambil dari khazanah Kristen? Pengambilan khazanah Kristen bisa saja, tapi baru masuk akal kalau sebelumnya ada pendahuluan reasoning, ada pemaparan logikanya. Ini tidak ada. Mendadak saja, ujug-ujug, kata orang Pekalongan. Kentara betul Hanung mau tampak hebat, memperagakan luas horison pandangannya. Sok betul. Sombong.

Apakah di novel aslinya ada adegan rajam itu ?

Mboten wonten, Mas. Tidak ada. Di sini terjadi improvisasi sutradara. Dan ini improvisasi yang kurang ajar. Maaf keras betul kalimat saya. Maaf. Di bagian ini Hanung tidak minta permisi pada novelis Abidah El Khaliqy, tidak amit-amit. Dia main terjang saja. Dia tidak kenal etik.

Apakah penambahan jalan cerita atau improvisasi harus izin novelisnya ?

Tidak harus begitu. Tergantung bentuk kontrak juga. Tapi sebagai sesama seniman dalam kreasi karya bersama begini, paling tidak harus ada diskusi. Diskusi tersebut dalam hal ini tidak ada.

Tidak ada ? Bagaimana Pak Taufiq tahu ?

Saya pernah tanya Abidah. Mereka pernah ada diskusi tentang esensi cerita, mengenai feminisme, tentang kehidupan pesantren, tetapi mengenai rajam tidak ada. Lalu…

Lalu bagaimana, Pak Taufiq ?

Lalu dia tabrak saja, jebret, bikin adegan rajam. Lantas fantasi dusta berikutnya yang menyolok adalah adegan pembakaran buku di pesantren itu. Di novel Abidah tak ada adegan pembakaran buku. Abidah lebih logis dan tidak sok seperti Hanung.

Seingat saya pembakaran buku pengarang-pengarang anti komunis dilakukan PKI dan ormas-ormasnya di tahun 1964 atau 1965, betul Pak ?

Betul sekali. Nah, di pesantren itu, di kelompok santri, ada diskusi buku. Dibicarakan tentang pengarang yang tertindas, ditahan tanpa diadili, tapi tetap kreatif, tetap menulis buku. Yang dimaksud adalah Pramudya Ananta Tur. Diperlihatkan kulit buku novel Bumi Manusia, yang dilemparkan ke dalam unggun. Adegan ini dibikin-bikin, dan bodoh betul.

Maksudnya ?

Pertama, adegan ini dalam novel tak ada. Jadi ini keluar dari otak Hanung sendiri, tanpa permisi novelisnya. Kedua, kalau dia betul-betul anak Muhammadiyah, maka pengarang yang tertindas, ditahan tanpa diadili 2,5 tahun, tapi tetap kreatif, menulis buku, maka pengarang itu adalah Buya Hamka. Bukan Pramudya. Yang wajib disebut adalah Buya Hamka. Hanung ini, yang mengaku-ngaku anak Muhammadiyah, ternyata buta sejarah perjuangan tokoh besar Muhammadiyah ini. Karya luar biasa Buya Hamka tersebut adalah Tafsir Al Qur’an Al-Azhar, yang dirampungkannya dalam tahanan, selesai 30 juz, dikagumi seluruh dunia Islam.

Kalau begitu Hanung keliru besar, menokohkan Pram dalam hal ini ?

Sangat keliru ! Tapi memang pada dasarnya dia kekiri-kirian, mode anak muda zaman kini, tidak sadar mengangkat diri sendiri jadi agen muda Palu Arit. Lagi-lagi Hanung rabun sastra: Pramudya tahun 50-an 60-an dalam karya-karyanya sinis terhadap orang sholat, benci kepada haji. Tokoh-tokoh haji dalam novel-novelnya buruk semua: mindring, kaya, bakhil, membungakan uang. Tapi di luar ini semua, menjelang meninggalnya, tanda-tanda menunjukkan Pramudya khusnul khatimah. Alhamdulillah. Mudah-mudahanlah Pram beroleh hidayah. Allah berbuat sekehendak-Nya.

Kembali kepada rasa tidak nyaman Pak Taufiq tadi…

Lebih dari tidak nyaman. Muak. Mual.

Silakan kalimat penutup, Pak.

Saya merasa dihina dan dilecehkan oleh film Perempuan Berkalung Sorban, disutradarai Hanung Bramantyo, yang menistakan lembaga pesantren dan tokoh Kyai, waratsatul anbiya, berlindung di balik topeng kebebasan kreasi dengan sejumlah improvisasi yang bodoh dalam semangat super-liberal. Para aktivis seni Marxis-Leninis-Stalinis-Maois saja di tahun 50-an 60-an tidak ada yang bisa membuat film pelecehan pesantren dan Kiyai seperti yang dilakukan Hanung di abad 21 ini. Kalau dia sudah beredar lima dasawarsa yang lalu, maka Hanung Bramantyo bagus diusulkan mendapat Bintang Joseph Stalin atau Anugerah Dipa Nusantara Aidit.

[Suara-Islam.Com]

Al Qur’an


Brad Thor, seorang penulis novel yang produkif. Tulisannya yang agak mutakhir berjudul The Last Patriot, Thriller. Detail mengenai novel ini tidak penting. Tapi yang aneh karya fiksi ini memasukkan fakta-fakta sejarah Islam yang difiksikan atau dikarangnya sendiri. Ia misalnya menulis bahwa “pada bulan juni 632 Nabi Muhammad menerima wahyu terakhir. Dalam beberapa hari (kemudian) ia terbunuh”. Selain itu ia juga menyatakan bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad hilang. Tapi, di akhir buku itu, dalam Author’s Note ia menulis bahwa “pendapat tentangnya hilangnya wahyu Muhammad itu adalah karangan saya” dan pendapat tentang terbunuhnya Muhammad oleh sahabatnya itu adalah rekayasa saya (meskipun ada bukti bahwa Muhammad itu dibunuh)”.


Dalam novel itu Brad Thor mengaku bahwa diantara yang menjadi konsultannya adalah tentang Islam adalah Daniel Pipes dan Robert Spencer. Kedua konsultan ini banyak menulis Islam secara negatif. Robert Spencer menulis buku berjudul Islam Unveiled (DiIndonesiakan dan diterbitkan oleh Paramadina menjadi Islam Ditelanjangi).

Di dalam buku ini ia menggambarkan bahwa al-Qur’an tidak punya konsep damai dengan kafir and musyrik. Ia juga menyitir ayat-ayat perang terhadap kafir dan juga ahlul kitab. Itu berarti bahwa inti dari ajaran Islam, yakni al-Qur’an memang sudah memusuhi orang kafir. Bahkan dia menolak pernyataan Harun Yahya bahwa al-Qur’an buka sumber kekerasan. Kisah-kisah pembunuhan di zaman Nabi terhadap musuh-musuh Islam (yang berlum jelas kesahihannya) dibeberkan. Masih banyak lagi. Selain mengorek apakah Islam itu agama damai, ia juga “memojokkan” Islam dalam soal HAM dan soal Perempuan. Pendek kata Spencer melihat secara khusus sisi negatif Islam dari pemahamannya sendiri dan tidak menyebut sisi positifnya. Ini seperti memberi tahu orang Barat bahwa Islam adalah masalah besar bagi Barat.

Solusi yang ditawarkan Robert secara implisit muncul dalam bentuk pertanyaan: Apakah Islam kompatibel dengan Demokrasi Liberal? Dapatkah Islam Disekularkan, Dicocokkan dengan Pluralisme Barat? Apakah Islam toleran terhadap non-Muslim? Jawaban dari dua pertanyaan pertama adalah positif, sedangkan jawaban pertanyaan terakhir adalah negatif. Artinya, solusi masalahnya, Islam harus di Baratkan, disekularkan atau diliberalkan. Robert Spencer seperti menegaskan bahwa masalah terbesar hubungan Islam dan Barat adalah al-Qur’an itu sendiri. Dan mustahil terjadi rekonsiliasi dengan Islam. Jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah mem-Barat-kan, mensekularkan, meliberalkan Muslim. Dan ini sudah berhasil di beberapa kasus. Sejatinya, pembakaran al-Qur’an oleh John Terry atau siapapun tidak berdampak apa-apa bagi Muslim. Orang masih bisa mencetak lagi. Kita perlu marah karena ghirah kita, karena keimanan kita dan karena merusak sesuatu yang kita sucikan. Jangankan al-Qur’an bendera kita dibakar pun mengundang demo besar-besaran. Bagi yang tidak demo akan dicap rendah jiwa patriotismenya dan lemah nasionalismenya. Memang mendemo pembakar Qur’an perlu, supaya tahu arti kitab suci bagi Muslim. Namun, yang lebih perlu adalah mendemo tulisan orientalis dan murid-muridnya yang merusak aqidah, menafikan syariah dan merendahkan status al-Qur’an dari wahyu menjadi sekedar “karangan” Nabi Muhammad. Karena menyerang ajaran al-Qur’an itu lebih dahsyat dari sekedar membakar mushaf al-Qur’an. Al-Qur’an adalah ilmu dan ilmu itu cahaya, karena itu cahaya itu harus diperjuangkan agar tetap hidup dalam diri kita.

http://www.insistnet.com

Untuk Apa Gereja Didirikan?


oleh: Adian Husaini

KASUS penyegelan rumah milik jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing Bekasi, Jawa Barat, akhirnya berbuntut panjang. Jemaat HKBP tidak terima dengan keputusan pemerintah dan melakukan berbagai aksi demonstratif, yang akhirnya berujung pada insiden bentrokan jemaat HKBP dengan warga Muslim Bekasi. Sebagian kalangan kemudian mengangkat dan membesar-besarkan kasus ini sampai ke dunia internasional, sehingga memberikan citra negatif terhadap Indonesia.

Citra buruk yang tampaknya ingin dibentuk adalah bahwa seolah-olah negeri Muslim terbesar di dunia ini merupakan satu bangsa yang tidak beradab yang tidak menghargai kebebasan beragama; seolah-olah, kaum Kristen di Indonesia merupakan kaum yang tertindas. Sejumlah aktivis Kristen di Indonesia tergolong rajin memanfaatkan momentum kasus-kasus konflik soal pendirian gereja, menjadi komoditi yang berharga untuk membentuk citra buruk bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim.

Ujung-ujungnya, muncul tekanan dari berbagai Negara atau kelompok di luar negeri, agar Indonesia memberikan ruang kebebasan beragama yang lebih besar kepada golongan minoritas Kristen.  Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) mengeluarkan data, yang menurut mereka, dalam tahun 2007 ada 100 buah gereja yang diganggu atau dipaksa untuk ditutup. Tahun 2008,  ada 40 buah gereja yang mendapat gangguan. Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah gereja yang diganggu atau dibakar di Bekasi, Depok,  Parung, Purwakarta, Cianjur, Tangerang , Jakarta , Temanggung dan  Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas (Sumatera Utara).

Menurut data FFKJ tersebut, selama masa pemerintahan Presiden Sukarno (1945 – 1966) hanya ada 2 buah gereja yang dibakar. Pada era pemerintahan Presiden Suharto (1966 – 1998) ada 456 gereja yang dirusak atau dibakar.  Pada periode 1965-1974, kata FKKJ, “hanya”  46 buah gereja yang dirusak atau dibakar. Sedangkan dari tahun 1975 atau masa setelah diberlakukannya SKB  2 Menteri tahun 1969 hingga saat lengsernya Suharto tahun 1998, angka gereja yang dirusak atau dibakar sebanyak 410 buah .

Jadi, menurut catatan FKKJ  hingga awal tahun 2010, telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan ditutup. “Jadi kita menemukan angka perusakan gereja untuk masa reformasi paska Suharto sebanyak 740  buah,” tulis siaran pers FKKJ yang ditandatangani oleh Theophilus Bela dan Gustav Dupe.

Mungkin banyak pihak yang tercengang melihat besarnya angka perusakan gereja di Indonesia. Sangat fantastis. Sayangnya, pihak FKKJ tidak menyajikan analisis yang komprehensif tentang data tersebut. Benarkah yang dirusak itu memang gereja? Mengapa hal itu terjadi? Umat Islam bisa saja membuat data, berapa ribu masjid dan mushola yang dirusak dan digusur oleh developer Kristen! Juga, mestinya ada analisis, mengapa sudah begitu banyak gereja yang dirusak, tetapi pertumbuhan gereja di Indonesia juga sangat fantastis?

Analisis yang komprehensif sangat diperlukan jika kita ingin menyelesaikan masalah secara mendasar, bukan sekedar memanfaatkan kasus-kasus untuk tujuan tertentu. Apalagi, dalam siaran pers FKKJ itu juga disebutkan, seolah-olah biang keladi semua itu adalah adanya SKB dua menteri tahun 1969 yang mengatur pendirian rumah ibadah. Pihak Kristen. Khususnya kelomok-kelompok evangelis,  tidak mau terbuka, bahwa sebenarnya pendirian Gereja bukanlah sekedar persoalan tempat ibadah belaka, tetapi terkait dengan misi mereka untuk mengkristenkan Indonesia. Keterbukaan dan dialog ini sangat penting, sebab kedudukan dan fungsi Gereja bagi kaum Kristen  berbeda dengan kedudukan dan fungsi masjid bagi umat Islam.

Kaum Muslim mendirikan masjid karena dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Aturan-aturan tentang kemasjidan sangat jelas dalam Kitab Suci umat Islam dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Bagi kaum Muslim, Masjid digunakan shalat lima waktu dalam sehari. Kaum Muslim juga bisa shalat di masjid mana saja, selama bukan masjid aliran sesat. Sementara kaum Kristen tidak bisa sembahyang di Gereja sekte apa saja, karena beda tata cara ritual. Perbedaan-perbedaan semacam itu seyogyanya dipahami, agar dapat dicarikan solusi yang komprehensif.

Misi Gereja

Apa sebenarnya misi dan tujuan suatu gereja didirikan?

Tahun 1964, tokoh Kristen  Batak, Dr. Walter  Bonar Sidjabat, menerbitkan buku berjudul Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964).  Melalui bukunya ini, Dr. Sidjabat menegaskan misi sejati kehadiran Kristen dan Gereja-gereja mereka di seluruh pelosok Indonesia.

Dalam pengantar bukunya, ia menulis:

“Kita terpanggil untuk mengikrarkan iman kita di daerah-daerah berpenduduk berambut keriting, berombak-ombak dan lurus-lurus, di tengah penduduk berkulit coklat, coklat tua, kuning langsat dan sebagainya. Guna penuaian panggilan inilah gereja-gereja kita berserak-serak di seluruh penjuru Nusantara agar rakyat  yang  “bhineka tunggal ika”,  yang terdiri dari penganut berbagai agama dan ideologi dapat mengenal dan mengikuti Yesus Kristus.” (Kutipan-kutipan dari buku Dr. Sidjabat dalam artikel ini telah disesuaikan dengan EYD).

Mengikuti pemikiran tokoh Kristen Batak ini, bisa dipahami bahwa kehadiran sebuah gereja bagi kaum Kristen bukanlah sekedar persoalan “kebebasan beribadah” atau “kebebasan beragama”. Banyak kalangan Muslim dan mungkin juga kaum Kristen sendiri yang tidak paham akan eksistensi sebuah gereja. Bahwa, menurut kaum Kristen, pendirian sebuah gereja bukan sekedar  pendirian sebuah tempat ibadah, tetapi juga bagian dari sebuah pekerjaan Misi Kristen; agar masyarakat di sekitarnya “mengenal dan mengikuti Yesus Kristus”.

Dikatakan dalam buku ini: “Di atas Gereja terletak tugas pekabaran Injil. Pekabaran Injil adalah dinamis. Secara dinamis Gereja bertanggung jawab akan pekabaran Injil ke dalam, kepada orang-orang yang telah menjadi anggota-anggota tubuh Kristus (“ecclesia”) dan keluar, kepada orang-orang yang sedang menunggu, mengabaikan, menolak atau tidak acuh terhadap Yesus sebagai Juruselamat mereka.” (hal. 41).

Sementara itu, bagi kaum Muslim yang sadar akan keislamannya, persoalan misi Kristen, bukanlah masalah sepele.  Orang yang berganti agama, keluar dari agama Islam, dalam pandangan Islam disebut orang yang murtad dan kafir. Amal perbuatan mereka tidak diterima oleh Allah. (QS 2:217, 24:39).  Al-Quran juga menegaskan, bahwa Allah SWT sangat murka jika dikatakan Dia mempunyai anak. (QS 19:88-91). Dan orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah salah satu dari tiga oknum, maka orang itu disebut telah kafir (QS 5:72-75).

Dalam menjalankan misi mereka di dunia Islam, kaum Kristen sadar benar akan tantangan berat yang datang dari umat Islam. Sebab, memang, Islam adalah satu-satunya agama yang Kitab Sucinya (al-Quran) memberikan koreksi secara mendasar terhadap dasar-dasar teologi Kristen. (QS 4:157).  Karena itulah, dalam bukunya,  Dr. Sidjabat secara khusus, menguraikan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, yang dinilainya merupakan tantangan berat bagi perkembangan misi Kristen di Indonesia. Sidjabat mengimbau Kaum Kristen di Indonesia tidak surut langkah dalam menjalankan misi mereka. Bahkan, kalau perlu melakukan konfrontasi. Maka, simaklah pesan-pesan penting Sidjabat kepada kaum Kristen Indonesia berikut ini:

“Saudara-saudara, kenyataan-kenyataan jang saya telah paparkan ini telah menunjukkan adanya suatu tantangan jang hebat sekali untuk ummat Kristen. Sudah pasti bahwa yang dapat  saya rumuskan pada lembaran-lembaran ini hanya sebagian kecil dari realita Islam di Indonesia. Dalam hubungan ini saya hendak menunjukkan kepada ummat Kristen bahwa sekarang ini jumlah yang menunggu-nunggu Injil Kristus Yesus jauh lebih banyak daripada jumlah jang dihadapi oleh Rasul-rasul pada abad pertama tarich Masehi. Dan perlu diketengahkan bahwa jumlah tadi tidaklah hanya “jumlah” bilangan saja, tetapi manusia-manusia yang hidup, yang ingin mengetahui nilainya dan yang haus akan pengetahuan tentang haluan hidupnya, kemana ummat Islam Indonesia juga tergolong.

Di Indonesia ini, hal yang saya utarakan itu dapat dengan terang dilihat dan dihayati. Menurut pertimbangan secara insani,  penduduk Indonesia masih terus lagi akan merupakan penduduk yang sebagian besar beragama Islam, sekalipun banyak yang sudah beralih kepada agama atau aliran lain, antara lain: agama Buddha, Komunisme, aliran kebatinan yang lepas dari Islam, ateisme dan lain-lain. Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus menghadapi “challenge” Islam di negara gugusan ini…

Seluruhnya ini menunjukkan bahwa pertemuan Injil dengan Islam dalam bidang-cakup yang lebih luas sudah “dimulai”. Saya bilang “dimulai”, bukan dengan melupakan Pekabaran Injil kepada ummat Islam sejak abad jang ketudjuh, melainkan karena kalau kita perhatikan dengan seksama maka “konfrontasi” Injil dan agama-agama di dunia ini dalam bidang-cakup yang seluas-luasnya, dan dalam hal ini dengan Islam, barulah “dimulai” dewasa ini secara mendalam. Dan bagi orang-orang yang berkeyakinan atas kuasa Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roch Kudus, setiap konfrontasi seperti ini akan selalu dipandangnya sebagai undangan untuk turut mengerahkan jiwa dan raga memenuhi tugas demi kemuliaan Allah.”

*****

Membaca pemikiran tokoh Kristen Batak seperti ini, kaum Muslim Indonesia tentu memahami, bahwa sejak awal mula misi dijalankan, Gereja sudah menyiapkan diri untuk melakukan konfrontasi, khususnya dengan umat Islam. Bahkan, konfrontasi itu harus dilakukan dengan mengerahkan jiwa dan raga demi kemuliaan Tuhan.

Dalam konteks semacam inilah, barangkali kita bisa memahami, mengapa kaum Kristen senantiasa menolak  berbagai peraturan yang mengatur tatacara pendirian rumah ibadah dan penyebaran agama, meskipun peraturan itu juga menjerat kaum Muslim di daerah-daerah minoritas Muslim.

Dalam konteks inilah kita juga memahami militansi sikap jemaat HKBP Ciketing Bekasi.  Juga, kita paham, mengapa kaum Kristen Indonesia – dari berbagai sekte dan agama – seperti bersatu dalam menyikapi kasus HKBP Ciketing  dan berusaha menyeret kasus ini ke isu “kebebasan beragama” dan “pluralisme”. Meskipun Gereja-gereja terus tumbuh bak cendawan di musim hujan, senantiasa dicitrakan, kaum Kristen adalah umat tertindas dan tidak punya kebebasan beragama di negeri Muslim terbesar ini.

Justru, yang sulit kita pahami adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi – sadar atau tidak – telah menempatkan dirinya menjadi “jubir”  Gereja Kristen Batak, dengan imbalan meraih gelar kehormatan “Tokoh Pluralis” dan sejenisnya.

Padahal, ambisi kalangan Kristen untuk mengkristenkan Indonesia belum pernah berakhir. Pada Catatan Akhir Pekan ke-281, kita membahas ambisi dari sekelompok kaum Kristen evangelis yang memasang target tahun 2020 sebagai masa “panen raya”. Sebuah buku berjudul Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum misionaris Kristen di Indonesia tersebut. Ditegaskan dalam buku tersebut:

”Indonesia merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya, Indonesia siap mengalami transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, namun suatu pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki prakondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang Ia rencanakan.”

Inilah tekad kaum misionaris Kristen untuk mengkristenkan Indonesia. Segala daya upaya mereka kerahkan. Gereja-gereja terus dibangun di mana-mana untuk memuluskan misi mereka. Gereja-gereja dan gerakan misi terus bergerak untuk meraih tujuan, yang ditegaskan pada sampul belakang buku ini: ”supaya semua gereja yang ada di Indonesia dapat bersatu sehingga Indonesia dapat mengalami transformasi dan dimenangkan bagi Kristus.”

Menghadapi serbuan kaum misionaris tersebut, seharusnya kaum Muslim tidak perlu berkecil hati. Sudah saatnya umat Islam tidak bersikap menunggu dan defensif. Mungkin sudah tiba masanya, organisasi-organisasi Islam mencetak dai-dai yang tangguh, cerdas, berani, santun, dan ramah, untuk menyadarkan para pendeta Kristen dan tokoh-tokohnya, bahwa mereka sedang memeluk keyakinan yang salah (sesat/adh-dhalliin). Ajaklah mereka untuk menyembah Allah semata-mata, tidak menserikatkan Allah dengan yang lain, dan mengakui kenabian Muhammad saw. Jangan menyatakan Allah punya anak.

Jika mereka menolak, katakanlah, kami orang-orang Muslim; kita hormati keyakinan mereka, meskipun kita tidak membenarkannya. Sebab, tugas umat Muhammad saw hanyalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksakan. Di akhirat nanti, akan terbukti, siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebagai Muslim, kita yakin, bahwa kita benar! [depok, September 2010]

Belajar Fisika Secara Islami



Jurnal Islamia-Republika, Kamis (19/8/2010) mengangkat tema menarik tentang “Bagaimana Belajar Ilmu Fisika Secara Islami”.  Sebagian orang menduga bahwa  ilmu alam bersifat netral agama. Siapa saja belajar fisika, beragama apa pun dia, hasilnya tetap sama. Listrik akan tetap menyala, ketika saklar dipencet. Siapa pun yang memencet, apakah dia muslim atau kafir, hasilnya tetap sama saja. Jadi, wajar jika ada yang bertanya, apa ada cara belajar Ilmu Fisika yang Islami?

Pertanyaan itulah yang dijawab Usep Muhamamd Ishad, kandidat Doktor Ilmu Fisika di ITB Bandung, yang juga peneliti INSISTS.

Dalam artikelnya, Usep menguraikan, bahwa yang sebenarnya perlu diislamkan saat belajar Ilmu Fisika adalah pikiran pelajar, mahasiswa, atau peneliti saat menghadapi fenomena alam.

Seorang Muslim melihat alam semesta ini sebagai “ayat-ayat Allah”, karena itu saat mengamati dan meneliti fenomena alam, mereka bukan saja berusaha mendapatkan temuan-temuan baru di bidang sains, tetapi juga meyakini bahwa di balik alam semesta yang begitu teratur ini ada Yang Maha Pencipta (Al-Khaliq).

Dalam Islam, tujuan utama dari setiap pendidikan dan ilmu adalah tercapainya ma’rifatullah (mengenal Allah, Sang Pencipta), serta lahirnya manusia beradab, yakni manusia yang mampu mengenal segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah.

“Tak terkecuali saat seorang Muslim mempelajari Ilmu Fisika. Ia tak hanya bertujuan semata-mata untuk menghasilkan terobosan-terobosan sains atau temuan-temuan ilmiah baru; bukan pula menghasilkan tumpukan jurnal-jurnal ilmiah semata-mata atau gelimang harta kekayaan saja. Tapi, lebih dari itu, seorang Muslim melihat alam semesta sebagai ayat-ayat Alllah.

“Ayat” adalah tanda.Tanda untuk menuntun kepada yang ditandai, yakni wujudnya al-Khaliq. Allah menurunkan ayat-ayat-Nya kepada manusia dalam dua bentuk, yaitu ayat tanziliyah (wahyu yang verbal, seperti al-Quran) dan ayat-ayat kauniyah, yakni alam semesta. Bahkan, dalam tubuh manusia itu sendiri, terdapat ayat-ayat Allah,” tulis Usep yang pernah meraih juara I dalam lomba penulisan buku Fisika untuk SLTA yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.

Tujuan belajar untuk sampai pada ‘ma’rifatullah’ memang sangat ditekankan, sebab Allah memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang tidak mampu menggunakan potensi inderawi dan akalnya untuk mengenal Sang Pencipta. Mereka disebut sebagai calon penghuni neraka jahannam dan disejajarkan kedudukannya dengan binatang ternak, bahkan lebih hina lagi (QS 7:179).

Cobalah perhatikan sifat-sifat binatang ternak. Manusia yang pandai, tetapi tidak dapat mengenal Tuhannya, akhirnya disamakan sifat-sifatnya dengan binatang! Mengapa? Sebab, pada hakekatnya, jika manusia tidak mengenal Tuhan, maka perilakunya akan sama dengan binatang. Mereka hanya akan menuruti syahwat demi syahwat dalam kehidupannya. Lihatlah,  binatang ternak, ia bekerja secara profesional sesuai bidangnya masing-masing. Dengan itu, ia mendapat imbalan untuk menuruti syahwat-syahwatnya. Makan kenyang, bersenang-senang, istirahat, lalu mati.


“Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan-makan (di dunia) seperti layaknya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.”
(QS 47:12).

****

Jadi, menurut pakar Fisika dari ITB ini, mempelajari Ilmu Fisika secara Islami harus dimulai dari mengislamkan fikiran si fisikawan itu sendiri. Cara pandangnya terhadap alam harus “diislamkan”. Ia tidak boleh memandang alam semesta ini sebagai objek yang netral dan bebas dari unsur-unsur ketuhanan. Sebab, alam semesta ini adalah makhluk Allah, sehingga tidak dapat diperlakukan semena-mena. Inilah yang dalam bahasa ilmiah, si fisikawan harus mempunyai worldview (pandangan alam) yang Islami.

Jadi alam semesta ini tidak dipelajari semata-mata karena alam itu sendiri, namun alam diteliti karena ia menunjukkan pada sesuatu yang dituju yaitu mengenal Pencipta alam tersebut. Sebab alam adalah “ayat” (tanda).

Fisikawan yang mempelajari alam lalu berhenti pada fakta-fakta dan data-data  ilmiah, tak ubahnya seperti pengendara yang memperhatikan petunjuk jalan, lalu ia hanya memperhatikan detail-detail tulisan dan warna rambu-rambu itu. Ia lupa bahwa rambu-rambu itu sedang menunjukkannya pada sesuatu.

Ketercerabutan “makna” dan peran alam sebagai “ayat”, sesungguhnya merupakan dampak dari sekularisme sebagaimana disebutkan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karya besarnya,  Islam and Secularism. Sekularisme telah menyebabkan dicabutnya kesakralan alam dan hilangnya pesona dari alam tabii (disenchantment of nature). Akibatnya alam tak lebih dari sekedar objek, tak punya makna dan tak ada nilai spiritual.

*****

Para fisikawan Muslim – dan juga ilmuwan Muslim lainnya – wajib memiliki adab terhadap alam. Adab terhadap alam lahir dari pandangan-alam Islam (Islamic worldview). Dengannya,  seorang saintis akan memperlakukan dan memanfaatkan alam dengan adab yang benar. Lalu lahirlah konsep sikap ramah lingkungan yang Islami, yang didasarkan bukan semata-mata karena alasan keterbatasan sumber daya alam, namun kesadaran bahwa alam ini bukanlah milik manusia, namun ia adalah amanah dan sekaligus juga ayat-ayat Allah. Hanya dengan pandangan-alam seperti inilah, akan lahir manusia beradab dan berakhlak, seperti yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan kita saat ini.

Prof. Naquib al-Attas mengingatkan, hilangnya adab terhadap alam – sebagai ayat-ayat Allah – inilah yang telah menyebabkan kerusakan besar di alam semesta. Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia, alam mengalami kerusakan seperti saat ini, di mana ilmu pengetahuan sekuler merajai dunia ilmu pengetahuan. Akar kerusakan ini adalah ilmu pengetahuan (knowledge)  yang disebarkan Barat, yang telah kehilangan tujuan yang benar.

Ilmu yang salah itulah yang menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; ilmu yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism). Bahkan ilmu pengetahuan sekuler ini untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the Three Kingdom of Nature’ yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.

Menurut al-Attas, dalam peradaban Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised).  (Lihat, Jennifer  M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002), 2:231-240).

Sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan sangat pesat, Ilmu Fisika terbukti telah membawa banyak manfaat bagi umat manusia. Wajib sebagian kaum Muslim menguasai ilmu ini. Tetapi, cara pandang dan cara belajar seorang Muslim akan berbeda dengan yang lain. Sebab, bagi Muslim, alam semesta adalah ayat-ayat Allah, yang dipelajari – bukan sekedar untuk mengungkap temuan-temuan baru – tetapi juga untuk mengenal Sang Pancipta.

Demikian rangkuman pemikiran dari Usep Muhamamd Ishaq, pakar Fisika dari ITB, yang sedang berjuang bersama teman-temannya untuk membudayakan bagaimana cara belajar Ilmu Fisika secara islami.

***

Artikel menarik lain yang terbit di Jurnal Islamia-Republika edisi tersebut ditulis oleh John Adler, yang juga kandidat Doktor Ilmu Fisika dari ITB.  Dalam artiikelnya yang berjudul Fisikawan Muslim Mengukir Sejarah, John Adler menguraikan riwayat singkat dan prestasi besar sejumlah Fisikawan Muslim yang sangat besar peranannya dalam pengembangan ilmu Fisika. Bahkan, mereka menjadi sumber inspirasi dan ilmu bagi sejumlah ilmuwan Barat.

Sejarah membuktikan, kontribusi Ilmuwan Muslim dalam bidang Fisika sangatlah besar. Kaya-karya ilmuwan Muslim dalam bidang Fisika, baik yang klasik maupun modern, bisa dikatakan sangat melimpah. Cobalah renungkan, apa yang ada di benak Anda ketika mengenal “kamera”?

Banyak pelajar Muslim yang mungkin tak kenal sama sekali, bahwa perkembangan teknologi kamera tak bisa dilepaskan dari jasa seorang ahli fisika eksperimentalis pada abad ke-11, yaitu  Ibn al-Haytham. Ia adalah seorang pakar optic, pencetus metode eksperimen. Bukunya tentang teori optic, al-Manazir, khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh Snell dalam bentuk yang lebih matematis.

Tak tertutup kemungkinan, teori Newton juga dipengaruhi oleh al-Haytham, sebab pada Abad Pertengahan Eropa, teori optiknya sudah sangat dikenal. Karyanya banyak dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16 sampai 17, Isaac Newton dan Galileo Galilei, menggabungkan teori al-Haytham dengan temuan mereka. Juga teori konvergensi cahaya tentang cahaya putih terdiri dari beragam warna cahaya yang ditemukan oleh Newton,  juga telah diungkap oleh al-Haytham abad ke-11 dan muridnya Kamal ad-Din abad ke-14.


Al-Haytham dikenal juga sebagai pembuat perangkat yang disebut sebagai Camera Obscura atau “pinhole camera”. Kata “kamera” sendiri, konon berasal dari kata “qamara”, yang bermakna “yang diterangi”. Kamera al-Haytham memang berbentuk bilik gelam yang diterangi berkas cahaya dari lubang di salah satu sisinya.

Dalam alat optik, ilmuwanInggris, Roger Bacon (1292) menyederhanakan bentuk hasil kerja al-Haytham, tentang kegunaan lensa kaca untuk membantu penglihatan, dan pada waktu bersamaan kacamata dibuat dan digunakan di Cina dan Eropa.

Faktanya, Ibn Firnas dari Spanyol sudah membuat kacamata dan menjualnya keseluruh Spanyol pada abad ke-9. Christoper Colombus ternyata menggunakan kompas yang dibuat oleh para ilmuwan Muslim Spanyol sebagai penunjuk arah saat menemukan benua Amerika.

Fisikawan lain,  Abdurrahman Al-Khazini, saintis kelahiran Bizantium atau Yunani ini adalah seorang penemu jam air sebagai alat pengukur waktu.


Para sejarawan sains telah menempatkan al-Khazini dalam posisi yang sangat terhormat. Ia merupakan saintis Muslim serba bisa yang menguasai astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika dan filsafat. Sederet buah pikir yang dicetuskannya tetap abadi sepanjang zaman. Al-Khazini juga seorang ilmuwan yang telah mencetuskan beragam teori penting dalam sains.  Ia hidup di masa Dinasti Seljuk Turki. Melalui karyanya, Kitab Mizan al-Hikmah, yang ditulis pada tahun 1121-1122 M, ia menjelaskan perbedaan antara gaya, massa, dan berat, serta menunjukkan bahwa berat udara berkurang menurut ketinggian.

Meski kepandaiannya sangat dikagumi dan berpengaruh, al-Khazini tak silau dengan kekayaan.  Zaimeche menyebutkan al-Khazini menolak dan mengembalikan hadiah 1.000 keping emas (dinar) dari seorang istri  Emir Seljuk. Ia hanya merasa cukup dengan uang 3 dinar dalam setahun. Salah satu ilmuwan Barat yang banyak terpengaruh adalah Gregory Choniades, astronom Yunani yang meninggal pada abad ke-13. Demikianlah fakta sejarah tentang prestasi para ilmuwan Muslim yang dipaparkan oleh John Adler.

Begitu besar peranan mereka  dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sayang sekali, fakta semacam ini, masih jarang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. [Depok, Agustus 2010/hidayatullah.com]