SPIRITUALITAS KADER | Seni Menciptakan Karakter Manusia bag-3
Selama ini yang sering disebut-sebut sebagai tujuan tarbiyah Islamiyah adalah menciptakan insan kaamil dan yang disebut al insanul-kamil adalah al-insaanul-mlaaikiyyun. Sementara dalam kenyataanya, tidak ada manusia yang menyerupai malaikat. Sebagian dari sifat malaikat memang ada di dalam diri manusia, namun sebagian sifat setan juga ada. Kedua unsur yang ada dalam diri manusia tersebut terus berusaha untuk saling mengalahkan.
Oleh karena itu, perlu kiranya ditegaskan bahwa output tarbiyah bukanlah insan kaamil melainkan al insaanush-shaalih yang sesuai dengan shalahiyatul Islam li kulli zamaanin wa makaanin. Aplikasi agama ini bisa adaptif terhadap ruang dan waktu, sedangkan orang yang shaalihun, adalah orang yang cocok untuk seluruh ruang dan waktu. Output tarbiyah Islamiyah haruslah juga manusia-manusia shalih yang cerdas untuk tempat dan zamannya.
Perbedaan antara al insaansh-shaalih dan al insaanul kaamil itu sangat mendasar, karena kebaikan tidak bisa berdiri sendiri. Kebaikan mempunyai makna manakala dinisbatkan kepada ruang dan waktunya. Demikian pula halnya dengan akhlak, yang juga tidak bisa berdiri sendiri, karena al akhlaaqul faadhilah atau akhlak-akhlak yang utama juga tidak bisa berdiri sendiri, dan baru mempunyai makna manakala dinisbatkan kepada ruang dan waktunya.
Sebagaimana Allah SWT melukiskan dua karakter orang beriman yang paradoksial:
“asyidda-u ‘alal kuffaar, ruhamaa-u bainahum.”
Sifat asyiddaa dengan ruhamaa lahir dari satu jiwa yang sama, tetapi tertuju kepada objek yang berbeda, dalam ruang dan waktunya yang berbeda, dan dalam konteks yang juga berbeda. JIwa yang sama melahirkan respon yang berbeda kepada obyek-obyek yang berbeda.
Oleh karena itu, sifat keras tidak bisa serta merta dibilang semata-mata baik atau sebaliknya buruk, melainkan harus dilihat sesuai dengan obyeknya dan konteks ruang dan waktunya. Ada saat seseorang harus bersikap keras, dan justru malah salah jika bersikap lembut. Sebaliknya pada saat seseorang harus bersikap lembut, maka akan salah jika bersikap keras. Artinya akhlak mengacu pada fungsi, sehingga seseorang tidak menjadi baik dengan sendirinya jika karakternya hanya satu, yakni lembut sepanjang masa. Atau sebaliknya, keras terus sepanjang masa. Manusia harus mengatur bagaimana memfungsikan seluruh karakter itu. Manusia beriman yang diinginkan sebagai produk tarbiyah harus mempunyai mekanisme instruksional di dalam dirinya yang akan membantu mengeluarkan sifat-sifat tersebut berdasarkan ruang dan waktunya, sehingga ketika obyeknya berbeda, maka penyikapannya pun berbeda.
~bersambung
sumber: buku “SPIRITUALITAS KADER” karya Anis Matta
Komentar Terbaru